Blogroll

Jumat, 10 Juni 2016

Kebijakan Macroprudential Menjaga Stabilitas Perekonomian Indonesia

Kebijakan Macroprudential Menjaga Stabilitas Perekonomian Indonesia
Oleh Qori Dhika Andria
Dalam perekonomian di seluruh dunia dapat dikatakan bahwa laju perekonomian Indonesia sudah dapat dikatakan cukup membaik walaupun tidak dapat dikatakan juga meningkat signifikan atau kita sebut saja lebih lamban dari negara-negara yang sudah maju. Banyak sekali yang menjadi faktor pendukung dalam meningkatkan stabilitas perekonomian di Indonesia, salah satu ya adalah sistem keuangan. Pada saat ini dapat dikatakan bahwa sistem perekonomian di Indonesia sudah cukup membaik, Indonesia dapat dengan perlahan bangkit dari krisis ekonomi yang di alami pada tahun 1998. Tidak hanya membutuhkan biaya yang sedikit untuk mengembalikan kestabilan perekonomian di Indonesia namun juga dibutuhkan waktu yang sangat lama untuk bangkit dari keterpurukan yang pernah di alami oleh bangsa Indonesia. Dengan ada nya masalah krisis ekonomi pada tahun 1998 cukup membuktikan bahwa sistem keuangan merupakan salah aspek yang sangat penting dalam menjaga kestabilan perekonomian berkelanjutan di Indonesia. Apabila sistem keuangan di Indonesia tidak stabil itu dapat menyebabkan terganggu nya atau melamban nya laju perekonomian di Indonesia.
Dalam menjaga stabilitas perekonomian di Indonesia di mulai dari hal yang sangat vital sekali yaitu meningkatkan laju sistem keuangan agar tidak menurun di harapkan agar semakin kedepan sistem keuangan di Indonesia semakin membaik bahkan dapat di katakan sangat baik. Sistem keuangan dapat diartikan sebagai kumpulan institusi, pasar, ketentuan perundangan, peraturan-peraturan, dan teknik-teknik di mana surat berharga diperdagangkan, tingkat bunga ditetapkan, dan jasa-jasa keuangan (financial services) dihasilkan serta ditawarkan ke seluruh bagian dunia. Dalam prosesnya, sistem keuangan terdiri dari otoritas keuangan, sistem perbankan, dan sistem lembaga keuangan bukan bank, pada dasarnya merupakan tatanan dalam perekonomian suatu negara yang memiliki peran utama dalam menyediakan fasilitas jasa-jasa keuangan. Fasilitas jasa keuangan tersebut diberikan oleh lembaga-lembaga keuangan, termasuk pasar uang dan pasar modal. (Peter S. Rose, 2000 dalam Dwi Wulan Ramadani, & Dedi Rahman, 2013). Sedangkan fungsi dari sistem keuanganitu sendiri adalah untuk mengalokasikan dana dari pihak yang mengalami surplus kepada pihak yang mengalami defisit guna untuk membantu menstabilkan laju perekonomian. Apabila pengalokasian dana tersebut tidak dapat berjalan dengan efisien atau tidak berjalan dengan baik maka dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi atau memperlambat stabilitas perekonomian begitu juga sebalik nya apabila pengalokasian dana berjalan dengan efisien atau berjalan dengan baik maka stabilitas perekonomian akan membaik.
Langkah yang harus di ambil dalam menjaga stabilitas perekonomian di Indonesia merupakan tugas dari Bank Sentral, di negara-negara lain pun juga menjaga sistem keuangan mereke guna menjaga stabilitas perekonomian di negara tersebut. Sedangkan Bank Sentral sendiri dalam menjaga stabilitas keuangan di Indonesia dengan menjaga satbilitas rupiah dan menjaga stabilitas moneter. Hal-hal yang berhubungan dengan stabilitas keuangan akan berkaitan dengan 2 elemen penting, yaitu 1) stabilitas harga; dan 2) stabilitas sektor keuangan, yang mencakup lembaga keuangan serta pasar keuangan yang secara keseluruhan mendukung jalannya sistem keuangan. Dengan demikian, jika salah satu elemen tersebut terganggu ataupun tidak dapat berfungsi dengan baik, maka elemen lainnya akan terpengaruh. Meskipun, stabilitas keuangan bukanlah merupakan suatu target akhir, namun lebih kepada suatu persyaratan prakondisi yang penting bagi pertumbuhan perekonomian. Namun, untuk mencapai kondisi sektor keuangan yang stabil paling tidak diperlukan beberapa prasyarat berikut: 1) Lembaga Keuangan yang Sehat; 2) Pasar Keuangan yang Stabil; dan 3) Lembaga Pengaturan dan Pengawasan yang Kompeten (Dwi Wulan Ramadani & Dedi Rahman, 2013.
Dalam menjaga stabilittas sistem keuangan berarti juga menjaga stabilitas mata uang rupiah, dengan menjaga stabiliitas nilai mata uang juga agar tidak menimbulkan inflasi. Karena stabil tidak nya nilai mata uang dapat di lihat dari tingkat inflasi dan nilai tukar mata uang serta dapat di lihat dari naiknya harga barang-barang dan jasa. Tidak mejadi rahasia umum lagi bahwa masalah inflasi merupakan salah satu masalah yang dapat dikatakan belom sepenuhnya teratasi. Menjaga tingkat inflasi berdasarkan pertimbangan bahwa inflasi yang tinggi dan tidak stabil memberikan dampak negatif kepada kondisi sosial ekonomi masyarakat, seperti: 1) inflasi yang tinggi akan menyebabkan pendapatan riil masyarakat akan terus turun sehingga standar hidup dari masyarakat turun dan akhirnya menjadikan semua orang, terutama orang miskin, bertambah miskin; dan 2) inflasi yang tidak stabil akan menciptakan ketidakpastian (uncertainty) bagi pelaku ekonomi dalam mengambil keputusan. Dalam hal ini pihak pemerintah maupun Bank Sentral mengeluarkan suatu kebijakan yaitu kebijakan macroprudential.
Kebijakan macroprudential itu sendiri merupakan bagian dari kebijakan utama yang ditetapkan dan dilaksanakan oleh Bank Indonesia untuk mencegah dan mengurangi resiko sistemik, mendorong fungsi  intermediasi yang seimbang bagi sektor perekonomian, serta meningkatkan akses dan efisiensi sistem keuangan dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangan, serta mendukung stabilitas moneter dan stabilitas sistem pembayaran. Dimana resiko sistemik itu sendiri adalah potensi terganggunya seluruh atau sebagian dari sistem keuangan yang timbul karena faktor penularan (contagion) akibat keterkaitan (interconnectedness) antar institusi dan/atau pasar keuangan dan kecenderungan perilaku institusi keuangan untuk mengikuti siklus ekonomi (procyclical), yang dapat menimbulkan ancaman terhadap perekonomian nasional. Tujuan dari kebijakan macroprudential itu sendiri adalah memantau atau menilai sistem keuangan itu sendiri secara keseluruhan.
Keluarnya kebijakan makroprudensial pun mendapat pengawasan dari Bank Indonesia. Pengawasan tersebut dilakukan untuk mewujudkan sistem keuangan yang stabil dan berkualitas. Agar semakin optimal, upaya mencapai kestabilan sistem keuangan tersebut dikoordinasikan oleh Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK) yang beranggotakan Departemen Keuangan RI, Lembaga Penjamin Simpanan, Bank Indonesia dan OJK (Jogo Hera, 2014). Di luar itu, Pemerintah juga membentuk lembaga lain bernama Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Kehadiran Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) juga berkontribusi aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai kewenangannya. Tugas LPS adalah melaksanakan penjaminan simpanan, melaksanakan penyelamatan bank gagal sistemik dan melaksanakan penyelesaian bank gagal non-sistemik. Sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 2004 tentang LPS sebagaimana diubah dengan UU Nomor 7 Tahun 2009, LPS memiliki fungsi: 1) sebagai lembaga penjamin simpanan; dan 2) sebagai lembaga yang ikut serta menjaga stabilitas keuangan Negara (Hukumonline.com, 2012). Ada perbedaan antara antara Makroprudensial dan Mikroprudensial, yaitu: 1) Makroprudensial mencakup: kebijakan moneter, stabilitas sistem keuangan dan pengaturan dan pengawasan SIBs, sedangkan 2) Mikroprudensial mencakup: Pengaturan dan pengawasan SIBs dan Pengaturan dan pengawasan non-SIBs (Bank Indonesia (BI), 2014). Mungkin kita bertanya, apa sih Kebijakan Makroprudensialitu? Banyak versi yang memberikan pengertian tentang Kebijakan Makroprudensial. Menurut International Monetary Fund (IMF) menyatakan, bahwa Kebijakan Makroprudensial adalah kebijakan yang memiliki tujuan utama untuk memelihara stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan melalui pembatasan peningkatan risiko sistemik (IMF, “Macroprudential Policy: An Organizing Framework”, 2011). Sama halnya dengan pendapat yang dinyatakan oleh versi Bank of England, bahwa Kebijakan Makroprudensial adalah kebijakan yang ditujukan untuk memelihara kestabilan intermediasi keuangan (misalnya jasa-jasa pembayaran, intermediasi kredit dan penjaminan atas risiko) terhadap perekonomian (Bank of England, “The Role of Macroprudential Policy”, 2009).
Sedikit Berbeda dengan versi Working Group G-30 yang menyatakan bahwa Kebijakan Makroprudensial adalah kebijakan yang ditujukan untuk meningkatkan ketahanan sistem keuangan dan untuk memitigasi risiko sistemik yang timbul akibat keterkaitan antar institusi dan kecenderungan institusi keuangan untuk mengikuti siklus ekonomi (procyclical) sehingga memperbesar risiko sistemik (WG G30, “Enhancing Financial Stability and Resilience: Macroprudential Policy, Tools, and Systems for the Future”, 2010). Ada pendapat lain yang menyatakan bahwa pendekatan makroprudensial berdasarkan tujuannya adalah untuk membatasi resiko pada sistem keuanganguna mengurangi potensi menyebarnya dampak negatif (cost) pada perekonomian. Atau Kebijakan Makroprudensial bertujuan untuk membatasi risiko individual institusi keuangan tanpa memperhatikan dampaknya pada makro ekonomi (Borio, 2009 dalam Iskandar Simorangkir, 2014). Ada beberapa kegunaan yang dapat dilihat dalam menggunakan kebijakan mactoprudential dalam menjaga stabilitas sistem keuangan yaitu; 1) Penyaluran kredit perbankan ke sektor yang tepat dan mendatangkan profit yang menjanjikan bagi perbankan; 2) Kebijakan tersebut memerhatikan faktor politik, hukum, dan sosial yang ikut dipengaruhi oleh sektor kebijakan ekonomi melalui naik atau turunnya suku SBI; 3) Berorientasi kepada stabilitas keuangan yang merata di sektor pemerintah, perbankan, dan masyarakat pengguna jasa keuangan; 4) adanya rule yang dikomunikasikan dalam awal penerapan. Namun, tetap membuka ruang untuk melakukan diskresi apabila terjadi shock dalam perekonomian; 5) dimensi time-series, yaitu kebijakan makroprudensial ditujukan untuk menekan risiko terjadinya prosiklikalitas yang berlebihan dalam sistem keuangan; dan 6) Bersifat countercyclical yang akan bersinergi dengan tujuan kebijakan moneter dalam mengurangi fluktuasi perekonomian. Kebijakan makroprudensial untuk memperketat persyaratan modal dan likuiditas di saat perekonomian sedang melaju kencang (periode up swing) akan mendorong bank untuk mengurangi pertumbuhan kredit sehingga menjaga daya tahan bank ke depan di saat perekonomian memburuk (Dwi Wulan Ramadani, & Dedi Rahman, 2013).
Agar Kebijakan Makroprudensial berjalan sesuai dengan harapan, maka diperlukan adanya pengaturan dan pengawasan. Bank Indonesia mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) tentang Pengaturan dan Pengawasan Makroprudensial, yaitu: 1) Pengalaman krisis keuangan global menunjukkan pentingnya untuk menjaga stabilitas sistem keuangan mengingat kompleksitas dan keterkaitan dalam sistem keuangan mengakibatkan krisis yang bersumber dari dalam sektor keuangan tidak hanya berdampak negatif di sektor keuangan, tetapi juga meluas sehingga mempengaruhi kinerja makroekonomi dan menimbulkan biaya pemulihan ekonomi yang tinggi; 2) Dalam rangka mendukung terpeliharanya stabilitas sistem keuangan maka diperlukan upaya-upaya untuk membatasi dan mencegah risiko sistemik, mendorong fungsi intermediasi yang seimbang dan berkualitas, serta meningkatkan efisiensi sistem keuangan dan akses keuangan melalui kegiatan pengaturan dan pengawasan makroprudensial; dan 3) Untuk melaksanakan kegiatan pengaturan dan pengawasan makroprudensial, Bank Indonesia perlu menetapkan kerangka kebijakan pengaturan dan pengawasan makroprudensial dalam PBI (www.bi.go.id). pokok-pokok ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) mengenai pengaturan dan pengawasan makroprudensial, mencakup: 1) Bank Indonesia melakukan pengaturan dan pengawasan makroprudensial (dalam rangka: a. mencegah dan mengurangi risiko sistemik; b. mendorong fungsi intermediasi yang seimbang dan berkualitas; dan c. meningkatkan efisiensi sistem keuangan dan akses keuangan); 2) Pengaturan makroprudensial dilakukan dengan menggunakan instrumen pengaturan (antara lain untuk: a. memperkuat ketahanan permodalan dan mencegah leverage yang berlebihan; b. mengelola fungsi intermediasi dan mengendalikan risiko kredit, risiko likuiditas, risiko nilai tukar, dan risiko suku bunga, serta risiko lainnya yang berpotensi menjadi risiko sistemik; c. membatasi konsentrasi eksposur (exposure concentration); d. memperkuat ketahanan infrastruktur keuangan; dan/atau d. meningkatkan efisiensi sistem keuangan dan akses keuangan); 3) Pengawasan makroprudensial (dilakukan melalui: a. surveilans sistem keuangan dalam rangka melakukan penilaian terhadap risiko sistemik; dan b. pemeriksaan dalam rangka meyakini risiko sistemik yang bersumber dari kegiatan usaha bank terhadap : (1) systemically important banks dan/atau bank lainnya yang memiliki common exposure yang berpotensi memberikan dampak sistemik; dan (2) perusahaan induk, perusahaan afiliasi, dan perusahaan anak dari bank jika dinilai memberikan eksposur risiko yang signifikan terhadap bank atau berdampak sistemik); dan 4) Terdapat kewajiban bank (antara lain untuk: a. mematuhi ketentuan Bank Indonesia di bidang makroprudensial; b. menyediakan dan menyampaikan data dan informasi yang diperlukan dalam kegiatan surveilans Bank Indonesia; c. memberikan dokumen dan/atau data, keterangan dan penjelasan secara lisan maupun tulisan, akses terhadap sistem informasi bank, dan hal lainnya yang diperlukan dalam kegiatan pemeriksaan Bank Indonesia; dan d. melaksanakan tindak lanjut atas hasil pengawasan makroprudensial yang dilakukan oleh Bank Indonesia (www.bi.go.id).
Menurut Bank Indonesia (BI) (2014, mengungkapkan bahwa kewenangan Bank Indonesia terkait dengan pengaturan dan pengawasan Makroprudensial tercantum dalam: 1. Penjelasan pasal 7 UU OJK, “Pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan, kesehatan, aspek kehati-hatian, dan pemeriksaan bank merupakan lingkup pengaturan dan pengawasan microprudential yang menjadi tugas dan wewenang OJK. Adapun lingkup pengaturan dan pengawasan macroprudential, yakni pengaturan dan pengawasan selain hal yang diatur dalam pasal ini, merupakan tugas dan wewenang Bank Indonesia. Dalam rangka pengaturan dan pengawasan macroprudential, OJK membantu Bank Indonesia untuk melakukan himbuan moral (moral suasion) kepada perbankan. 2. Pasal 40 dan penjelasan pasal 40 UU OJK. 1) Pasal 40: (1) Dalam hal BI untuk melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya memerlukan pemeriksaan khusus terhadap bank tertentu, BI dapat melakukan pemeriksaan langsung terhadap tersebut dengan menyampaikan pemberitahuan tertulis terkebih dahulu kepada OJK, (2) Dalam melakukan kegiatan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BI tidak dapat memberikan penilaian terhadap tingkat kesehatan bank. 2) Penjelasan pasal 40: (1) Pada dasarnya wewenang pemeriksaan terhadap bank adalah wewenang OJK. Namun, dalam hal BI melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya membutuhkan informasi melalui kegiatan pemeriksaan bank, BI dapat melakukan pemeriksaan secara langsung terhadap bank tertentu yang masuk systemically important bank dan/atau bank lainnya sesuai dengan kewenangan BI di bidang macroprudential.
Bukan hanya mengenai pengaturan dan pengawasan, Bank Indonesia (BI) pada tahun 2014 juga telah menerbitkan tiga (3) kebijakan makroprudensia, berupa: 1) pemberian kredit loan to value; 2) giro wajib minimum dikaitkan fungsi intermediasi; serta 3) Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) (Telisa Aulia Falianty, 2014). Di luar itu, sesuai berjalannya reformasi yang lebih baik, lebih transparan, dan intermediasi keuangan yang lebih efisien dalam rangka pengembangan kerangka regulasi dan pengawasan sektor jasa keuangan melalui pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang komprehensif dan terintegrasi berdasarkan UU No. 21 tahun 2011. Bersamaan dengan pembentukan OJK, Pemerintah Indonesia sedang menyiapkan Undang-Undang tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (Jaring pengaman Sektor Keuangan-JPSK) bersama-sama dengan DPR untuk secara signifikan meningkatkan stabilitas sistem keuangan (www.depkeu.go.id). Ini sangat membuktikan bahwa otoritas Bank Indonesia atau bank sentral sangat lah kuat sekali dalam menangani masalah perekonomian di Indonesia.
Dari sisi intermediasi perbankan, kredit kepada sektor swasta tumbuh melambat menjadi 15,39% (yoy) dari bulan sebelumnya sebesar 17,2% (yoy) sejalan dengan perlambatan perekonomian. Adapun risiko kredit perbankan masih dalam batas aman. Indikator kredit bermasalah (NPL) berada pada level 2,24%, jauh dibawah batas aman 5%. Tetapi, Bank Indonesia mencermati betul mengenai tingginya NPL pada 4 sektor, yakni: 1) sektor konstruksi; 2) pertambangan; 3) perdagangan; dan 4) jasa sosial. Prestasi Kebijakan Makroprudensial di sektor kredit adalah pada bulan Juli 2014, NPL sektor konstruksi tercatat sebesar 4,43% atau naik dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 4,24%. Pada sektor pertambangan, NPL tercatat sebesar 3,09% dibandingkan bulan sebelumnya 2,49% (www.bi.go.id). Sehubungan dengan Kebijakan Makroprudensial tersebut, Bank Indonesia tengah menggodok beberapa instrumen, di antaranya instrumen untuk mecegah dan mengurangi leverage berlebihan melalui penguatan tambahan permodalan guna mengantisipasi kondisi siklikal. Selanjutnya, instrumen untuk membatasi konsentrasi eksposur seperti pengaturan pembatasan pemberian kredit sektor tertentu dan persayaratan Central Counter Parties (CCP). Sebagai contoh adalah pemberian kredit berlebihan di sektor yang sedang booming seperti CPO dan batu bara yang bisa menimbulkan resiko sehingga perlu diatur. Sebuah bank terlalu eksesif hanya ke sektor tertentu dikhawatirkan bila terjadi guncangan secara tiba- tiba bisa terjadi kredit macet. Kredit lainnya adalah yang berhubungan dengan properti, di mana kredit rumah pertama tipe 70 meter ke atas akan dikenakan LTV maksimal 70 persen atau DP 30 persen dari harga jual. Rumah kedua 60 persen (DP 40 persen). Rumah ketiga dan seterusnya 50 persen (DP 50 persen) (Telisa Aulia Falianty, 2014).

Dengan ini kebijakan makroprudensial pun diharapkan terus mampu menjaga inflasi yang mampu memberikan gejolak ekonomi bangsa, yang sampai saat ini masih sangat berpengaruh terhadap stabilitas perekonomian bang Indonesia. Meskipun pada prosesnya, Kebijakan Makroprudensial tidak bisa lepas dari Kebijakan Moneter yang ada pada Bank Indonesia juga, karena pada dasarnya kedua kebijakan ini tidak dapat saling dipisahkan atau dengan kata lain bahwa kedua kebjakan tersebut saling berkesinambungan. Apalagi bersinergi dengan Kebijakan Mikroprudensial, dalam menjaga Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) akan semakin sehat untuk mengantisipasi berbagai gejolak ekonomi atau krisis global yang terjadi secara tidak terduga di masa yang akan datang, melihat tidak menentukan nya laju perekonomian di Indonesia pada saat ini, ada kemungkinan akan terjadi naik turun dalam laju perekonomian nya. Masyarakat Indonesia pun berharap, agar Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) tetap memberikan rasa aman dan nyaman bagi perputaran roda perekonomian bangsa Indonesia. Di harapkan pula agar tidak terjadi krisis ekonomi yang berkepanjangan seperti yang terjadi pada tahun 1998 dan di susul oleh kasus krisis ekonomi pada tahun 2008 lalu yang mengakibatkan tidak stabil nya perekonomian di Indonesia, itu merupakan masalah yang ingin sekali di hindari oleh masyarakat maupun pemerintahn di negara mana pun. 

1 komentar:

  1. togel sgp

    Agen TOGEL 4DPOIN,Online Terpercaya.
    Minimal Deposit Dan Withdraw 20.000
    Keterangan Lebih Lanjut, Anda Bisa Hubungi Disini.
    ? Pin BBM : D1A279B6
    ? Pin BBM : 7B83E334
    ? Whatsapp : +85598291698
    ? Skype : Poin.4D
    ? Line : +85598291698

    BalasHapus