Blogroll

Jumat, 10 Juni 2016

ALTERNATIF BUKAN BERARTI SOLUSI : BI RATE

ALTERNATIF BUKAN BERARTI SOLUSI : BI RATE
Oleh : Nur Halimah
Berdasarkan pemaparan salah satu media berita online bahwa Bank Indonesia Rate sebagai suku bunga acuan di pandang sudah tidak dihormati lagi oleh bank-bank komersial, hal tersebut mengacu terhadap nilai pada bunga simpanan dan bunga kredit yang tetap tinggi pada saat BI rate berada di level terbawah sepanjang sejarah yaitu 5,75%. Banyak industri perbankan berasalan bahwa pihak bank masih membutuhkan aliran dana yang besar dari calon nasabah untuk menjalankan usahanya dan hal tersebut bisa didapatkan dengan memberikan suku bunga simpanan tinggi yang disebut-sebut lebih disukai oleh calon nasabah. Dengan menerapkan suku bunga yang tinggi banyak calon nasabah yang akan meletakkan uangnya di bank sehingga sirkulasi uang di bank akan meningkat, sementara sirkulasi uang riil di masyarakat akan berkurang baik yang digunakan untuk produksi ataupun konsumsi karena memandang menyimpan uang di bank lebih menguntungkan dibandingkan mempelanjakannya. Namun sayangnya keadaan tersebut tidak dilihat dampaknya secara makro oleh industri perbankan yang hanya mengacu pada pengembangan usahanya dan keuntungan yang bisa didapatkan, sehingga meskipun perekonomian sedang lesu bisa saja industri perbankan tetap menerapkan bunga yang tinggi untuk pinjaman sehingga hasrat dalam pengembangan usaha dapat tertahankan.
Perbedaan kepentingan antara pemerintah dan  industri perbankan membuat gap yang menyebabkan BI rate sebagai instrumen kebijakan moneter pemerintah melalui Bank Indonesia tidak di indahkan oleh industri perbankan. Di satu sisi industri perbankan tetap ingin mempertahankan usaha agar mampu dan tetap maju namun di sisi lain usaha tersebut dapat mendorong adanya keterpurukan ekonomi jangka panjang di Indonesia yang di takutkan oleh pemerintah. Maka sebab itu timbullah wacana dari seorang bankir seperti yang dijelaskan pada berita diatas bahwa sebaiknya BI rate dihapuskan saja. Namun pandangan tersebut tidak mendasar dan kurang logis dari seorang bankir yang harusnya mengerti tentang kegunaan dari BI rate itu sendiri dan terbukti terdapat gap pendapat antar bankir dan ekonom, sebagian besar ekonom menganggap bahwa BI rate tidak dapat dihapuskan karena BI rate tidak hanya sebagai suku bunga acuan dari industri perbankan namun juga lebih besar lagi sebagai acuan ekspektasi inflasi pada tahun berikutnya dan dampak domino lainnya. Jika BI rate dihapuskan maka sistem moneter akan kacau yang dapat menyebabkan kekacauan perekonomian secara makro sebagai buktinya yaitu penggunaan suku bunga acuan BI rate untuk menentukan suku bunga acuan dari surat utang negara yang diperdagangkan, jika tidak ada BI rate, apakah surat utang negara yang diperdagangkan tidak menggunakan bunga? Jika tidak menggunakan bunga dimana letak kemanisan yang dapat mengundang semut seperti halnya investor yang menanamkan uangnya untuk membeli surat utang negara karena tertarik dengan suku bunga yang tinggi.
Jika ada alternatif lain yang mampu menggantikan BI rate sebagai suku bunga acuan yang tidak hanya dibaca tapi juga diikuti oleh industri perbankan seperti yang diutarakan oleh salah satu ekonom kontan.co.id ialah suku bunga FasBI, yang merupakan suku bunga yang diberikan kepada industri perbankan terhadap penempatan dana atas fasilitas yang diberikan oleh perbankan dengan jangka waktu tertentu. FasBI memiliki nilai yang lebih rendah dari perbankan sehingga mungkin saja bisa dijadikan acuan untuk suku bunga industri perbankan baik dari segi penempatan dana maupun pinjaman. Namun sayangnya FasBI hanya diketahui oleh industri perbankan saja dan juga pihak-pihak terkait sementara masyarakat atau pelaku ekonomi umumnya kurang mengetahui tentang suku bunga FasBI dan juga memang tidak mungkin diterapkan sebagai suku bunga acuan karena butuh waktu lama untuk menyesuaian dan pelaku ekonomi pun atau masyarakat umum pasti cenderung berpikir ulang karena suku bunga simpanan yang cukup rendah. Jika FasBI diterapkan tidak menutup kemungkinan sirkulasi uang di masyarakat yang menjadi lebih besar karena orang enggan menabung dan lebih suka menggunakan uangnya secara riil yang dapat memicu terjadi inflasi meskipun tidak seberapa.
Alternatif lain yang ditawarkan yaitu suku bunga Jakarta Interbank Offered Rate (JIBOR) juga kurang tepat dijadikan sebagai suku bunga acuan menggantikan BI rate karena yang mengetahui JIBOR secara detail adalah bank-bank yang ada pada anggota JIBOR itu sendiri. Jakarta Interbank Offered Rate atau JIBOR merupakan rata-rata dari suku bunga indikasi pinjaman tanpa agunan (unsecured) yang ditawarkan dan dimaksudkan untuk ditransaksikan oleh Bank Kontributor kepada Bank Kontributor lain untuk meminjamkan rupiah untuk tenor tertentu di Indonesia (Bank Indonesia, 2013). Jika JIBOR diterapkan maka akan terjadi polemik yang bisa lebih parah dari FasBI, karena bisa saja yang menguasai perekonomian terutama pada lingkup industri perbankan adalah bank-bank besar yang masuk dalam kontributor JIBOR sementara bank-bank kecil hanya mengikuti alur dari bank besar yan akhirnya akan menyebabkan ketimpangan dan keterpurukan dari bank-bank kecil. Apapun dapat terjadi jika yang membuat acuan suku bunga JIBOR hanya berorientasi pada keuntungan dari bank saja bukan untuk masyarakat umum, jika pun JIBOR di jadikan acuan maka harus dirubah dari awal dan sepenuhnya dipegang oleh Bank Indonesia (BI) sehingga tidak menimbulkan perselisihan antar bank yang sebelumnya tidak masuk dalam kontributor JIBOR.
Lalu bagaimana  dengan Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK)? Apakah juga tidak bisa mengatur perbankan untuk mengikutinya? Menurut Bank Mandiri (2016) Suku Bunga Dasar Kredit atau SKBD adalah suku bunga dasar yang digunakan oleh bank yang bersangkutan sebagai acuan penentuan suku bunga kredit dalam rupiah oleh debitur. Karena suku bunga kredit ini masih dalam bentuk suku bunga dasar maka pihak perbankan masih bisa merubah nilainya dengan acuan resiko yang mungkin akan ditanggung oleh bank jika meminjamkan dana pada debitur. Pertimbangan resiko tiap bank berbeda-beda sesuai dengan kesepakatan dari pihak bank, yang biasanya diukur dengan melihat kondisi dari debitur, prospek usaha yang digeluti dan kemampuan untuk melunasi serta harta yang dimiliki.
Masalah lain timbul dari bank yang mengacu pada LPS sebagai lembaga penjamin simpanan dan LPS mengacu pada BI rate, namun yang menjadi pertanyaan jika hal tersebut memang benar, mengapa BI rate dan suku bunga yang dipakai perbankan masih berbeda ? dan jika seharusnya LPS mengacu pada suku bunga FasBI malah mengacu pada BI rate, hal tersebut mengindikasikan terdapat gap informasi dan ketidaksingkronan antara dua lembaga keuangan yang saling terkait ini, dan ditambah lagi dengan sikap acuh yang ditunjukkan perbankan terhadap kebijakan BI rate yang diterapkan banks sentral Indonesia yang harusnya diakui oleh semua pihak terutama lembaga keuangan, jika lembaga-lembaga keuangan seperti tidak saling singkrong lalu bagaimana bisa perekonomian Indonesia dikendalikan dengan baik dan benar. Maka perlu adanya pertemuan dan jajak pendapat yang lebih intens guna menemukan solusi terbaik dalam membuat kebijakan dan menentukan arah kedepan demi kemajuan bangsa Indonesia .

0 komentar:

Posting Komentar