Blogroll

Jumat, 10 Juni 2016

Kebijakan Makroprudensial

Kebijakan Makroprudensial

Krisis global telah banyak memberikan pelajaran dan pengalaman bahwa kebijakan moneter tidak hanya melakukan penstabilan makroekonomi. Hal ini dikarenakan lebih banyak terjadi ketidakstabilan makroekonomi di sektor keuangan. Oleh sebab itu dalam mengendalikan stabilitas makroekonomi yang ada tidak hanya bagaimana mengendalikan kestabilan domestik maupunkestabilan eksternal, tetapi juga dengan menjaga kestabilan keuangan. Contohnya saja menurut Asisten Gubernur Bank  Indonesia Perry Warjiyo, pihaknya akan mengoptimalkan bauran kebijakan moneter dan makroprudensial dalam menjaga stabilitas nilai rupiah dan mendukung stabilitas sistem keuangan.Dalam pernyataan Asisten Gubernur Bank  Indonesia ini maksudnya pihak Bank Indonesia menenuntut adanya sinergisitas antara kebijakan makroprudensial dengan kebijakan moneter untuk mengurangi fluktuasi ekonomi yang berlebihan.
Ada salah satu kebijakan yang mendukung stabilisasi dalam sistem keuangan. Kebijakan yang dimaksud adalah kebijakan moneter. Kebijakan ini mampu mendukung stabilisasi dalam sistem keuangan dengan cara mempengaruhi kondisi keuangan dan perilaku di pasar keuangan. Transmisi kebijakan moneter melalui analisis neraca perusahaan dan perbankan juga akan berperan untuk menghadapi potensi ketidakstabilan sektor keuangan. Selain itu juga terdapat kebijakan lain. Kebijakan ini dinamakan kebijakan makroprudensial.Kebijakan makroprudensial dirancang untuk mengatasi prosiklikalitas dalam perekonomian mendukung kebijakan moneter dalam mengendalikan stabilitas makroekonomi. Tujuan dari kebijakan makroprudensial adalah lebih mengarah pada countercyclical  akan dapat bersinergi baik dengan  kebijakan moneter yang bertujuan untuk mengurangi fluktuasi ekonomi.
Mengaca pada tahun sebelumnya yaitu tahun 2013, ada empat tantangan besar yang akan dihadapi Bank Indonesia. Tantangan yang pertama,  menganai laju inflasi dari  Januari-Februari 2013. Tantangan yang  kedua adalah fluktuasi harga energi dan pangan, kondisi ini dikhawatirkan dapat mengancam kestabilan pangan Indonesia ke depan. Tantangan ketiga yang bakal dihadapi BI adalah Pelemahan permintaan dunia, karena kondisi ekonomi global yang belum membaik yang pastinya akan berdampak menyusutkan ekspor Indonesia. Dan yang  keempat,  adalah melambatnya pertumbuhan ekonomi negara maju, seperti Eropa dan Amerika Serikat (AS) sehingga berpotensi menimbulkan terjadinya penggelembungan aset.
Dalam beberapa masalah tersebuat diperlukanlah strategi-strategi yang dibuat untuk mengatasi kestabilan harga dan minimal membenahi dan memperkuat kebijakn moneter yang ada, sehingga perlu strategi dalam penguatan kerangka kebijakan moneter yang bertujuan untuk menjaga kestabilan harga  diimbangi dengan  nilai tukar rupiah sesuai dengan nilai fundamentalnya, baik melalui strategi bauran kebijakan antara kebijakan makroprudensial dan kebijakan moneter dengan instrument suku bunga, nilai tukar, dan makroprudensial. Strategi ini jugaberperan dalam peningkatan efektifitas koordinasi dan sinergi kebijakan moneter dengan otoritas fiscal dan sector riil dalam mengendalikan inflasi melalui pengendalian inflasi melaui Tim Pengendali Inflasi (TPI) dan Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID). Dan juga strategi pencapaian stabilitas harga seiring volatilitas nilai tukar yang terjaga dan cadangan devisa yang cukup.
Ketika terdapat risiko instabilitas sistem keuangan yang berasal dari tekanan inflasi dan volatilitas nilai tukar rupiah, maka kebijakan makroprudensial yang diambil oleh BI akan selalu mengarah kepada usaha untuk menyelesaikan masalah tersebut. Misalnya saja, pengetatan moneter melalui penaikan suku bunga acuan. Saat suku bunga acuan naik, maka secara otomatis akan mengerek bunga kredit perbankan. Hal tersebut berakibat pada permintaan kredit akan melambat. Bank Indonesia sengaja mengambil kebijakan ini untuk menjaga pertumbuhan kredit agar tidak terlalu tinggi, terutama kredit konsumsi yang ditopang oleh kredit perumahan dan kendaraan. Jadi, kebijakan makroprudensial ini memang dimulai sejak tahap awal yakni pemetaan dan pemantauan risiko, kemudian hingga berlanjut ke tahap pemilihan instrumen kebijakan yang diperlukan beirkut implementasinya. Tahap terakhir adalah evaluasi untuk mengetahui efektivitas tindakan yang diambil.
Makroprudensial dan mikroprudensial merupakan dua hal atau kebijakan yang berbeda. Pembagian perannya adalah BI sebagai otoritas makroprudensial (macroprudential) sedangkan OJK dikenal sebagai otoritas mikroprudensial (microprudential).Pada umumnya kebijakan mikroprudensial menguji respons dari setiap bank terkait dengan risiko-risiko yang bersifat eksogen dan tidak berhubungan dengan risiko-risiko yang bersifat endogen.
Tujuan utama dari kebijakan makroprudensial adalah untuk mengatasi eksternalitas negatif dengan bertindak sebagai kekuatan countervailing untuk menurunkan secara alami berbagai risiko. Kebijakan makroprudensial juga bertujuan memitigasi risiko-risiko yang terkait dengan konsentrasi dan koneksitas sektor keuangan, baik risiko secara individual maupun yang bersifat sistematis sesungguhnya saling terkait. Faktanya, sistem keuangan yang terkonsentrasi merupakan akibat dari aksi yang dilakukan oleh individual pelaku industri keuangan.

Instabilitas atau tidak keseimbangan dalam sistem keuangan juga berasal dari instabilitas individual pelaku industri keuangan. Kesehatan individual lembaga keuangan akan menciptakan stabilitas sistem keuangan. Stabilitas sistem keuangan juga berkontribusi bagi terciptanya lembaga keuangan individual yang sehat. Kondisi ini berpotensi menimbulkan over-lapping karena objek dari kebijakan makroprudensial dan mikroprudensial itu adalah sama, yaitu lembaga keuangan.Untuk menciptakan sinergi antara makroprudensial dan mikroprudensial, BI dan OJK harus memiliki mekanisme kerja yang jelas, terstruktur, terukur, sistematis, akuntabel, dan dapat dipertanggungjawabkan baik secara hukum maupun politik.

0 komentar:

Posting Komentar