PELONGGARAN KEBIJAKAN MAKROPRUDENSIAL
Oleh:
Fatchur Rozi
Pelonggaran kebijakan Makroprudensial yang dilakukan
oleh Bank Indonesia dengan cara menurunkan rasio cadangan Giro Wajib Minimum 50
basis pin ke level 7,5 cukup masuk akal, mengingat kondisi perlambatan ekonomi
global di satu sisi, tetapi kondisi perekonomian dalam negeri cukup stabil,
langlah tersebut dianggap mampu meningkatkan penyaluran kredit dalam perbankan
sehingga sektor investasi dapat berkembang.
Tetapi yang disayangkan dari itu adalah kebijakan
penuruna GWM tersebut tidak diimbangi dengan penurunan suku bunga acuan Bank
Indonesia. Mungkin jika kebijakan penurunan GWM diikuti oleh penurunan BI Rate
mungkin permintaan kredit aktif akan semakin meningkat. Mungkin Bank Indonesia
mempertimbangkan unsur lain atau ada faktor lain yang menyebabakn kebijakan
tersebut tidak diimbangi dengan kebijakan di sektor moneter dengan menurunkan
suku bunga acuannnya.
Penurunan tingkat GWM tersebut maka diperirakan akan
ada dana sebanyak 18 triliun yang akan masuk ke system perbankan. Dana tersebut
cukup banyak dan berpotensi banyak untuk bisa tersalurkan ke sktor kredit
aktif. Agar danya sebanyak itu dapat tersalurkan secara efektif, maka disinilah
dibutuhkan peran control dan pengawasan oleh pihak Bank Indonesia ydan Otoritas
Jasa Keuangan (OJK).
Kebijakan mokroprudensial sebelumnya yang dilakukan
yaitu melalui Loan to Value (LTV)
sangat berguna dalam mendorong stimulus aliran dana yang berlebih untuk
mengurangi resiko kredit macet (NPL) agar aliran dana tersebut dapat terkontrol
dan dikendalikan. Kebijakan ini I merupakan kebijakan yang cukup strategis
apalagi kebijakan ini juga diikuti dengan kebijakan makroprudensial berupa
penurunan tingkat GWM.
Pertumbuhan sektor properti terutama di sektor KPR
juga perlu diimbangi dengan adanya kebijakan LTV ini karena kebijakan ini mampu
mengurangi resiko KPR dan KKB ebagai bagian dari operational target, dan
mengurangi demand terhadap pembelian properti dan kendaraan lewat perbankan
sebagai intermediate target sehingga resiko sistemik di sektor keuangan dapat
diminalisir. Dari
data yang saya himpun menunjukkan bahwa pertumbuhan kredit properti real estate hingga Bulan September 2015
telah naik hingga 20,6% y-o-y, sedangkan sektor konstruksi mencatatkan kenaikan
hingga 28,4% y-o-y. Meskipun kredit pemilikan rumah baru naik 7,3 % y-o-y.
Kalau menelisik dari data tersebut peningkatannya cukup tinggi, sehingga
kebijakan yang dijalankan juga patut untuk diapresiasi.
Kebijakan
GWM atau Giro Wajib Minimum merupakan salah satu kebijakan makroprudensial yang
dilakukan oleh Bank Indonesia dengan mengurang cadangan kas minimum atau asset
likuid dari perbankan umum di Bank Sentral. Dengan mengurangi cadangan GWM ini
menujukkan bahwa pemerintah ingin mengaktifkan perumbuhan ekonomi dengan
penyaluran kredit terutama di sektor riil dengan melalui peningkatan investasi.
Karena dengan penurunan GWM ini tentu akan semakin banyak kredit yang mampu
disalurkan oleh perbankan. Penurunan GWM tersebut mungkin merupakan sinyal dari
Bank Sentral dalam hal ini Bank Indonesia terkait dengan ancaman perlambatan
ekonomi global yang tengah terjadi saat ini. Penurunan GWM juga bisa menujukkan
indaktor bahwa kondisi perbankan di Indonesia dinilai cukup sehat untuk
menyalurkan kredit yang ada.
Kebijakan
ini juga bertujuan untuk menjaga kecukupan rasio kredit lancar berupa dana
liquid di dalam sektor perekonomian. Perkembangan dan kecenderungan yang
terjadi saat ini ditengah perlambatan ekonomi global adalah perbankan akan
melakukan pengetatan terhadap penyaluran kredit yang ada karena dikhawatirkan
aliran kredit tersebut tidak menguntungkan. Oleh karenanya untuk mendukung dan
menopang persebaran aliran dana tersebut maka perlu dirangsang dengan penurunan
GWM, karena diharapkan jika tingkat GWM tersebut akan menambah stok kredit
lancar di perbankan sehingga aliran dana kredit semakin banyak dan semakin
memngunkinakn untuk penyaluran ivestasi di sektor yang produktif agar
pertumbuhan ekonomi dapat digenjot.
Dari
pemaparan sebelumnya juga Nampak bahwa sebenarnya kebijakan makroprudensial
memiliki keterkaitan yang erat dengan kebijakan mikroprudensial,
makroprudensial dengan kebijakan moneter serta kebijakan makroprudensial dengan
sektor riil. Oleh karenanya kebijakan mkaroprudensial yang akan dijalankan juga
harus dinilai dengan hati-hati dan konsekuen.
Dijalankannya
juga harus melihat detil dari kondisi perekonomian yang ada di sektor fiskal
maupun sektor moneter. Terutama sektor moneter, karena sektor ini yang akan
berdampak langsung dari kebijakan makroprudensial yang dijalankan oleh Bank
Indonesia. Mekanisme pertahanan dalam menghindari resiko sistemik dalam sektor
keuangan juga harus diperhatikan, bagian ini merupakan bagian yang sangat
penting dan rawan mengingat sistem keuangan global saat ini mengarah ke system
yang saling terhubng dan terkoneksi. Jadi sangat memengkinkan terjadinya efek
domino dari adanya suatu krisis yang mjalar seperti yang terjadi tahun 2008
kemarin.
Efek domino
dalam krisis inilah yang patut untuk diwaspadai, oleh karena itu diperlukannya
suatu sistem pertahanan berlapis dan berjanjenjang atau berhirarki terkait
dimensi krisis yang akan dihadapi. Kalau kebijakan Makroprudensial dapat
dijalankan melalui pendekatan Top-down sedangkan mikroprodensial dengan
pendekatan Bottom-up. Dampak lain yang dirasakan terkait
dengan kebijakan penurunan rasio GWM adalah tingkat bunga kredit akan semakin
kompetitif karena jumlah kredit yang mampu disediakan oleh perbankan akan
semakin banyak karena adanya pengurangan cadangan minimum tersebut.
Dengan semakin
banyak kredit yang ditawarkan maka setiap perbankan akan bersiang untuk
mendapatkan nasabah yang potensial untuk menyalurkan kredit tersebut. Dampak
lainnya yang tentu dirasakan terkait dengan penurunan ini maka aka nada semakin
banyak investor atau debitur yang akan mempergunakan kredit tersebut untuk sektor
investasi.
Dengan
adanya surplus atau adanya tambahan dana kredit tersebut seharusnya mampu
dialokasikan secara efektif kesaluran tau channel-channel perekonomian yang
memeberikan dampak yang cukup besar dan signifikan bagi perekonomian. Baik
untuk sektor riil maupun sektor moneter. Karena sebagai negara yang sedang
berkembang Indonesia masih banyak membutuhkan banyak sumber daya modal untuk sektor
investasi dan pembangunan.
Oleh karena itu kesimpulann yang didapatkan
adalah bahwa setiap kebijakan makroprudensial yang bertujuan untuk untuk
mengurangi resiko sistemik dalam pasar uang atau sektor moneter harus melalui
suatu tahapan perencaan, pengendalian, pelaksanaan, dan evalusai yang matang
dan terkontrol serta transparan dan akuntabilitas sangat mutlak diperlukan.
0 komentar:
Posting Komentar