Blogroll

Minggu, 26 Juni 2016

Inflasi vs. Laju Perekonomian

Inflasi vs. Laju Perekonomian
Oleh : Ika Wahyu Cahyani

Inflasi dan siklus perekonomian bagai dua sisi mata uang yang bertolak belakang tetapi keduanya tetap saling berhubungan dan memiliki keterkaitan yang erat. Jika tingkatan inflasi akan selalu membawa dampak yang besar bagi perekonomian, maka dalam perjalanannya, siklus perekonomian pun akan memberi pengaruh terhadap tingkatan inflasi tersebut. Sedangkan pokok bahasan mengenai inflasi dan perekonomian ini akan berkesinambungan dengan tingkatan harga barang-barang pada sektor riil yang notabene menjadi kebutuhan masyarakat secara umum. Karena, inflasi itu sendiri merupakan fenomena ekonomi yang pasti terjadi di seluruh negara di belahan dunia. Inflasi mencerminkan suatu kondisi kenaikan harga pada barang-barang secara umum sehingga menyebabkan perubahan harga pada sektor riil. Perubahan harga pada sektor riil inilah yang kemudian mempengaruhi perilaku dan daya beli masyarakat sehingga mengakibatkan dilema. Hal tersebut akan memberikan pengaruh untuk menentukan pilihan mana yang akan dipilih, apakah tingkatan inflasi akan lebih tinggi ataukah perekonomian yang melaju lebih pesat?
Pilihan antara tingkat inflasi yang tinggi atau laju perekonomian sebenarnya bukan hal mutlak yang harus dipilih, tetapi hanya laju perekonomian yang pesat menjadi satu fokus utama yang harus ditempuh sebagai tujuan yang ingin dicapai pada perekonomian, sehingga harus mengorbankan pilihan lain yang tersedia. Artinya, dalam hal ini tingkat inflasi tidak termasuk pilihan, melainkan sebuah konsekuensi yang terjadi atas ketidakstabilan perekonomian yang mungkin diakibatkan oleh faktor internal suatu negara maupun faktor eksternal secara global. Faktor internal dapat diukur melalui faktor-faktor moneter dengan variabel-variabel ekonomi seperti nilai tukar, jumlah uang yang beredar di masyarakat, tingkat suku bunga dan lain sebagainya. Sedangkan faktor eksternal kemungkinan dipengaruhi oleh faktor non moneter. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa faktor- faktor non moneter berkenaan dengan fenomena-fenomena sosial yang bergejolak secara global. Misalnya saja, kondisi krisis yang diderita oleh negara-negara maju yang notabene memegang kendali dalam perekonomian global, sehingga akan terjadi fluktuasi ekonomi yang menyebabkan tingkat inflasi semakin tinggi, kondisi perekonomian global yang mengalami resesi akibat perang, ketidakstabilan harga komoditas global dan harga minyak dunia termasuk didalamnya.
Sebagai primadona “permasalahan” perekonomian, inflasi selalu menarik untuk dikaji berulang-ulang karena ia senantiasa mewarnai lika-liku perekonomian. Sudah menjadi pekerjaan rumah bagi masing-masing negara untuk mengendalikan tingkat inflasi supaya roda perekonomian tetap melaju pesat. Pengendalian inflasi ini membutuhkan stimulus khusus. Masing-masing negara tentunya telah memiliki instrumen kebijakan yang tepat yang dapat dipraktikkan di negaranya sendiri. Karena pada dasarnya, tidak semua kebijakan yang dilakukan oleh satu negara akan sinkron jika diterapkan di negara lain, mengingat kondisi tiap-tiap negara berbeda, baik dari segi lingkungan geografis, sistem perekonomian, lembaga/ institusi yang berwenang, landasan dan aturan hukum yang berlaku dan lain sebagainya.
Di indonesia, tingkat inflasi ditangani oleh Bank Indonesia. Selain berfungsi sebagai bank sentral negara, BI juga berfungsi sebagai otoritas moneter yang berwenang penuh dalam sistem keuangan dan sistem pembayaran. Sebagai lembaga yang independen, dalam mengambil setiap keputusan maupun merumuskan kebijakan, BI tidak bisa diintervensi pihak manapun, termasuk pemerintah. Namun dalam kinerjanya, BI dapat membangun kerjasama dan sinergi yang solid antar lembaga- lembaga negara khususnya pemerintah untuk menciptakan tren positif dalam perekonomian.
Dalam mengendalikan tingkat inflasi, BI telah mengeluarkan produk-produk kebijakan diantaranya melalui pengendalian tingkat inflasi dengan mengelola tingkat permintaan nasional, menetapkan target nilai inflasi dan menjaga kestabilan nilai tukar rupiah. Hal tersebut dibuktikan pada capaian tahun 2015. Bank Indonesia telah mencatat laju inflasi di Tanah Air pada tahun tahun tersebut menunjukkan bahwa tingkat inflasi dapat dikendalikan pada presentase 3,35 persen dari target yang telah ditetapkan yaitu sebesar 4 persen. Sedangkan menurut laporan tinjauan kebijakan moneter yang dilakukan oleh Bank Indonesia dalam mencapai sasaran inflasi tidak terlepas dari dukungan inflasi volatile food yang berada pada tingkat 4,48 persen dan diiringi dengan pasokan bahan pangan yang cukup terjaga. Selain itu, dukungan lain pada kestabilan inflasi ini diperoleh dari kelompok administered pice yang menyesuaikan pada penurunan harga minyak dan gas dunia, yang mencatat inflasi sebesar 0,39 persen. Penekanan inflasi oleh BI mencirikan kestabilan ekonomi negara. Kondisi perekonomian yang stabil merupakan sebuah tumpuan utama bagi keberlangsungan “hidup” negara tersebut untuk menciptakan suatu masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera.
Disisi lain, persoalan inflasi yang telah diuraikan sebelumnya ternyata memiliki hubungan yang cenderung positif dengan tingkat pengangguran dan kemiskinan. inflasi juga memberi pengaruh terhadap tingkat pengangguran. Ketika inflasi meningkat maka harga barang-barang terutama menyangkut kebutuhan pokok akan meningkat. Pengaruh inflasi akan menyelinap kedalam sendi-sendi perusahaan dan industri sektor riil. Dengan asumsi pendapatan perusahaan tetap, adanya inflasi akan menyebabkan nilai barang input cenderung meroket, sehingga memungkinkan bagi perusahaan untuk mengurangi faktor produksinya. Pada kondisi yang demikian akan terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) sebagai konsekuensi pengurangan faktor produksi. Dampak secara makro akibat terjadinya PHK ini merujuk pada timbulnya angka pengangguran yang lebih tinggi. Selain itu, asumsi berlaku pada tingkat pendapatan masyakarat tetap. Namun, dengan meningkatnya nilai inflasi dan harga barang semakin melambung dengan pendapatan masyarakat yang masih tetap maka akan menyebabkan daya beli masyarakat berkurang. Tingkat pengeluaran terutama untuk konsumsi merupakan salah satu indikator pengukur tingkat kemiskinan. Pengangguran memiliki tren positif terhadap kemiskinan. Maka dari itu perlu diupayakan untuk mengambil kebijakan yang efektif untuk mencegah hal tersebut terjadi.
Pencapaian keberhasilan perekonomian negara dapat diukur pula melalui beberapa indikator, yaitu semakin kecilnya tingkat pengangguran yang didukung dengan kenaikan pendapatan per kapita dan kenaikan kapasitas produksi nasional. Struktur ketenagakerjaan Indonesia saat ini lebih didominasi dengan usia produktif ditambah dengan kemapanan secara pendidikan. Kemapanan secara pendidikan ini ditinjau dari jumlah penderita buta huruf pada usia produksi yakni berkisar antara 15 hingga 44 tahun. Menurut Badan Pusat Statistik (www.bps.go.id) dalam kurun waktu 2013 hingga 2015, presentase buta huruf mengalami penurunan yakni 1,61 persen pada 2013, 1,24 persen pada tahun 2014 dan 1,10 persen pada tahun 2015. Meskipun ketengakerjaan Indonesia membaik, namun daya serap tenaga kerja nyatanya masih belum maksimal. BI mencatat rata-rata penyerapan tenaga kerja pada tahun 2013 dan 2014 menurun pada tingkat 1 persen dibandingkan tahun 2011 dan 2012 sebesar 2,9 persen.
Meskipun penyerapan tenaga kerja masih belum maksimal dan juga angka pengangguran masih tergolong tinggi yakni 11,90 juta jiwa dari jumlah keseluruhan angkatan kerja sebesar 121,19 juta jiwa pada tahun 2004 hingga 2014, tingkat pendapatan per kapita justru membaik. Ditinjau dari upah nominal dan upah riil yang diterima oleh kelompok masyarakat yangberpenghasilan paling rendah. Pada pekerja/ buruh tani, terjadi kenaikan pada level 0,41 persen dari Januari 2016 ke Februari 2016 dan upah riilnya mengalami kenaikan pada level 0,33 persen dalam tempo waktu yang sama. Sementara itu, pada pekerja buruh informal perkotaan, kenaikan tejadi pada level 0,18 persen pada upah nominal dan 0,27 persen upah riil periode Januari 2016 ke Februari 2016.

Berdasarkan hal tersebut, diperlukan upaya Tingginya inflasi yang sempat melanda Indonesia mungkin disebabkan oleh kecenderungan ketidakpastian perekonomian global, sementara perekonomian dalam negeri masih aman-aman saja. Namun, akankah lebih baik jika kekuatan ekonomi dalam negeri ini semakin besar. Selain untuk mengantisipasi dampak guncangan global, juga mempersempit ketimpangan yang terjadi antara satu wilayah dengan wilayah yang lain. Untuk itu, pemerintah khususnya dalam hal perbaikan pelayanan publik dan insfrastruktur secara keseluruhan, seperti perbaikan pada sektor riil dan perluasan lapangan pekerjaan untuk mengurangi tingkat pengangguran. Selain itu diperlukan kerjasama yang lebih solid lagi antara pemerintah sebagai lembaga eksekutif yang berwenang atas fiskal dengan BI sebagai otoritas moneter. Sinergi yang baik antara keduanya akan mampu menghasilkan produk bauran kebijakan yang akan meningkatkan kecenderungan perekonomian yang positif.

0 komentar:

Posting Komentar