Blogroll

Rabu, 15 Juni 2016

INTERKONEKSI KEBIJAKAN MAKROPRUDENSIAL



INTERKONEKSI KEBIJAKAN MAKROPRUDENSIAL
Oleh : Fatchur Rozi

Kebijakan Makroprudensial merupakan kebijakan yang diamanatkan dan di jalankan oleh Bank Indonesia dengan tujuan untuk menjaga kestabilan system keuangan secara menyuluh sehingga ancaman resiko sistemik keuangan dapat dihindari. Menurut saya kebijakan ini tidak akan berjalan efektif jika tanpa diimbangi dengan kebijakan-kebajakan lainnya yang saling berkaitan dan saling mendukung, seperti kebijakan mikroprudensial yang dijalanan oleh Otoritas Jasa Keuangn (OJK). Oleh karena itu langkah BI dalam memperkuat kestabilan system keuangan secara menyeluruh dengan menjalin kerjasama dengan Otoriitas Jasa Keuangan merupakan suatu langkah yang tepat karena kebijakan mikroprudensial dijalankan dan dilaksanakan oleh OJK.
Krisis keuangan yang terjadi pada tahun 2008 lalu telah menjadi bahan pelajaran sekaligus bahan koreksi bahwa ternyata ketahanan keuangan secara menyeluruh dengan hanya menilai risiko dari sisi microfinance tidaklah cukup. Oleh karena itu kebijakan mikroprudensial yang dijalankan oleh OJK harus diperkuat dan disinergikan dengan kebijakan makroprudensial yang dijalankan oleh Bank Indonesia.
Terdapat beberapa langkah kebijakan strategis yang dapat  ditempuh oleh Bank Indonesia dalam kebijakan Makroprudensial agar tujuan yang diharpkan dari kebijakan tersebut yakni memperkuat, menjaga, dan memelihara kestablian system keuangan secara menyeluruh dapat tercapai. Langkah yang pertama dilakukan dengan mempertegas fungsi, tugas dan wewenang Bank Indomesia serta OJK. Langkah pertama ini sangat perlu dilakukan agar Bank Indensia dan OJK menjalankan tugas sesaui dengan porsi yang telah telah diamantkan dalam Undang Undang, baik dalam Undang-undang Bank Indonesia maupun dalam Undang-undang Otoritas Jasa Keuangan. Tentunya dengan adanya Undang-undang ini mampu memberikan arah dan pandangan dari setiap langkah kebijakan yang akan ditempuh, undang-undang tersebut juga bisa dijadikan alat unutk mencegah terjadinya tumpangtindih atau overlapping dari peran masing-masing lembaga. Penguatan dari masing-masing lembaga sangat perlu dilakukan sebagai landasan atau fondasi dari setiap lembaga, jika penguatan dan kejelasan terkait dengan peran, dan fungsi lembaga tersebut tentu tujuan akan dapat diraih dengan lebih mudah.
Langkah kedua yaitu tentang  kerjasama dan koordinasi antara Bank Indonesia dengan otoritas jasa keuangan dalam rangka meningkatkan ketahanan permodalan perbankan, menjaga rasio likuiditas dalam batas yang aman serta melalaui mekanisme pendalaman pasar keuangan. Menurut saya langkah ini sangat penting dilakukan, koordinasi antara Bank Indonesia dengan Otoritas Jasa Keuangan sangat perlu dilakukan terutama terkait dengan koordinasi dari setiap kebijakan yang akan dijalankan. Menjalin komunikasi yang baik antar kedua lembaga tersebut sangat perlu dilakuka terkait dengan arah pencapaian dan evaluasi setiap kebijakan yang dijalankan.
Bank Indonesia sebagai bank sentral yang juga bertugas sebagai otoritas moneter yang menjalankan kebijakan makroprudensia dengan Otoritas Jasa Keuangan yang menjalanakan kebijakan secara mikroprudensial perlu berkolaborasi dana merumuskan suatu kebijakan yanag saling integratif dan saling menguatkan. Karena ketahanan system keuangan tidak hanya dapat ditinjau dari sisi mikro saja tetapi juga dilihat secara makro dalam waktu secara bersamaan. Disnilah peran Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan diuji.
Terkait dengan implementasi LCR dapat digunakaan untuk meredam atau menahan gejolak pasar keuangan dalam menghadapi masalah likuiditas, Countercyclical Capital Buffer (CCB) dapat juga diganakan pada saat kondisi boom untuk digunakan sebagai sinyal dan peredam saat kondisi perekonomian sedang mengalami bust. Penerbitan regulasi juga perlu diimplemantasikan dalam mendukung kebijakan makroprudensial yang akan dijalankan. Penerbitan regulasi ini diharpkan dapat meningkatan kefektivitasan dan kefisienan dari setiap langkah kebijakan yang akan dijalankan. Ini perlu dilaksanakan dan diimplementasikan karena bisanya suatu kebijakan itu terhalang saat dilakansakan karena terhanjal masalah regulasi.
Langkah ketiga adalah dengan mendorong dan mesnstimulus pertumbuhan kredit dan dana pihak ketiga yang merata  di setiap daerah melalui peningkatan fungsi penghubung perbankan baik di lingkungan nasional dan maupun dilingkungan reginal. Langkah ini juga sangat perlu dilaksanakan, mengingat kestabilan system keuangan yang sehat secara menyuluruh juga dapat dilihat dari indicator tersalurnya kredit yang sehat. Kredit ini sangat perlu dilakukan mengingat ketersediaan kredit kredit ini akan membantu sektor riil terutama dalam hal investasi.
Terkait kredit ini Bank Indonesia terutama Otoritas Jasa Keuangan diharapkan mampu mengontrol dan mengawasi setiap pergerakan kredit ini, jangan sampai kredit ini tersalurkan untuk sektor yang kurang produktif sehingga ancaman terhadap kredit macet semakin besar. Untuk meningkatan rasio kecukupan kredit ini dapat didorong dari dana pihak ketiga. Disini peran kebijakan mikroprudensial dalam hal ini yang dijalankan oleh Otoritas Jasa Keuangan sangat diperlukan.
OJK disini dapat mengawasi dan menjaga rasio kecukupan kredit dan modal di setiap instusi perbankan yang ada, jika rasio kecukupan kredita dan modal serta masalah likuiditas cukup aman dapat dikatakan kebiajakn makro prudensial dinilai cukup berhasil mengingat, secara mikro kondisi pasar keuangan cukup baik walaupun tidak sepenuhnya kondisi mikro di pasar keuangan mampu menginterpretasikan kondisi keuangan secara makro.
Peningkatan rasio kecukupan kredit dan modal juga dapat dioptimalkan dengan menjalan fungsi lembaga intermediasi perbankan maupun non perbankan. Jadi tidak hanya melalui lembaga perbankan, tetapi juga dari lembaga non bank lainnya, hal ini perlu dilakukan mengingat akses kuangan di Indonesia sangat minim, sehingga untuk pemerataan akses keuangan juga perlu didukung dari ketersediaan saran dan prasarana penujang keuangan. Seperti ketersedian perbaankan terutam ditingkat regional yang tertinggal. Karena transmisi kebijakan makroprudensial salah satunya dilakuakn dari kredit dan ketersediaan kredit sangat bergantung dari ada tidaknya akses keuangan di daerah tersebut, hal ini mengindikasikan jika terdapat hubungan yang kuat antara akses keuangan dengan keterseediaan kredit dalam masyarakat.
Sedangkan langkah keempat atau langkah terakhir adalah dengan melakukan kolaborasi antara Bank Indonesia dengan Otoritas Jasa Keuangan dalam mengembangakan peran system ekonomi dan perbankan berbasis syariah. Langkah ini cukup inovatif, mengingat perkembangan system ekonomi dan perbankan berbasis syariah cukup berkembang pesat. Langkah ini diambil mungkin dengan melihhat kinerja kredit dengan system syariah menunjukkan kinerja yang cukup bagus dalam menyalurkan kredit dan meminimalisir kredit macet.
Langkah ini mungkin saat ini sudah diimplementasikan dalam UU OJK terbaru yang didalamnya juga mengatur penyaluran dan pengawasan terhadap kredit dari lembaga keuangan bank maupun non bank, hanya saja mungkin kebijakan ini perlu digalkkan dan disebarkan secara luas dalamm masyarakat karena banya masyarakat yang masih awam. Peran dari pemerintah terkait dengan pembentukan regulasi dan dari Bank Indonesia selaku otoritas moneter sangat diperlukan. Agar system ini mampu memberikan ketahan yang lebih kuat dari segala bentuk ancaman yang timbul dalam pasar keuangan.

0 komentar:

Posting Komentar