Menanti Pelonggaran Loan to Value (LTV)
Krisis ekonomi
global yang pernah terjadi pada tahun 2008 lalu telah memberi banyak pelajaran
bagi negara-negara di dunia untuk lebih bisa memperhatikan sistem keuangannya
agar tidak mudah tergoncang dan bergejolak. Pada masa kontemporer ini, sudah
bukan rahasia umum lagi bahwa integrasi setiap negara sudah semakin menjamur.
Dengan adanya integrasi setiap negara, maka sudah tak bisa di sangkal bahwa
jika suatu negara mengalami masalah yang berkaitan dengan menurunnya pertumbuhan
ekonomi, kemudian terjadinya resesi yang akhirnya bermuara pada krisis, maka
dengan mudah krisis itu akan menyebar luas ke negara-negara lain yang mempunyai
hubungan terutama hubungan ekonomi baik pada kawasan region maupun dalam skala
global (spillover effect). Akibatnya,
setiap negara dituntut untuk lebih prudent
dalam hal kebijakan yang terkait dengan regulasi, pengawasan, dan
penanganan untuk bisa sedini mungkin mengantisipasi perekonomian domestiknya
dari gejolak eksternal maupun internal.
Bercermin dari krisis moneter yang
terjadi 8 tahun silam, baik negara-negara maju maupun negara emerging market, saat ini mulai
memperkokoh sistem keuangannya, karena sistem keuangan menurut Nurastuti, Puji dalam (Peter S. Rose,
1997) mengatakan bahwa sistem keuangan merupakan kumpulan pasar, institusi,
peraturan-peraturan dan teknik-teknik, dimana surat-surat berharga
diperjualbelikan, besaranya tingkat bunga ditetapkan dan jasa-jasa
keuangan dihasilkan dan ditawarkan ke
seluruh bagian dunia. Sedangkan dalam buku ‘Teknologi Perbankan’ yang dimaksud
sistem keuangan Indonesia adalah suatu sistem yang meliputi industri perbankan,
pasar modal atau saham, dana pensiun, asuransi, multifinance, dan
insfrastruktur lainnya yang saling berinteraksi dalam memobilisasi dana untuk
investasi dan jasa keuangan termasuk sistem pembayaran. Jadi di dalam suatu
sistem keuangan yang ada di negara pada umumnya dan di Indonesia pada
khususnya, memuat dan berisi seperangkat tatanan dan wadah dimana
lembaga-lembaga keuangan, pasar modal, lembaga non keuangan, saling terhubung
menyediakan dana sebagai sumber-sumber pembiayaan bagi pihak yang membutuhkan
modal. Pada tahun 2010 atau 2 tahun pasca terjadinya krisis global, para
pemimpin G20 mengendorse kebijakan yang telah diperkenalkan oleh Basel Commite for Banking Supervision (BCBS)
yang disebut sebagai kebijakan makroprudensial.
Kebijakan makroprudensial lahir
sebagai jawaban untuk bisa mengatasi krisis akibat dampak yang bersumber dari
lemahnya stabilitas sistem keuangan. IMF menyebutkan bahwa, kebijakan
makroprudensial ditujukan untuk memitigasi dan atau mengurangi risiko sistemik
serta untuk memperkuat sistem keuangan agar lebih tahan dan stabil dari
goncangan yang di sebabkan dari internal maupun eksternal. Kebijakan
makroprudensial mempunyai peran untuk mengatur dan mengawasi hubungan antar
lembaga keuangan yang satu dengan yang lainnya agar jika suatu saat terjadi inbalance yang bermuara pada goncangan
pada sistem keuangan, maka sedini mungkin bisa dapat dicegah. Dalam mencapai 3
tujuannya untuk mengurangi dampak risiko sistemik, mendorong lembaga keuangan
sebagai lembaga intermediasi yang semakin berkualitas, dan mendorong
terciptanya efisiensi akses keuangan, kebijakan makroprudensial memiliki
beberapa instrumen ysng terbagi atas instrumen kredit, instrumen modal, dan
instrumen capital inflow.
Legal
Reserve Requirement atau yang sering disebut dengan Giro Wajib Minimum
(GWM) dan Loan to Value (LTV) merupakan beberapa instrumen
yang digunakan untuk mengendalikan kredit. Jika GWM merupakan instrumen
pengendalian kredit yang menggambarkan likuiditas/dana minimum yang wajib
disimpan oleh suatu bank dalam bentuk saldo rekening kepada BI untuk menjamin
terpenuhinya likuiditas jika suatu saat depoaan menarik dananya, maka berbeda
dengan LTV yang merupakan instrumen yang digunakan untuk mengendalikan kredit
di sektor properti atau perumahan, dan instrumen pengendalian kredit pada
sektor otomotif. Berdasarkan informasi berita yang di kutip dari laman resmi
infobanknews.com, dimana pada bulan Juni tahun 2015, BI telah melakukan
pelonggaran terhadap kebijakan Loan to
Value (LTV). Kebijakan pelonggaran ini dimaksudkan untuk mendongkrak kredit
pada sektor properti. LTV merupakan besaran dan jumlah suatu kredit yang
diberikan oleh bank kepada peminjam dengan jaminan tertentu pada sektor
properti.
Munculnya
kebijakan mengenai pelonggaran LTV ini sebagai respon dan jawaban dari
menurunnya pertumbuhan kredit pada sektor properti pada akhir-akhir ini.
Seperti yang dikutip dari berita harian di web resmi (infobanknews.com) dimana
pembelian melalui KPR terus mengalami penurunan semenjak tahun 2013. Penurunan
terjadi di tahun 2014 hampir sebesar Rp 0,9 triliun menjadi sebesar Rp 3,2
triliun jika di bandingkan dengan 2013 yang jumlahnya adalah sebesar 4,1
triliun. Sedangkan pada tahun 2015 terjadi penurunan lebih kecil yaitu hampir
mencapai Rp 0,5 triliun menjadi sebesar Rp 2,7 triliun. Sedangkan pada kredit in house malah terjadi kenaikan setiap
tahunnya yakni yakni masing-masing sebesar Rp 3,8 4,8 5,7 triliun di tahun
2013, 2014, sampai dengan tahun 2015. Hal inilah yang menjadi salah satu
pertimbangan BI dan OJK untuk mencari solusi bagaimana untuk mengembangkan
industri properti yang saat ini sedang mengalami kelesuan. Dalam jurnal Vol.
VII, No. 10/II/P3DI/Mei 2015 yang ditulis oleh Eka Budiyanti mengenai “Kebijakan Pelonggaran Ketentuan Loan To
Value (LTV) Sektor Properti” menyebutkan bahwa pada tahun 2012 BI pernah
melakukan kebijakan mengenai pengetatan LTV, hal ini dilakukan oleh BI karena
pada tahun 2011 sampai tahun 2012 konsumsi kredit pada industri properti
mengalami kenaikan yang dinilainya terlalu tinggi sehingga dikhawatirkan akan
menyebabkan bubble risk. Jadi BI
secara prudent melakukan kebijakan
kontraksi pada sektor properti sebagai upaya pencegahan sedini mungkin terhadap
indikator-indikator yang dapat mengganggu kestabilan ataupun rusaknya struktur
harga yang bermuara pada inflasi di sektor ini. Namun, hal ini justru berdampak
pada penurunan kredit properti di tahun pasca BI menerapkan kebijakan tersebut,
terbukti dari menurunnya angka kredit pada sektor properti di tahun 2013 hingga
tahun 2015.
Terkait dengan upaya yang
direncanakan oleh BI yang akan mengkaji ulang aturan LTV di daerah, hal ini
memang perlu untuk dilakukan untuk mendorong developer-developer yang ada di masing-masing daerah agar bisa
terus melakukan ekspansi usahanya yang pada nantinya akan berkontribusi pada
pertumbuhan ekonomi di daerah. Kemudian pada tahun 2016, BI kembali melakukan
pelonggaran terhadap LTV untuk Kredit kepemilikan rumah (KPR) dan kredit
kepemilikan apartmen (KPA). Jadi
para konsumen properti jika membeli sebuah rumah dengan menggunakan KPR, maka
di dalam peraturan yang baru harus membayarkan sebesar 20% sebagai uang muka
yang lebih kecil. Namun untuk sektor otomotif, pelonggaran LTV masih akan dipertimbangkan dan dikaji kembali oleh BI. Kebijakan pelonggaran LTV untuk sektor properti rencananya akan diputuskan pada bulan Agustus mendatang. Kebijakan moneter yang bersifat ekspansif ini memang upaya
yang seharusnya dilakukan untuk lebih bisa meningkatkan dan memompa pertumbuhan
sektor riil, karena dengan turunnya BI rate, GWM, dan LTV ini otomatis dunia
perbankan akan mendapatkan tambahan dana likuiditas yang dapat di transmisikan
ke sektor riil. Mengingat pada sektor industri properti merupkan salah satu
industri yang dapat menyerap banyak tenaga kerja, sehingga bisa mengurangi
tingkat pengangguran, dan banyak mempunyai nilai tambah (value added). Tentu perbankan juga dalam mengelola dan mengawasi
penyaluran kreditnya harus dilakukan dengan selektif dan prudent agar, tidak terjadi credit
booming yang dapat menimbulkan bubble
risk yang terjadi pada industri properti. Sehingga nantinya struktur harga
yang ada industri ini tidak rusak / mengalami inflasi.
0 komentar:
Posting Komentar