Blogroll

Rabu, 15 Juni 2016

PELONGGARAN KEBIJAKAN MAKROPRUDENSIAL



PELONGGARAN KEBIJAKAN MAKROPRUDENSIAL
Oleh: Fatchur Rozi



Pelonggaran kebijakan Makroprudensial yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan cara menurunkan rasio cadangan Giro Wajib Minimum 50 basis pin ke level 7,5 cukup masuk akal, mengingat kondisi perlambatan ekonomi global di satu sisi, tetapi kondisi perekonomian dalam negeri cukup stabil, langlah tersebut dianggap mampu meningkatkan penyaluran kredit dalam perbankan sehingga sektor investasi dapat berkembang.
Tetapi yang disayangkan dari itu adalah kebijakan penuruna GWM tersebut tidak diimbangi dengan penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia. Mungkin jika kebijakan penurunan GWM diikuti oleh penurunan BI Rate mungkin permintaan kredit aktif akan semakin meningkat. Mungkin Bank Indonesia mempertimbangkan unsur lain atau ada faktor lain yang menyebabakn kebijakan tersebut tidak diimbangi dengan kebijakan di sektor moneter dengan menurunkan suku bunga acuannnya.
Penurunan tingkat GWM tersebut maka diperirakan akan ada dana sebanyak 18 triliun yang akan masuk ke system perbankan. Dana tersebut cukup banyak dan berpotensi banyak untuk bisa tersalurkan ke sktor kredit aktif. Agar danya sebanyak itu dapat tersalurkan secara efektif, maka disinilah dibutuhkan peran control dan pengawasan oleh pihak Bank Indonesia ydan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Kebijakan mokroprudensial sebelumnya yang dilakukan yaitu melalui Loan to Value (LTV) sangat berguna dalam mendorong stimulus aliran dana yang berlebih untuk mengurangi resiko kredit macet (NPL) agar aliran dana tersebut dapat terkontrol dan dikendalikan. Kebijakan ini I merupakan kebijakan yang cukup strategis apalagi kebijakan ini juga diikuti dengan kebijakan makroprudensial berupa penurunan tingkat GWM.
Pertumbuhan sektor properti terutama di sektor KPR juga perlu diimbangi dengan adanya kebijakan LTV ini karena kebijakan ini mampu mengurangi resiko KPR dan KKB ebagai bagian dari operational target, dan mengurangi demand terhadap pembelian properti dan kendaraan lewat perbankan sebagai intermediate target sehingga resiko sistemik di sektor keuangan dapat diminalisir. Dari data yang saya himpun menunjukkan bahwa pertumbuhan kredit properti real estate hingga Bulan September 2015 telah naik hingga 20,6% y-o-y, sedangkan sektor konstruksi mencatatkan kenaikan hingga 28,4% y-o-y. Meskipun kredit pemilikan rumah baru naik 7,3 % y-o-y. Kalau menelisik dari data tersebut peningkatannya cukup tinggi, sehingga kebijakan yang dijalankan juga patut untuk diapresiasi.
Kebijakan GWM atau Giro Wajib Minimum merupakan salah satu kebijakan makroprudensial yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan mengurang cadangan kas minimum atau asset likuid dari perbankan umum di Bank Sentral. Dengan mengurangi cadangan GWM ini menujukkan bahwa pemerintah ingin mengaktifkan perumbuhan ekonomi dengan penyaluran kredit terutama di sektor riil dengan melalui peningkatan investasi. Karena dengan penurunan GWM ini tentu akan semakin banyak kredit yang mampu disalurkan oleh perbankan. Penurunan GWM tersebut mungkin merupakan sinyal dari Bank Sentral dalam hal ini Bank Indonesia terkait dengan ancaman perlambatan ekonomi global yang tengah terjadi saat ini. Penurunan GWM juga bisa menujukkan indaktor bahwa kondisi perbankan di Indonesia dinilai cukup sehat untuk menyalurkan kredit yang ada.
Kebijakan ini juga bertujuan untuk menjaga kecukupan rasio kredit lancar berupa dana liquid di dalam sektor perekonomian. Perkembangan dan kecenderungan yang terjadi saat ini ditengah perlambatan ekonomi global adalah perbankan akan melakukan pengetatan terhadap penyaluran kredit yang ada karena dikhawatirkan aliran kredit tersebut tidak menguntungkan. Oleh karenanya untuk mendukung dan menopang persebaran aliran dana tersebut maka perlu dirangsang dengan penurunan GWM, karena diharapkan jika tingkat GWM tersebut akan menambah stok kredit lancar di perbankan sehingga aliran dana kredit semakin banyak dan semakin memngunkinakn untuk penyaluran ivestasi di sektor yang produktif agar pertumbuhan ekonomi dapat digenjot.
Dari pemaparan sebelumnya juga Nampak bahwa sebenarnya kebijakan makroprudensial memiliki keterkaitan yang erat dengan kebijakan mikroprudensial, makroprudensial dengan kebijakan moneter serta kebijakan makroprudensial dengan sektor riil. Oleh karenanya kebijakan mkaroprudensial yang akan dijalankan juga harus dinilai dengan hati-hati dan konsekuen.
Dijalankannya juga harus melihat detil dari kondisi perekonomian yang ada di sektor fiskal maupun sektor moneter. Terutama sektor moneter, karena sektor ini yang akan berdampak langsung dari kebijakan makroprudensial yang dijalankan oleh Bank Indonesia. Mekanisme pertahanan dalam menghindari resiko sistemik dalam sektor keuangan juga harus diperhatikan, bagian ini merupakan bagian yang sangat penting dan rawan mengingat sistem keuangan global saat ini mengarah ke system yang saling terhubng dan terkoneksi. Jadi sangat memengkinkan terjadinya efek domino dari adanya suatu krisis yang mjalar seperti yang terjadi tahun 2008 kemarin.
Efek domino dalam krisis inilah yang patut untuk diwaspadai, oleh karena itu diperlukannya suatu sistem pertahanan berlapis dan berjanjenjang atau berhirarki terkait dimensi krisis yang akan dihadapi. Kalau kebijakan Makroprudensial dapat dijalankan melalui pendekatan Top-down sedangkan mikroprodensial dengan pendekatan Bottom-up. Dampak lain yang dirasakan terkait dengan kebijakan penurunan rasio GWM adalah tingkat bunga kredit akan semakin kompetitif karena jumlah kredit yang mampu disediakan oleh perbankan akan semakin banyak karena adanya pengurangan cadangan minimum tersebut.
Dengan semakin banyak kredit yang ditawarkan maka setiap perbankan akan bersiang untuk mendapatkan nasabah yang potensial untuk menyalurkan kredit tersebut. Dampak lainnya yang tentu dirasakan terkait dengan penurunan ini maka aka nada semakin banyak investor atau debitur yang akan mempergunakan kredit tersebut untuk sektor investasi.
Dengan adanya surplus atau adanya tambahan dana kredit tersebut seharusnya mampu dialokasikan secara efektif kesaluran tau channel-channel perekonomian yang memeberikan dampak yang cukup besar dan signifikan bagi perekonomian. Baik untuk sektor riil maupun sektor moneter. Karena sebagai negara yang sedang berkembang Indonesia masih banyak membutuhkan banyak sumber daya modal untuk sektor investasi dan pembangunan.
Oleh karena itu kesimpulann yang didapatkan adalah bahwa setiap kebijakan makroprudensial yang bertujuan untuk untuk mengurangi resiko sistemik dalam pasar uang atau sektor moneter harus melalui suatu tahapan perencaan, pengendalian, pelaksanaan, dan evalusai yang matang dan terkontrol serta transparan dan akuntabilitas sangat mutlak diperlukan.

0 komentar:

Posting Komentar