Blogroll

Minggu, 12 Juni 2016

CAPITAL BUFFER, PENYEHATAN BANK SAAT KRISIS



CAPITAL BUFFER, PENYEHATAN BANK SAAT KRISIS
Oleh : Shella Elly Sritrisniawati (130810101093)
Jurusan Ilmu ekonomi Studi Pembangunan angkatan 2013, Konsentrasi Ekonomi Moneter, Fakultas Ekonomi Universitas Jember

Lembaga Keuangan di negara Indonesia mempunyai dua kebijakan pokok yang dibedakan atas kebijakan makroprudential dan mikroprudential. Kebijakan makroprudential dipegang oleh Bank Sentral yaitu Bank Indonesia dalam menentukan tujuannya seperti stabilitas harga dan stabilitas sistem keuangan. Sedangkan kebijakan mikroprudential yang diamanahkan kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Ranah kerja di bawah pengawasan OJK yaitu seluruh lembaga – lembaga keuangan komersial. Berkaitan dengan hal tersebut Otoritas Jasa Keuangan berencana menggunakan formula klasifikasi dalam menentukan capital surcharge yang berkaitan dengan entitas bank yang masuk dalam kategori dampak sistemik atau D-SIB. Kepanjangan dari D-SIB adalah Domestic Systemically Important Bank. Berdasarkan instrument Capital Surcharge dalam penentuan kebijakan tersebut mempunyai beberapa target yaitu digunakan sebagai penjangga (buffer) bagi bank – bank yang membutuhkan tambahan modal dalam mengurangi adanya dampak sistemik yang terjadi serta meminimalisir dampak negatif lain yang timbul seperti terjadinya kegagalan.
Dampak kegagalan atau resiko sistemik yang mungkin dapat dialami oleh bank – bank komersial tersebut dapat disebabkan karena kegiatan pemberian kredit kepada peminjam dana dan mengalami kredit macet (pembayaran angsuran kredit tidak tertib dibayarkan). Dengan hal demikian dana dari pihak bank tidak dapat disalurkan lagi kepada kreditur yang lain sehingga dana stagnan (berhenti) pada salah satu pihak. Maka untuk mengantisipasi resiko sistemik tersebut institusi keuangan diwajibkan untuk meningkatkan tambahan modal yang dapat digunakan sebagai penjangga (buffer) agar penyaluran kredit dapat berjalan lancar lagi.
Berdasarkan perhitungan akuntansi keuangan, terdapat Capital Conservation Buffer yang merupakan kewajiban pembentukan tambahan modal minimum yang disesuaikan dengan besarnya resiko yang dialami oleh instansi keuangan dalam hal ini dapat meliputi bank komersial maupun swasta. Capital Conservation Buffer diberikan kepada bank – bank pada saat perbankan berada pada kondisi krisis, sehingga tambahan modal tersebut dapat menjaga kondisi perekonomian yang stabil. Selain CCB juga terdapat Countercyclical Buffer yang lebih menekankan tambahan modal yang bertujuan untuk mengantisipasi kerugian perbankan akibat kredit yang dapat mengganggu stabilitas dalam sistem keuangan.
Ketiga bentuk tambahan modal tersebut seperti Capital Surcharge untuk D-SIB, Capital Conservation Buffer, dan Countercyclical Buffer tersebut sebagai penyangga dalam mengantisipasi kerugian yang dialami perbankan pada kondisi krisis. Upaya ini dapat dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan dalam rangka penyehatan perbankan dan dapat bekerjasama dengan Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas sistem keuangan.

            Bank Indonesia memberikan ketantuan bahwa pembentukan tambahan modal tersebut seharusnya dilakukan saat kondisi ekonomi dalam keadaan yang baik (kondisi booming). Jadi tambahan modal tersebut diharapkan dapat sebagai panyangga (buffer) saat kondisi perekonomian mulai mengalami periode yang buruk agar dapat menutupi kerugian yang didapatkan. Evaluasi besaran Countercyclical Buffer dilakukan oleh Bank Indonesia secara berkala 1 kali dalam 6 bulan. Penetapan tersebut mempertimbangkan kondisi perekonomian yang mengalami perlambatan yang ditunjukkan pada pertumbuhan kredit yang melambat. 

0 komentar:

Posting Komentar