Kebijakan Makroprudensial
Krisis global telah
banyak memberikan pelajaran dan pengalaman bahwa kebijakan moneter tidak hanya
melakukan penstabilan makroekonomi. Hal ini dikarenakan lebih banyak terjadi
ketidakstabilan makroekonomi di sektor keuangan. Oleh sebab itu dalam
mengendalikan stabilitas makroekonomi yang ada tidak hanya bagaimana mengendalikan
kestabilan domestik maupunkestabilan eksternal, tetapi juga dengan menjaga
kestabilan keuangan. Contohnya saja menurut Asisten Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, pihaknya akan
mengoptimalkan bauran kebijakan moneter dan makroprudensial dalam menjaga
stabilitas nilai rupiah dan mendukung stabilitas sistem keuangan.Dalam pernyataan
Asisten Gubernur Bank Indonesia ini maksudnya
pihak Bank Indonesia menenuntut adanya sinergisitas antara kebijakan
makroprudensial dengan kebijakan moneter untuk mengurangi fluktuasi ekonomi
yang berlebihan.
Ada salah satu kebijakan
yang mendukung stabilisasi dalam sistem keuangan. Kebijakan yang dimaksud
adalah kebijakan moneter. Kebijakan ini mampu mendukung stabilisasi dalam
sistem keuangan dengan cara mempengaruhi kondisi keuangan dan perilaku di pasar
keuangan. Transmisi kebijakan moneter melalui analisis neraca perusahaan dan
perbankan juga akan berperan untuk menghadapi potensi ketidakstabilan sektor
keuangan. Selain itu juga terdapat kebijakan lain. Kebijakan ini dinamakan
kebijakan makroprudensial.Kebijakan makroprudensial dirancang untuk mengatasi
prosiklikalitas dalam perekonomian mendukung kebijakan moneter dalam
mengendalikan stabilitas makroekonomi. Tujuan dari kebijakan makroprudensial
adalah lebih mengarah pada countercyclical
akan dapat bersinergi baik dengan
kebijakan moneter yang bertujuan untuk mengurangi fluktuasi ekonomi.
Mengaca pada tahun
sebelumnya yaitu tahun 2013, ada empat tantangan besar yang akan dihadapi Bank
Indonesia. Tantangan yang pertama,
menganai laju inflasi dari
Januari-Februari 2013. Tantangan yang
kedua adalah fluktuasi harga energi dan pangan, kondisi ini
dikhawatirkan dapat mengancam kestabilan pangan Indonesia ke depan. Tantangan
ketiga yang bakal dihadapi BI adalah Pelemahan permintaan dunia, karena kondisi
ekonomi global yang belum membaik yang pastinya akan berdampak menyusutkan
ekspor Indonesia. Dan yang keempat, adalah melambatnya pertumbuhan ekonomi negara
maju, seperti Eropa dan Amerika Serikat (AS) sehingga berpotensi menimbulkan
terjadinya penggelembungan aset.
Dalam beberapa masalah
tersebuat diperlukanlah strategi-strategi yang dibuat untuk mengatasi
kestabilan harga dan minimal membenahi dan memperkuat kebijakn moneter yang
ada, sehingga perlu strategi dalam penguatan kerangka kebijakan moneter yang
bertujuan untuk menjaga kestabilan harga
diimbangi dengan nilai tukar
rupiah sesuai dengan nilai fundamentalnya, baik melalui strategi bauran
kebijakan antara kebijakan makroprudensial dan kebijakan moneter dengan
instrument suku bunga, nilai tukar, dan makroprudensial. Strategi ini
jugaberperan dalam peningkatan efektifitas koordinasi dan sinergi kebijakan
moneter dengan otoritas fiscal dan sector riil dalam mengendalikan inflasi melalui
pengendalian inflasi melaui Tim Pengendali Inflasi (TPI) dan Tim Pengendali
Inflasi Daerah (TPID). Dan juga strategi pencapaian stabilitas harga seiring
volatilitas nilai tukar yang terjaga dan cadangan devisa yang cukup.
Ketika terdapat risiko instabilitas
sistem keuangan yang
berasal dari tekanan inflasi dan volatilitas nilai tukar rupiah, maka kebijakan
makroprudensial yang diambil oleh BI akan selalu mengarah kepada usaha untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Misalnya saja,
pengetatan moneter melalui penaikan suku bunga acuan. Saat suku
bunga acuan naik, maka secara otomatis akan mengerek bunga kredit perbankan. Hal tersebut berakibat pada
permintaan kredit akan melambat. Bank Indonesia sengaja mengambil kebijakan ini
untuk menjaga pertumbuhan kredit agar tidak terlalu tinggi, terutama kredit
konsumsi yang ditopang oleh kredit perumahan dan kendaraan. Jadi, kebijakan
makroprudensial ini memang dimulai sejak tahap awal yakni pemetaan dan
pemantauan risiko, kemudian hingga berlanjut ke tahap pemilihan instrumen
kebijakan yang diperlukan beirkut implementasinya. Tahap terakhir adalah
evaluasi untuk mengetahui efektivitas tindakan yang diambil.
Makroprudensial dan mikroprudensial
merupakan dua
hal atau kebijakan yang berbeda. Pembagian perannya adalah BI sebagai otoritas
makroprudensial (macroprudential) sedangkan OJK dikenal sebagai otoritas
mikroprudensial (microprudential).Pada umumnya kebijakan mikroprudensial
menguji respons dari setiap bank terkait dengan risiko-risiko yang bersifat
eksogen dan tidak berhubungan dengan risiko-risiko yang bersifat endogen.
Tujuan utama dari kebijakan makroprudensial adalah untuk
mengatasi eksternalitas negatif dengan bertindak sebagai kekuatan countervailing
untuk menurunkan secara alami berbagai risiko. Kebijakan makroprudensial juga
bertujuan memitigasi risiko-risiko yang terkait dengan konsentrasi dan
koneksitas sektor keuangan, baik risiko secara individual maupun yang bersifat
sistematis sesungguhnya saling terkait. Faktanya, sistem keuangan yang
terkonsentrasi merupakan akibat dari aksi yang dilakukan oleh individual pelaku
industri keuangan.
Instabilitas
atau tidak keseimbangan dalam sistem keuangan juga berasal dari
instabilitas individual pelaku industri keuangan. Kesehatan individual lembaga
keuangan akan menciptakan stabilitas sistem keuangan. Stabilitas sistem
keuangan juga berkontribusi bagi terciptanya lembaga keuangan individual yang
sehat. Kondisi ini berpotensi
menimbulkan over-lapping karena objek dari kebijakan makroprudensial dan
mikroprudensial itu adalah sama, yaitu lembaga keuangan.Untuk menciptakan
sinergi antara makroprudensial dan mikroprudensial, BI dan OJK harus memiliki
mekanisme kerja yang jelas, terstruktur, terukur, sistematis, akuntabel, dan
dapat dipertanggungjawabkan baik secara hukum maupun politik.
0 komentar:
Posting Komentar