Inflasi vs. Laju Perekonomian
Oleh : Ika Wahyu Cahyani
Inflasi
dan siklus perekonomian bagai dua sisi mata uang yang bertolak belakang tetapi
keduanya tetap saling berhubungan dan memiliki keterkaitan yang erat. Jika tingkatan
inflasi akan selalu membawa dampak yang besar bagi perekonomian, maka dalam
perjalanannya, siklus perekonomian pun akan memberi pengaruh terhadap tingkatan
inflasi tersebut. Sedangkan pokok bahasan mengenai inflasi dan perekonomian ini
akan berkesinambungan dengan tingkatan harga barang-barang pada sektor riil
yang notabene menjadi kebutuhan masyarakat secara umum. Karena, inflasi itu
sendiri merupakan fenomena ekonomi yang pasti terjadi di seluruh negara di
belahan dunia. Inflasi mencerminkan suatu kondisi kenaikan harga pada barang-barang
secara umum sehingga menyebabkan perubahan harga pada sektor riil. Perubahan
harga pada sektor riil inilah yang kemudian mempengaruhi perilaku dan daya beli
masyarakat sehingga mengakibatkan dilema. Hal tersebut akan memberikan pengaruh
untuk menentukan pilihan mana yang akan dipilih, apakah tingkatan inflasi akan
lebih tinggi ataukah perekonomian yang melaju lebih pesat?
Pilihan
antara tingkat inflasi yang tinggi atau laju perekonomian sebenarnya bukan hal
mutlak yang harus dipilih, tetapi hanya laju perekonomian yang pesat menjadi satu
fokus utama yang harus ditempuh sebagai tujuan yang ingin dicapai pada
perekonomian, sehingga harus mengorbankan pilihan lain yang tersedia. Artinya, dalam
hal ini tingkat inflasi tidak termasuk pilihan, melainkan sebuah konsekuensi
yang terjadi atas ketidakstabilan perekonomian yang mungkin diakibatkan oleh
faktor internal suatu negara maupun faktor eksternal secara global. Faktor
internal dapat diukur melalui faktor-faktor moneter dengan variabel-variabel
ekonomi seperti nilai tukar, jumlah uang yang beredar di masyarakat, tingkat
suku bunga dan lain sebagainya. Sedangkan faktor eksternal kemungkinan
dipengaruhi oleh faktor non moneter. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya
bahwa faktor- faktor non moneter berkenaan dengan fenomena-fenomena sosial yang
bergejolak secara global. Misalnya saja, kondisi krisis yang diderita oleh
negara-negara maju yang notabene memegang kendali dalam perekonomian global,
sehingga akan terjadi fluktuasi ekonomi yang menyebabkan tingkat inflasi
semakin tinggi, kondisi perekonomian global yang mengalami resesi akibat
perang, ketidakstabilan harga komoditas global dan harga minyak dunia termasuk
didalamnya.
Sebagai
primadona “permasalahan” perekonomian, inflasi selalu menarik untuk dikaji berulang-ulang
karena ia senantiasa mewarnai lika-liku perekonomian. Sudah menjadi pekerjaan
rumah bagi masing-masing negara untuk mengendalikan tingkat inflasi supaya roda
perekonomian tetap melaju pesat. Pengendalian inflasi ini membutuhkan stimulus
khusus. Masing-masing negara tentunya telah memiliki instrumen kebijakan yang
tepat yang dapat dipraktikkan di negaranya sendiri. Karena pada dasarnya, tidak
semua kebijakan yang dilakukan oleh satu negara akan sinkron jika diterapkan di
negara lain, mengingat kondisi tiap-tiap negara berbeda, baik dari segi lingkungan
geografis, sistem perekonomian, lembaga/ institusi yang berwenang, landasan dan
aturan hukum yang berlaku dan lain sebagainya.
Di
indonesia, tingkat inflasi ditangani oleh Bank Indonesia. Selain berfungsi
sebagai bank sentral negara, BI juga berfungsi sebagai otoritas moneter yang
berwenang penuh dalam sistem keuangan dan sistem pembayaran. Sebagai lembaga
yang independen, dalam mengambil setiap keputusan maupun merumuskan kebijakan,
BI tidak bisa diintervensi pihak manapun, termasuk pemerintah. Namun dalam
kinerjanya, BI dapat membangun kerjasama dan sinergi yang solid antar lembaga-
lembaga negara khususnya pemerintah untuk menciptakan tren positif dalam
perekonomian.
Dalam
mengendalikan tingkat inflasi, BI telah mengeluarkan produk-produk kebijakan
diantaranya melalui pengendalian tingkat inflasi dengan mengelola tingkat
permintaan nasional, menetapkan target nilai inflasi dan menjaga kestabilan
nilai tukar rupiah. Hal tersebut dibuktikan pada capaian tahun 2015. Bank
Indonesia telah mencatat laju inflasi di Tanah Air pada tahun tahun tersebut
menunjukkan bahwa tingkat inflasi dapat dikendalikan pada presentase 3,35
persen dari target yang telah ditetapkan yaitu sebesar 4 persen. Sedangkan
menurut laporan tinjauan kebijakan moneter yang dilakukan oleh Bank Indonesia
dalam mencapai sasaran inflasi tidak terlepas dari dukungan inflasi volatile food yang berada pada tingkat
4,48 persen dan diiringi dengan pasokan bahan pangan yang cukup terjaga. Selain
itu, dukungan lain pada kestabilan inflasi ini diperoleh dari kelompok administered pice yang menyesuaikan pada
penurunan harga minyak dan gas dunia, yang mencatat inflasi sebesar 0,39
persen. Penekanan inflasi oleh BI mencirikan kestabilan ekonomi negara. Kondisi
perekonomian yang stabil merupakan sebuah tumpuan utama bagi keberlangsungan
“hidup” negara tersebut untuk menciptakan suatu masyarakat yang adil, makmur
dan sejahtera.
Disisi
lain, persoalan inflasi yang telah diuraikan sebelumnya ternyata memiliki
hubungan yang cenderung positif dengan tingkat pengangguran dan kemiskinan.
inflasi juga memberi pengaruh terhadap tingkat pengangguran. Ketika inflasi
meningkat maka harga barang-barang terutama menyangkut kebutuhan pokok akan
meningkat. Pengaruh inflasi akan menyelinap kedalam sendi-sendi perusahaan dan
industri sektor riil. Dengan asumsi pendapatan perusahaan tetap, adanya inflasi
akan menyebabkan nilai barang input cenderung meroket, sehingga memungkinkan
bagi perusahaan untuk mengurangi faktor produksinya. Pada kondisi yang demikian
akan terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) sebagai konsekuensi pengurangan
faktor produksi. Dampak secara makro akibat terjadinya PHK ini merujuk pada
timbulnya angka pengangguran yang lebih tinggi. Selain itu, asumsi berlaku pada
tingkat pendapatan masyakarat tetap. Namun, dengan meningkatnya nilai inflasi
dan harga barang semakin melambung dengan pendapatan masyarakat yang masih
tetap maka akan menyebabkan daya beli masyarakat berkurang. Tingkat pengeluaran
terutama untuk konsumsi merupakan salah satu indikator pengukur tingkat
kemiskinan. Pengangguran memiliki tren positif terhadap kemiskinan. Maka dari
itu perlu diupayakan untuk mengambil kebijakan yang efektif untuk mencegah hal
tersebut terjadi.
Pencapaian
keberhasilan perekonomian negara dapat diukur pula melalui beberapa indikator,
yaitu semakin kecilnya tingkat pengangguran yang didukung dengan kenaikan
pendapatan per kapita dan kenaikan kapasitas produksi nasional. Struktur
ketenagakerjaan Indonesia saat ini lebih didominasi dengan usia produktif
ditambah dengan kemapanan secara pendidikan. Kemapanan secara pendidikan ini
ditinjau dari jumlah penderita buta huruf pada usia produksi yakni berkisar
antara 15 hingga 44 tahun. Menurut Badan Pusat Statistik (www.bps.go.id) dalam kurun waktu 2013 hingga
2015, presentase buta huruf mengalami penurunan yakni 1,61 persen pada 2013,
1,24 persen pada tahun 2014 dan 1,10 persen pada tahun 2015. Meskipun
ketengakerjaan Indonesia membaik, namun daya serap tenaga kerja nyatanya masih
belum maksimal. BI mencatat rata-rata penyerapan tenaga kerja pada tahun 2013
dan 2014 menurun pada tingkat 1 persen dibandingkan tahun 2011 dan 2012 sebesar
2,9 persen.
Meskipun
penyerapan tenaga kerja masih belum maksimal dan juga angka pengangguran masih
tergolong tinggi yakni 11,90 juta jiwa dari jumlah keseluruhan angkatan kerja
sebesar 121,19 juta jiwa pada tahun 2004 hingga 2014, tingkat pendapatan per
kapita justru membaik. Ditinjau dari upah nominal dan upah riil yang diterima
oleh kelompok masyarakat yangberpenghasilan paling rendah. Pada pekerja/ buruh
tani, terjadi kenaikan pada level 0,41 persen dari Januari 2016 ke Februari
2016 dan upah riilnya mengalami kenaikan pada level 0,33 persen dalam tempo waktu
yang sama. Sementara itu, pada pekerja buruh informal perkotaan, kenaikan
tejadi pada level 0,18 persen pada upah nominal dan 0,27 persen upah riil
periode Januari 2016 ke Februari 2016.
Berdasarkan
hal tersebut, diperlukan upaya Tingginya inflasi yang sempat melanda Indonesia
mungkin disebabkan oleh kecenderungan ketidakpastian perekonomian global,
sementara perekonomian dalam negeri masih aman-aman saja. Namun, akankah lebih
baik jika kekuatan ekonomi dalam negeri ini semakin besar. Selain untuk mengantisipasi
dampak guncangan global, juga mempersempit ketimpangan yang terjadi antara satu
wilayah dengan wilayah yang lain. Untuk itu, pemerintah khususnya dalam hal
perbaikan pelayanan publik dan insfrastruktur secara keseluruhan, seperti
perbaikan pada sektor riil dan perluasan lapangan pekerjaan untuk mengurangi
tingkat pengangguran. Selain itu diperlukan kerjasama yang lebih solid lagi
antara pemerintah sebagai lembaga eksekutif yang berwenang atas fiskal dengan
BI sebagai otoritas moneter. Sinergi yang baik antara keduanya akan mampu
menghasilkan produk bauran kebijakan yang akan meningkatkan kecenderungan
perekonomian yang positif.
0 komentar:
Posting Komentar