Blogroll

Jumat, 17 Juni 2016

Menanti Pelonggaran Loan to Value (LTV)



 Menanti Pelonggaran Loan to Value (LTV)

         Krisis ekonomi global yang pernah terjadi pada tahun 2008 lalu telah memberi banyak pelajaran bagi negara-negara di dunia untuk lebih bisa memperhatikan sistem keuangannya agar tidak mudah tergoncang dan bergejolak. Pada masa kontemporer ini, sudah bukan rahasia umum lagi bahwa integrasi setiap negara sudah semakin menjamur. Dengan adanya integrasi setiap negara, maka sudah tak bisa di sangkal bahwa jika suatu negara mengalami masalah yang berkaitan dengan menurunnya pertumbuhan ekonomi, kemudian terjadinya resesi yang akhirnya bermuara pada krisis, maka dengan mudah krisis itu akan menyebar luas ke negara-negara lain yang mempunyai hubungan terutama hubungan ekonomi baik pada kawasan region maupun dalam skala global (spillover effect). Akibatnya, setiap negara dituntut untuk lebih prudent dalam hal kebijakan yang terkait dengan regulasi, pengawasan, dan penanganan untuk bisa sedini mungkin mengantisipasi perekonomian domestiknya dari gejolak eksternal maupun internal.
            Bercermin dari krisis moneter yang terjadi 8 tahun silam, baik negara-negara maju maupun negara emerging market, saat ini mulai memperkokoh sistem keuangannya, karena sistem keuangan  menurut Nurastuti, Puji dalam (Peter S. Rose, 1997) mengatakan bahwa sistem keuangan merupakan kumpulan pasar, institusi, peraturan-peraturan dan teknik-teknik, dimana surat-surat berharga diperjualbelikan, besaranya tingkat bunga ditetapkan dan jasa-jasa keuangan  dihasilkan dan ditawarkan ke seluruh bagian dunia. Sedangkan dalam buku ‘Teknologi Perbankan’ yang dimaksud sistem keuangan Indonesia adalah suatu sistem yang meliputi industri perbankan, pasar modal atau saham, dana pensiun, asuransi, multifinance, dan insfrastruktur lainnya yang saling berinteraksi dalam memobilisasi dana untuk investasi dan jasa keuangan termasuk sistem pembayaran. Jadi di dalam suatu sistem keuangan yang ada di negara pada umumnya dan di Indonesia pada khususnya, memuat dan berisi seperangkat tatanan dan wadah dimana lembaga-lembaga keuangan, pasar modal, lembaga non keuangan, saling terhubung menyediakan dana sebagai sumber-sumber pembiayaan bagi pihak yang membutuhkan modal. Pada tahun 2010 atau 2 tahun pasca terjadinya krisis global, para pemimpin G20 mengendorse kebijakan yang telah diperkenalkan oleh Basel Commite for Banking Supervision (BCBS) yang disebut sebagai kebijakan makroprudensial.
            Kebijakan makroprudensial lahir sebagai jawaban untuk bisa mengatasi krisis akibat dampak yang bersumber dari lemahnya stabilitas sistem keuangan. IMF menyebutkan bahwa, kebijakan makroprudensial ditujukan untuk memitigasi dan atau mengurangi risiko sistemik serta untuk memperkuat sistem keuangan agar lebih tahan dan stabil dari goncangan yang di sebabkan dari internal maupun eksternal. Kebijakan makroprudensial mempunyai peran untuk mengatur dan mengawasi hubungan antar lembaga keuangan yang satu dengan yang lainnya agar jika suatu saat terjadi inbalance yang bermuara pada goncangan pada sistem keuangan, maka sedini mungkin bisa dapat dicegah. Dalam mencapai 3 tujuannya untuk mengurangi dampak risiko sistemik, mendorong lembaga keuangan sebagai lembaga intermediasi yang semakin berkualitas, dan mendorong terciptanya efisiensi akses keuangan, kebijakan makroprudensial memiliki beberapa instrumen ysng terbagi atas instrumen kredit, instrumen modal, dan instrumen capital inflow.
            Legal Reserve Requirement atau yang sering disebut dengan Giro Wajib Minimum (GWM) dan Loan to Value (LTV) merupakan beberapa instrumen yang digunakan untuk mengendalikan kredit. Jika GWM merupakan instrumen pengendalian kredit yang menggambarkan likuiditas/dana minimum yang wajib disimpan oleh suatu bank dalam bentuk saldo rekening kepada BI untuk menjamin terpenuhinya likuiditas jika suatu saat depoaan menarik dananya, maka berbeda dengan LTV yang merupakan instrumen yang digunakan untuk mengendalikan kredit di sektor properti atau perumahan, dan instrumen pengendalian kredit pada sektor otomotif. Berdasarkan informasi berita yang di kutip dari laman resmi infobanknews.com, dimana pada bulan Juni tahun 2015, BI telah melakukan pelonggaran terhadap kebijakan Loan to Value (LTV). Kebijakan pelonggaran ini dimaksudkan untuk mendongkrak kredit pada sektor properti. LTV merupakan besaran dan jumlah suatu kredit yang diberikan oleh bank kepada peminjam dengan jaminan tertentu pada sektor properti.
            Munculnya kebijakan mengenai pelonggaran LTV ini sebagai respon dan jawaban dari menurunnya pertumbuhan kredit pada sektor properti pada akhir-akhir ini. Seperti yang dikutip dari berita harian di web resmi (infobanknews.com) dimana pembelian melalui KPR terus mengalami penurunan semenjak tahun 2013. Penurunan terjadi di tahun 2014 hampir sebesar Rp 0,9 triliun menjadi sebesar Rp 3,2 triliun jika di bandingkan dengan 2013 yang jumlahnya adalah sebesar 4,1 triliun. Sedangkan pada tahun 2015 terjadi penurunan lebih kecil yaitu hampir mencapai Rp 0,5 triliun menjadi sebesar Rp 2,7 triliun. Sedangkan pada kredit in house malah terjadi kenaikan setiap tahunnya yakni yakni masing-masing sebesar Rp 3,8 4,8 5,7 triliun di tahun 2013, 2014, sampai dengan tahun 2015. Hal inilah yang menjadi salah satu pertimbangan BI dan OJK untuk mencari solusi bagaimana untuk mengembangkan industri properti yang saat ini sedang mengalami kelesuan. Dalam jurnal Vol. VII, No. 10/II/P3DI/Mei 2015 yang ditulis oleh Eka Budiyanti mengenai “Kebijakan Pelonggaran Ketentuan Loan To Value (LTV) Sektor Properti” menyebutkan bahwa pada tahun 2012 BI pernah melakukan kebijakan mengenai pengetatan LTV, hal ini dilakukan oleh BI karena pada tahun 2011 sampai tahun 2012 konsumsi kredit pada industri properti mengalami kenaikan yang dinilainya terlalu tinggi sehingga dikhawatirkan akan menyebabkan bubble risk. Jadi BI secara prudent melakukan kebijakan kontraksi pada sektor properti sebagai upaya pencegahan sedini mungkin terhadap indikator-indikator yang dapat mengganggu kestabilan ataupun rusaknya struktur harga yang bermuara pada inflasi di sektor ini. Namun, hal ini justru berdampak pada penurunan kredit properti di tahun pasca BI menerapkan kebijakan tersebut, terbukti dari menurunnya angka kredit pada sektor properti di tahun 2013 hingga tahun 2015.
            Terkait dengan upaya yang direncanakan oleh BI yang akan mengkaji ulang aturan LTV di daerah, hal ini memang perlu untuk dilakukan untuk mendorong developer-developer yang ada di masing-masing daerah agar bisa terus melakukan ekspansi usahanya yang pada nantinya akan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi di daerah. Kemudian pada tahun 2016, BI kembali melakukan pelonggaran terhadap LTV untuk Kredit kepemilikan rumah (KPR) dan kredit kepemilikan apartmen (KPA). Jadi para konsumen properti jika membeli sebuah rumah dengan menggunakan KPR, maka di dalam peraturan yang baru harus membayarkan sebesar 20% sebagai uang muka yang lebih kecil. Namun untuk sektor otomotif, pelonggaran LTV masih akan dipertimbangkan dan dikaji kembali oleh BI. Kebijakan pelonggaran LTV untuk sektor properti rencananya akan diputuskan pada bulan Agustus mendatang. Kebijakan moneter yang bersifat ekspansif ini memang upaya yang seharusnya dilakukan untuk lebih bisa meningkatkan dan memompa pertumbuhan sektor riil, karena dengan turunnya BI rate, GWM, dan LTV ini otomatis dunia perbankan akan mendapatkan tambahan dana likuiditas yang dapat di transmisikan ke sektor riil. Mengingat pada sektor industri properti merupkan salah satu industri yang dapat menyerap banyak tenaga kerja, sehingga bisa mengurangi tingkat pengangguran, dan banyak mempunyai nilai tambah (value added). Tentu perbankan juga dalam mengelola dan mengawasi penyaluran kreditnya harus dilakukan dengan selektif dan prudent agar, tidak terjadi credit booming yang dapat menimbulkan bubble risk yang terjadi pada industri properti. Sehingga nantinya struktur harga yang ada industri ini tidak rusak / mengalami inflasi.

0 komentar:

Posting Komentar