Pengaruh Pelonggaran Kebijakan
Makroprudensial
Makroprudensial, suatu instrumen kebijakan yang
dilakukan oleh Bank Indonesia guna menjaga stabilitas sistem keuangan. Sistem
keuanganmerupakan sebagai kumpulan instuisi atau kebijakan, pasar, ketentuan perundangan,
peraturan – peraturan, teknik – teknik dimana surat berharga diperdagangankan,
tingkat bunga ditetapkan, dan jasa- jasa keuangan dihasilkan serta ditawarkan
ke seleuruh bagian dunia.
Sistem keuangan berfungsi mengalokasikan dana dari
pihak yang mengalami surplus kepada pihak yang mengalami defisit. Apabila
sistem keuangan tidak stabil terlebih lagi tidak berfungsi secara efisien,
pengalokasian dana tidak akan berjalan dengan baik sehingga dapat menghambat
lajunya pertumbuhan ekonomi di suatu Negara. Tugas bank Indonesia salah satunya
adalah menjaga stabilitas keuangan guna menjaga instrumen makroprudensial
berjalan dengan baik. Dimana dalam makroprudensial ini sering terjadi
goncangan-goncangan sistem keuangan. Goncangan atau fluktuasi dari sistem
keuangan di antaranya disebabkan oleh
tekanan inflasi dan volatilitas nilai tukar rupiah. Dengan adanya kebijakan
makroprudensial ini, maka fluktuasi sistem keuangan yang disebabkan oleh
inflasi dan nilai tukar ini dapat dituntaskan secara perlahan.
Kebijakan makroprudensial dikeluarkan oleh Bank
Sentral Indonesia ( Bank Indonesia - BI) guna agara dapat meningkat ketahanan
sistem keuangan dan mencegah serta mengurangi risiko sistemik yang dapat
mengganggu stabilitas ekonomi di sektor keuangan dan moneter. Dengan adanya
kebijakan makroprudensial ini, setiap kebijakan yang dikeluarkan akan di awasi
oleh Bank Indonesia. Pengawasan oleh bank indonesia ini bertujuan untuk
mewujudkan sistem keuangan yang stabil dan berkualitas. Arah tujuan kebijakan
makrprudensial sendiri yaitu untuk membatasi risiko individual institusi
keuangan tanpa memperhatikan dampaknya pada makro ekonomi.
Dalam kebijakan makroprudensial, intrumen – instrumen
yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia yaitu diantaranya instrumen Mitigasi Resiko
Kredit yang terdiri dari pembatasan pertumbuhan, pembatasan LDR, LTV (loan to
value), dan Dynamic Provisioning. Yang kedua yaitu instrumen Mitigasi
Insolvency yang terdiri dari Pembatasan debt
to income ratio, leverage ratio, dan permodalan. Ketiga, Instrumen Risiko
Pasar yang terdiri dari limit posisi valas dan pembatasam kredit valas.
Kemudian yang terakhir yaitu instrumen Mitigasi Risiko Likuiditas yang terdiri
dari minimum liquidity mismatch ratio, minimum core funding ratio, reserve
requirement, dan pembatasan eksposur interbank. Dari beberapa instrument yang
dijabarkan, instrument yang dipakai di Indonesia yaitu hanya Instrumen
Pembatasan LDR (loan to deposits ratio), LTV (loan to value), dan limit posisi
valas.
Untuk memperlancar kebijakan makroprudensial, perlu
diadakannya pengaturan dan pengawasan. Dalam pengaturan dan pengawasan ini
dilakukan oleh Bank Indonesia. Bank Indonesia mengeluarkan Peraturan dan
pengawasan mengenai makroprudensial, yaitu “dalam rangka mendorong
terpeliharanya stabilitas sistem keuangan maka diperlukan upaya-upaya untuk
membatasi dan mencegah resiko sistemik, mendorong fungsi intermediasi yang
seimbang dan berkualitas, dan jua meningkatkan efisensi sistem keuangan dan
akses keuangan melalui kegiatan pengaturan dan pengawasan makroprudensial.”
Pada September 2015, Bank Indonesia memutuskan kembali
memperlonggar kebijakan makroprudensialnya, meskipun moneter diperketat, LTV
(loan to value) dan LFR (loan to funding ratio) sudah diperlonggar. Adanya
perlonggaran instrumen kebijakan makroprudensial ini akan diharapkan dapat
memperlancar penyaluran kredit dan meningkatkan pertumbuhan perekonomian. Saat
ini, fokus instrumen kebijakan makroprudensial tidak lagi pada LDR (loan to
deposits ratio) namun beralih kepada LFR (loan to funding ratio). Dimana dengan
adanya LFR ini dapat menerbitkan obligasi untuk menggantikan deposit.
Pengubahan instrumen ini mempermudah aspek – aspek
ekonomi untuk melakukan kredit, dengan adanya kemudahan dalam kredit akan
membantu para kreditur menjalankan usahanya. Instrumen ini dirasa sangat
membantu dan mempermudah bagi Indonesia, namun adanya perlonggaran instrumen
ini juga harus dibarengi dengan pengaturan, pengawasan kebijakan
makroprudensial dan harus ada rencana – rencana lain apabila instrumen tersebut
tidak menstimulus perekonomian. Dengan adanya pelonggaran kebijakan
makroprudensial ini tidak menutup kemungkinan kebijakan moneter menunjukkan
kinerja yang baik. seperti pergerakan inflasi diperkirakan bank indonesia
sebesar 4,3 persen pada tahun 2016 ini. Dengan begitu, fundamental ekonomi
dalam negeri akan baik yang pada akhirnya dapat mendorong stabilitas nilai
tukar.
0 komentar:
Posting Komentar