CAPITAL
BUFFER, PENYEHATAN BANK SAAT KRISIS
Oleh :
Shella Elly Sritrisniawati (130810101093)
Jurusan
Ilmu ekonomi Studi Pembangunan angkatan 2013, Konsentrasi Ekonomi Moneter,
Fakultas Ekonomi Universitas Jember
Lembaga Keuangan
di negara Indonesia mempunyai dua kebijakan pokok yang dibedakan atas kebijakan
makroprudential dan mikroprudential. Kebijakan makroprudential dipegang oleh
Bank Sentral yaitu Bank Indonesia dalam menentukan tujuannya seperti stabilitas
harga dan stabilitas sistem keuangan. Sedangkan kebijakan mikroprudential yang
diamanahkan kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Ranah kerja di bawah
pengawasan OJK yaitu seluruh lembaga – lembaga keuangan komersial. Berkaitan
dengan hal tersebut Otoritas Jasa Keuangan berencana menggunakan formula
klasifikasi dalam menentukan capital
surcharge yang berkaitan dengan entitas bank yang masuk dalam kategori
dampak sistemik atau D-SIB. Kepanjangan dari D-SIB adalah Domestic Systemically
Important Bank. Berdasarkan instrument Capital
Surcharge dalam penentuan kebijakan tersebut mempunyai beberapa target
yaitu digunakan sebagai penjangga (buffer)
bagi bank – bank yang membutuhkan tambahan modal dalam mengurangi adanya dampak
sistemik yang terjadi serta meminimalisir dampak negatif lain yang timbul
seperti terjadinya kegagalan.
Dampak kegagalan
atau resiko sistemik yang mungkin dapat dialami oleh bank – bank komersial
tersebut dapat disebabkan karena kegiatan pemberian kredit kepada peminjam dana
dan mengalami kredit macet (pembayaran angsuran kredit tidak tertib
dibayarkan). Dengan hal demikian dana dari pihak bank tidak dapat disalurkan
lagi kepada kreditur yang lain sehingga dana stagnan (berhenti) pada salah satu
pihak. Maka untuk mengantisipasi resiko sistemik tersebut institusi keuangan
diwajibkan untuk meningkatkan tambahan modal yang dapat digunakan sebagai
penjangga (buffer) agar penyaluran kredit dapat berjalan lancar lagi.
Berdasarkan perhitungan akuntansi
keuangan, terdapat Capital Conservation
Buffer yang merupakan kewajiban pembentukan tambahan modal minimum yang disesuaikan
dengan besarnya resiko yang dialami oleh instansi keuangan dalam hal ini dapat
meliputi bank komersial maupun swasta. Capital
Conservation Buffer diberikan kepada bank – bank pada saat perbankan berada
pada kondisi krisis, sehingga tambahan modal tersebut dapat menjaga kondisi
perekonomian yang stabil. Selain CCB juga terdapat Countercyclical Buffer yang lebih menekankan tambahan modal yang
bertujuan untuk mengantisipasi kerugian perbankan akibat kredit yang dapat
mengganggu stabilitas dalam sistem keuangan.
Ketiga bentuk
tambahan modal tersebut seperti Capital
Surcharge untuk D-SIB, Capital
Conservation Buffer, dan Countercyclical
Buffer tersebut sebagai penyangga dalam mengantisipasi kerugian yang
dialami perbankan pada kondisi krisis. Upaya ini dapat dilakukan oleh Otoritas
Jasa Keuangan dalam rangka penyehatan perbankan dan dapat bekerjasama dengan
Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas sistem keuangan.
Bank
Indonesia memberikan ketantuan bahwa pembentukan tambahan modal tersebut
seharusnya dilakukan saat kondisi ekonomi dalam keadaan yang baik (kondisi
booming). Jadi tambahan modal tersebut diharapkan dapat sebagai panyangga
(buffer) saat kondisi perekonomian mulai mengalami periode yang buruk agar
dapat menutupi kerugian yang didapatkan. Evaluasi besaran Countercyclical Buffer dilakukan oleh Bank Indonesia secara berkala
1 kali dalam 6 bulan. Penetapan tersebut mempertimbangkan kondisi perekonomian
yang mengalami perlambatan yang ditunjukkan pada pertumbuhan kredit yang
melambat.
0 komentar:
Posting Komentar