INTERKONEKSI KEBIJAKAN
MAKROPRUDENSIAL
Oleh
: Fatchur Rozi
Kebijakan Makroprudensial merupakan kebijakan yang
diamanatkan dan di jalankan oleh Bank Indonesia dengan tujuan untuk menjaga kestabilan
system keuangan secara menyuluh sehingga ancaman resiko sistemik keuangan dapat
dihindari. Menurut saya kebijakan ini tidak akan berjalan efektif jika tanpa
diimbangi dengan kebijakan-kebajakan lainnya yang saling berkaitan dan saling
mendukung, seperti kebijakan mikroprudensial yang dijalanan oleh Otoritas Jasa
Keuangn (OJK). Oleh karena itu langkah BI dalam memperkuat kestabilan system
keuangan secara menyeluruh dengan menjalin kerjasama dengan Otoriitas Jasa
Keuangan merupakan suatu langkah yang tepat karena kebijakan mikroprudensial
dijalankan dan dilaksanakan oleh OJK.
Krisis keuangan yang terjadi pada tahun 2008 lalu telah
menjadi bahan pelajaran sekaligus bahan koreksi bahwa ternyata ketahanan
keuangan secara menyeluruh dengan hanya menilai risiko dari sisi microfinance tidaklah cukup. Oleh karena
itu kebijakan mikroprudensial yang dijalankan oleh OJK harus diperkuat dan
disinergikan dengan kebijakan makroprudensial yang dijalankan oleh Bank
Indonesia.
Terdapat beberapa langkah kebijakan strategis yang
dapat ditempuh oleh Bank Indonesia dalam
kebijakan Makroprudensial agar tujuan yang diharpkan dari kebijakan tersebut
yakni memperkuat, menjaga, dan memelihara kestablian system keuangan secara
menyeluruh dapat tercapai. Langkah yang pertama dilakukan dengan mempertegas
fungsi, tugas dan wewenang Bank Indomesia serta OJK. Langkah pertama ini sangat
perlu dilakukan agar Bank Indensia dan OJK menjalankan tugas sesaui dengan
porsi yang telah telah diamantkan dalam Undang Undang, baik dalam Undang-undang
Bank Indonesia maupun dalam Undang-undang Otoritas Jasa Keuangan. Tentunya
dengan adanya Undang-undang ini mampu memberikan arah dan pandangan dari setiap
langkah kebijakan yang akan ditempuh, undang-undang tersebut juga bisa
dijadikan alat unutk mencegah terjadinya tumpangtindih atau overlapping dari
peran masing-masing lembaga. Penguatan dari masing-masing lembaga sangat perlu
dilakukan sebagai landasan atau fondasi dari setiap lembaga, jika penguatan dan
kejelasan terkait dengan peran, dan fungsi lembaga tersebut tentu tujuan akan
dapat diraih dengan lebih mudah.
Langkah kedua yaitu tentang kerjasama dan koordinasi antara Bank
Indonesia dengan otoritas jasa keuangan dalam rangka meningkatkan ketahanan
permodalan perbankan, menjaga rasio likuiditas dalam batas yang aman serta
melalaui mekanisme pendalaman pasar keuangan. Menurut saya langkah ini sangat
penting dilakukan, koordinasi antara Bank Indonesia dengan Otoritas Jasa
Keuangan sangat perlu dilakukan terutama terkait dengan koordinasi dari setiap
kebijakan yang akan dijalankan. Menjalin komunikasi yang baik antar kedua
lembaga tersebut sangat perlu dilakuka terkait dengan arah pencapaian dan
evaluasi setiap kebijakan yang dijalankan.
Bank Indonesia sebagai bank sentral yang juga bertugas
sebagai otoritas moneter yang menjalankan kebijakan makroprudensia dengan
Otoritas Jasa Keuangan yang menjalanakan kebijakan secara mikroprudensial perlu
berkolaborasi dana merumuskan suatu kebijakan yanag saling integratif dan
saling menguatkan. Karena ketahanan system keuangan tidak hanya dapat ditinjau
dari sisi mikro saja tetapi juga dilihat secara makro dalam waktu secara
bersamaan. Disnilah peran Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan diuji.
Terkait dengan implementasi LCR dapat digunakaan untuk
meredam atau menahan gejolak pasar keuangan dalam menghadapi masalah
likuiditas, Countercyclical
Capital Buffer (CCB) dapat juga diganakan pada saat
kondisi boom untuk digunakan sebagai sinyal dan peredam saat kondisi
perekonomian sedang mengalami bust. Penerbitan regulasi juga perlu
diimplemantasikan dalam mendukung kebijakan makroprudensial yang akan
dijalankan. Penerbitan regulasi ini diharpkan dapat meningkatan kefektivitasan
dan kefisienan dari setiap langkah kebijakan yang akan dijalankan. Ini perlu
dilaksanakan dan diimplementasikan karena bisanya suatu kebijakan itu terhalang
saat dilakansakan karena terhanjal masalah regulasi.
Langkah ketiga adalah dengan mendorong dan mesnstimulus
pertumbuhan kredit dan dana pihak ketiga yang merata di setiap daerah melalui peningkatan fungsi
penghubung perbankan baik di lingkungan nasional dan maupun dilingkungan reginal.
Langkah ini juga sangat perlu dilaksanakan, mengingat kestabilan system
keuangan yang sehat secara menyuluruh juga dapat dilihat dari indicator
tersalurnya kredit yang sehat. Kredit ini sangat perlu dilakukan mengingat
ketersediaan kredit kredit ini akan membantu sektor riil terutama dalam hal
investasi.
Terkait
kredit ini Bank Indonesia terutama Otoritas Jasa Keuangan diharapkan mampu
mengontrol dan mengawasi setiap pergerakan kredit ini, jangan sampai kredit ini
tersalurkan untuk sektor yang kurang produktif sehingga ancaman terhadap kredit
macet semakin besar. Untuk meningkatan rasio kecukupan kredit ini dapat
didorong dari dana pihak ketiga. Disini peran kebijakan mikroprudensial dalam
hal ini yang dijalankan oleh Otoritas Jasa Keuangan sangat diperlukan.
OJK disini
dapat mengawasi dan menjaga rasio kecukupan kredit dan modal di setiap instusi
perbankan yang ada, jika rasio kecukupan kredita dan modal serta masalah
likuiditas cukup aman dapat dikatakan kebiajakn makro prudensial dinilai cukup
berhasil mengingat, secara mikro kondisi pasar keuangan cukup baik walaupun
tidak sepenuhnya kondisi mikro di pasar keuangan mampu menginterpretasikan
kondisi keuangan secara makro.
Peningkatan rasio kecukupan kredit dan modal juga
dapat dioptimalkan dengan menjalan fungsi lembaga intermediasi perbankan maupun
non perbankan. Jadi tidak hanya melalui lembaga perbankan, tetapi juga dari
lembaga non bank lainnya, hal ini perlu dilakukan mengingat akses kuangan di
Indonesia sangat minim, sehingga untuk pemerataan akses keuangan juga perlu
didukung dari ketersediaan saran dan prasarana penujang keuangan. Seperti
ketersedian perbaankan terutam ditingkat regional yang tertinggal. Karena
transmisi kebijakan makroprudensial salah satunya dilakuakn dari kredit dan
ketersediaan kredit sangat bergantung dari ada tidaknya akses keuangan di
daerah tersebut, hal ini mengindikasikan jika terdapat hubungan yang kuat
antara akses keuangan dengan keterseediaan kredit dalam masyarakat.
Sedangkan langkah keempat atau langkah terakhir adalah
dengan melakukan kolaborasi antara Bank Indonesia dengan Otoritas Jasa Keuangan
dalam mengembangakan peran system ekonomi dan perbankan berbasis syariah. Langkah
ini cukup inovatif, mengingat perkembangan system ekonomi dan perbankan
berbasis syariah cukup berkembang pesat. Langkah ini diambil mungkin dengan
melihhat kinerja kredit dengan system syariah menunjukkan kinerja yang cukup
bagus dalam menyalurkan kredit dan meminimalisir kredit macet.
Langkah ini mungkin saat ini sudah diimplementasikan
dalam UU OJK terbaru yang didalamnya juga mengatur penyaluran dan pengawasan
terhadap kredit dari lembaga keuangan bank maupun non bank, hanya saja mungkin
kebijakan ini perlu digalkkan dan disebarkan secara luas dalamm masyarakat
karena banya masyarakat yang masih awam. Peran dari pemerintah terkait dengan
pembentukan regulasi dan dari Bank Indonesia selaku otoritas moneter sangat
diperlukan. Agar system ini mampu memberikan ketahan yang lebih kuat dari
segala bentuk ancaman yang timbul dalam pasar keuangan.
0 komentar:
Posting Komentar