Kebijakan Macroprudential Menjaga
Stabilitas Perekonomian Indonesia
Oleh Qori Dhika Andria
Dalam
perekonomian di seluruh dunia dapat dikatakan bahwa laju perekonomian Indonesia
sudah dapat dikatakan cukup membaik walaupun tidak dapat dikatakan juga
meningkat signifikan atau kita sebut saja lebih lamban dari negara-negara yang
sudah maju. Banyak sekali yang menjadi faktor pendukung dalam meningkatkan
stabilitas perekonomian di Indonesia, salah satu ya adalah sistem keuangan.
Pada saat ini dapat dikatakan bahwa sistem perekonomian di Indonesia sudah
cukup membaik, Indonesia dapat dengan perlahan bangkit dari krisis ekonomi yang
di alami pada tahun 1998. Tidak hanya membutuhkan biaya yang sedikit untuk
mengembalikan kestabilan perekonomian di Indonesia namun juga dibutuhkan waktu
yang sangat lama untuk bangkit dari keterpurukan yang pernah di alami oleh
bangsa Indonesia. Dengan ada nya masalah krisis ekonomi pada tahun 1998 cukup
membuktikan bahwa sistem keuangan merupakan salah aspek yang sangat penting
dalam menjaga kestabilan perekonomian berkelanjutan di Indonesia. Apabila
sistem keuangan di Indonesia tidak stabil itu dapat menyebabkan terganggu nya
atau melamban nya laju perekonomian di Indonesia.
Dalam
menjaga stabilitas perekonomian di Indonesia di mulai dari hal yang sangat
vital sekali yaitu meningkatkan laju sistem keuangan agar tidak menurun di
harapkan agar semakin kedepan sistem keuangan di Indonesia semakin membaik
bahkan dapat di katakan sangat baik. Sistem keuangan dapat diartikan
sebagai kumpulan institusi, pasar, ketentuan perundangan, peraturan-peraturan,
dan teknik-teknik di mana surat berharga diperdagangkan, tingkat bunga
ditetapkan, dan jasa-jasa keuangan (financial services) dihasilkan serta
ditawarkan ke seluruh bagian dunia. Dalam prosesnya, sistem keuangan terdiri
dari otoritas keuangan, sistem perbankan, dan sistem lembaga keuangan bukan
bank, pada dasarnya merupakan tatanan dalam perekonomian suatu negara yang
memiliki peran utama dalam menyediakan fasilitas jasa-jasa keuangan. Fasilitas
jasa keuangan tersebut diberikan oleh lembaga-lembaga keuangan, termasuk pasar
uang dan pasar modal. (Peter S. Rose, 2000 dalam Dwi Wulan Ramadani, & Dedi
Rahman, 2013). Sedangkan fungsi dari sistem keuanganitu sendiri adalah untuk
mengalokasikan dana dari pihak yang mengalami surplus kepada pihak yang
mengalami defisit guna untuk membantu menstabilkan laju perekonomian. Apabila
pengalokasian dana tersebut tidak dapat berjalan dengan efisien atau tidak
berjalan dengan baik maka dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi atau
memperlambat stabilitas perekonomian begitu juga sebalik nya apabila pengalokasian
dana berjalan dengan efisien atau berjalan dengan baik maka stabilitas
perekonomian akan membaik.
Langkah yang
harus di ambil dalam menjaga stabilitas perekonomian di Indonesia merupakan
tugas dari Bank Sentral, di negara-negara lain pun juga menjaga sistem keuangan
mereke guna menjaga stabilitas perekonomian di negara tersebut. Sedangkan Bank
Sentral sendiri dalam menjaga stabilitas keuangan di Indonesia dengan menjaga
satbilitas rupiah dan menjaga stabilitas moneter. Hal-hal yang berhubungan dengan
stabilitas keuangan akan berkaitan dengan 2 elemen penting, yaitu 1) stabilitas
harga; dan 2) stabilitas sektor keuangan, yang mencakup lembaga keuangan serta
pasar keuangan yang secara keseluruhan mendukung jalannya sistem keuangan.
Dengan demikian, jika salah satu elemen tersebut terganggu ataupun tidak dapat
berfungsi dengan baik, maka elemen lainnya akan terpengaruh. Meskipun,
stabilitas keuangan bukanlah merupakan suatu target akhir, namun lebih kepada
suatu persyaratan prakondisi yang penting bagi pertumbuhan perekonomian. Namun,
untuk mencapai kondisi sektor keuangan yang stabil paling tidak diperlukan
beberapa prasyarat berikut: 1) Lembaga Keuangan yang Sehat; 2) Pasar Keuangan
yang Stabil; dan 3) Lembaga Pengaturan dan Pengawasan yang Kompeten (Dwi Wulan
Ramadani & Dedi Rahman, 2013.
Dalam
menjaga stabilittas sistem keuangan berarti juga menjaga stabilitas mata uang
rupiah, dengan menjaga stabiliitas nilai mata uang juga agar tidak menimbulkan
inflasi. Karena stabil tidak nya nilai mata uang dapat di lihat dari tingkat
inflasi dan nilai tukar mata uang serta dapat di lihat dari naiknya harga
barang-barang dan jasa. Tidak mejadi rahasia umum lagi bahwa masalah inflasi
merupakan salah satu masalah yang dapat dikatakan belom sepenuhnya teratasi. Menjaga
tingkat inflasi berdasarkan pertimbangan bahwa inflasi yang tinggi dan tidak
stabil memberikan dampak negatif kepada kondisi sosial ekonomi masyarakat,
seperti: 1) inflasi yang tinggi akan menyebabkan pendapatan riil masyarakat
akan terus turun sehingga standar hidup dari masyarakat turun dan akhirnya
menjadikan semua orang, terutama orang miskin, bertambah miskin; dan 2) inflasi
yang tidak stabil akan menciptakan ketidakpastian (uncertainty) bagi pelaku ekonomi
dalam mengambil keputusan. Dalam hal ini pihak pemerintah maupun Bank Sentral
mengeluarkan suatu kebijakan yaitu kebijakan macroprudential.
Kebijakan macroprudential
itu sendiri merupakan bagian dari kebijakan utama yang ditetapkan dan
dilaksanakan oleh Bank Indonesia untuk mencegah dan mengurangi resiko sistemik,
mendorong fungsi intermediasi yang
seimbang bagi sektor perekonomian, serta meningkatkan akses dan efisiensi
sistem keuangan dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangan, serta
mendukung stabilitas moneter dan stabilitas sistem pembayaran. Dimana resiko
sistemik itu sendiri adalah potensi terganggunya seluruh atau sebagian dari
sistem keuangan yang timbul karena faktor penularan (contagion) akibat
keterkaitan (interconnectedness) antar institusi dan/atau pasar keuangan dan
kecenderungan perilaku institusi keuangan untuk mengikuti siklus ekonomi
(procyclical), yang dapat menimbulkan ancaman terhadap perekonomian nasional.
Tujuan dari kebijakan macroprudential itu sendiri adalah memantau atau menilai
sistem keuangan itu sendiri secara keseluruhan.
Keluarnya
kebijakan makroprudensial pun mendapat pengawasan dari Bank Indonesia.
Pengawasan tersebut dilakukan untuk mewujudkan sistem keuangan yang stabil dan
berkualitas. Agar semakin optimal, upaya mencapai kestabilan sistem keuangan tersebut
dikoordinasikan oleh Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK) yang
beranggotakan Departemen Keuangan RI, Lembaga Penjamin Simpanan, Bank Indonesia
dan OJK (Jogo Hera, 2014). Di luar itu, Pemerintah juga membentuk lembaga lain
bernama Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Kehadiran Lembaga Penjamin Simpanan
(LPS) juga berkontribusi aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan
sesuai kewenangannya. Tugas LPS adalah melaksanakan penjaminan simpanan,
melaksanakan penyelamatan bank gagal sistemik dan melaksanakan penyelesaian
bank gagal non-sistemik. Sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 2004
tentang LPS sebagaimana diubah dengan UU Nomor 7 Tahun 2009, LPS memiliki
fungsi: 1) sebagai lembaga penjamin simpanan; dan 2) sebagai lembaga yang ikut
serta menjaga stabilitas keuangan Negara (Hukumonline.com, 2012). Ada perbedaan
antara antara Makroprudensial dan Mikroprudensial, yaitu: 1) Makroprudensial
mencakup: kebijakan moneter, stabilitas sistem keuangan dan pengaturan dan
pengawasan SIBs, sedangkan 2) Mikroprudensial mencakup: Pengaturan dan
pengawasan SIBs dan Pengaturan dan pengawasan non-SIBs (Bank Indonesia (BI),
2014). Mungkin kita bertanya, apa sih Kebijakan Makroprudensialitu? Banyak
versi yang memberikan pengertian tentang Kebijakan Makroprudensial. Menurut
International Monetary Fund (IMF) menyatakan, bahwa Kebijakan Makroprudensial
adalah kebijakan yang memiliki tujuan utama untuk memelihara stabilitas sistem
keuangan secara keseluruhan melalui pembatasan peningkatan risiko sistemik
(IMF, “Macroprudential Policy: An Organizing Framework”, 2011). Sama halnya
dengan pendapat yang dinyatakan oleh versi Bank of England, bahwa Kebijakan
Makroprudensial adalah kebijakan yang ditujukan untuk memelihara kestabilan
intermediasi keuangan (misalnya jasa-jasa pembayaran, intermediasi kredit dan
penjaminan atas risiko) terhadap perekonomian (Bank of England, “The Role of
Macroprudential Policy”, 2009).
Sedikit Berbeda
dengan versi Working Group G-30 yang menyatakan bahwa Kebijakan Makroprudensial
adalah kebijakan yang ditujukan untuk meningkatkan ketahanan sistem keuangan
dan untuk memitigasi risiko sistemik yang timbul akibat keterkaitan antar
institusi dan kecenderungan institusi keuangan untuk mengikuti siklus ekonomi
(procyclical) sehingga memperbesar risiko sistemik (WG G30, “Enhancing
Financial Stability and Resilience: Macroprudential Policy, Tools, and Systems
for the Future”, 2010). Ada pendapat lain yang menyatakan bahwa pendekatan
makroprudensial berdasarkan tujuannya adalah untuk membatasi resiko pada sistem
keuanganguna mengurangi potensi menyebarnya dampak negatif (cost) pada
perekonomian. Atau Kebijakan Makroprudensial bertujuan untuk membatasi risiko
individual institusi keuangan tanpa memperhatikan dampaknya pada makro ekonomi
(Borio, 2009 dalam Iskandar Simorangkir, 2014). Ada beberapa kegunaan yang
dapat dilihat dalam menggunakan kebijakan mactoprudential dalam menjaga
stabilitas sistem keuangan yaitu; 1) Penyaluran kredit perbankan ke sektor yang
tepat dan mendatangkan profit yang menjanjikan bagi perbankan; 2) Kebijakan
tersebut memerhatikan faktor politik, hukum, dan sosial yang ikut dipengaruhi
oleh sektor kebijakan ekonomi melalui naik atau turunnya suku SBI; 3)
Berorientasi kepada stabilitas keuangan yang merata di sektor pemerintah,
perbankan, dan masyarakat pengguna jasa keuangan; 4) adanya rule yang
dikomunikasikan dalam awal penerapan. Namun, tetap membuka ruang untuk
melakukan diskresi apabila terjadi shock dalam perekonomian; 5) dimensi
time-series, yaitu kebijakan makroprudensial ditujukan untuk menekan risiko
terjadinya prosiklikalitas yang berlebihan dalam sistem keuangan; dan 6)
Bersifat countercyclical yang akan bersinergi dengan tujuan kebijakan moneter
dalam mengurangi fluktuasi perekonomian. Kebijakan makroprudensial untuk
memperketat persyaratan modal dan likuiditas di saat perekonomian sedang melaju
kencang (periode up swing) akan mendorong bank untuk mengurangi pertumbuhan
kredit sehingga menjaga daya tahan bank ke depan di saat perekonomian memburuk
(Dwi Wulan Ramadani, & Dedi Rahman, 2013).
Agar
Kebijakan Makroprudensial berjalan sesuai dengan harapan, maka diperlukan
adanya pengaturan dan pengawasan. Bank Indonesia mengeluarkan Peraturan Bank
Indonesia (PBI) tentang Pengaturan dan Pengawasan Makroprudensial, yaitu: 1)
Pengalaman krisis keuangan global menunjukkan pentingnya untuk menjaga
stabilitas sistem keuangan mengingat kompleksitas dan keterkaitan dalam sistem
keuangan mengakibatkan krisis yang bersumber dari dalam sektor keuangan tidak
hanya berdampak negatif di sektor keuangan, tetapi juga meluas sehingga
mempengaruhi kinerja makroekonomi dan menimbulkan biaya pemulihan ekonomi yang
tinggi; 2) Dalam rangka mendukung terpeliharanya stabilitas sistem keuangan
maka diperlukan upaya-upaya untuk membatasi dan mencegah risiko sistemik,
mendorong fungsi intermediasi yang seimbang dan berkualitas, serta meningkatkan
efisiensi sistem keuangan dan akses keuangan melalui kegiatan pengaturan dan
pengawasan makroprudensial; dan 3) Untuk melaksanakan kegiatan pengaturan dan
pengawasan makroprudensial, Bank Indonesia perlu menetapkan kerangka kebijakan
pengaturan dan pengawasan makroprudensial dalam PBI (www.bi.go.id). pokok-pokok
ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) mengenai pengaturan dan
pengawasan makroprudensial, mencakup: 1) Bank Indonesia melakukan pengaturan
dan pengawasan makroprudensial (dalam rangka: a. mencegah dan mengurangi risiko
sistemik; b. mendorong fungsi intermediasi yang seimbang dan berkualitas; dan
c. meningkatkan efisiensi sistem keuangan dan akses keuangan); 2) Pengaturan
makroprudensial dilakukan dengan menggunakan instrumen pengaturan (antara lain
untuk: a. memperkuat ketahanan permodalan dan mencegah leverage yang
berlebihan; b. mengelola fungsi intermediasi dan mengendalikan risiko kredit,
risiko likuiditas, risiko nilai tukar, dan risiko suku bunga, serta risiko
lainnya yang berpotensi menjadi risiko sistemik; c. membatasi konsentrasi
eksposur (exposure concentration); d. memperkuat ketahanan infrastruktur
keuangan; dan/atau d. meningkatkan efisiensi sistem keuangan dan akses
keuangan); 3) Pengawasan makroprudensial (dilakukan melalui: a. surveilans
sistem keuangan dalam rangka melakukan penilaian terhadap risiko sistemik; dan
b. pemeriksaan dalam rangka meyakini risiko sistemik yang bersumber dari
kegiatan usaha bank terhadap : (1) systemically important banks dan/atau bank
lainnya yang memiliki common exposure yang berpotensi memberikan dampak
sistemik; dan (2) perusahaan induk, perusahaan afiliasi, dan perusahaan anak
dari bank jika dinilai memberikan eksposur risiko yang signifikan terhadap bank
atau berdampak sistemik); dan 4) Terdapat kewajiban bank (antara lain untuk: a.
mematuhi ketentuan Bank Indonesia di bidang makroprudensial; b. menyediakan dan
menyampaikan data dan informasi yang diperlukan dalam kegiatan surveilans Bank
Indonesia; c. memberikan dokumen dan/atau data, keterangan dan penjelasan
secara lisan maupun tulisan, akses terhadap sistem informasi bank, dan hal
lainnya yang diperlukan dalam kegiatan pemeriksaan Bank Indonesia; dan d.
melaksanakan tindak lanjut atas hasil pengawasan makroprudensial yang dilakukan
oleh Bank Indonesia (www.bi.go.id).
Menurut Bank
Indonesia (BI) (2014, mengungkapkan bahwa kewenangan Bank Indonesia terkait
dengan pengaturan dan pengawasan Makroprudensial tercantum dalam: 1. Penjelasan
pasal 7 UU OJK, “Pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan, kesehatan,
aspek kehati-hatian, dan pemeriksaan bank merupakan lingkup pengaturan dan
pengawasan microprudential yang menjadi tugas dan wewenang OJK. Adapun lingkup
pengaturan dan pengawasan macroprudential, yakni pengaturan dan pengawasan
selain hal yang diatur dalam pasal ini, merupakan tugas dan wewenang Bank
Indonesia. Dalam rangka pengaturan dan pengawasan macroprudential, OJK membantu
Bank Indonesia untuk melakukan himbuan moral (moral suasion) kepada perbankan.
2. Pasal 40 dan penjelasan pasal 40 UU OJK. 1) Pasal 40: (1) Dalam hal BI untuk
melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya memerlukan pemeriksaan khusus
terhadap bank tertentu, BI dapat melakukan pemeriksaan langsung terhadap
tersebut dengan menyampaikan pemberitahuan tertulis terkebih dahulu kepada OJK,
(2) Dalam melakukan kegiatan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BI
tidak dapat memberikan penilaian terhadap tingkat kesehatan bank. 2) Penjelasan
pasal 40: (1) Pada dasarnya wewenang pemeriksaan terhadap bank adalah wewenang
OJK. Namun, dalam hal BI melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya membutuhkan
informasi melalui kegiatan pemeriksaan bank, BI dapat melakukan pemeriksaan
secara langsung terhadap bank tertentu yang masuk systemically important bank
dan/atau bank lainnya sesuai dengan kewenangan BI di bidang macroprudential.
Bukan hanya
mengenai pengaturan dan pengawasan, Bank Indonesia (BI) pada tahun 2014 juga
telah menerbitkan tiga (3) kebijakan makroprudensia, berupa: 1) pemberian
kredit loan to value; 2) giro wajib minimum dikaitkan fungsi intermediasi;
serta 3) Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) (Telisa Aulia Falianty, 2014). Di luar
itu, sesuai berjalannya reformasi yang lebih baik, lebih transparan, dan
intermediasi keuangan yang lebih efisien dalam rangka pengembangan kerangka
regulasi dan pengawasan sektor jasa keuangan melalui pembentukan Otoritas Jasa
Keuangan (OJK) yang komprehensif dan terintegrasi berdasarkan UU No. 21 tahun
2011. Bersamaan dengan pembentukan OJK, Pemerintah Indonesia sedang menyiapkan
Undang-Undang tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (Jaring pengaman Sektor
Keuangan-JPSK) bersama-sama dengan DPR untuk secara signifikan meningkatkan
stabilitas sistem keuangan (www.depkeu.go.id). Ini sangat membuktikan bahwa
otoritas Bank Indonesia atau bank sentral sangat lah kuat sekali dalam
menangani masalah perekonomian di Indonesia.
Dari sisi
intermediasi perbankan, kredit kepada sektor swasta tumbuh melambat menjadi
15,39% (yoy) dari bulan sebelumnya sebesar 17,2% (yoy) sejalan dengan perlambatan
perekonomian. Adapun risiko kredit perbankan masih dalam batas aman. Indikator
kredit bermasalah (NPL) berada pada level 2,24%, jauh dibawah batas aman 5%. Tetapi,
Bank Indonesia mencermati betul mengenai tingginya NPL pada 4 sektor, yakni: 1)
sektor konstruksi; 2) pertambangan; 3) perdagangan; dan 4) jasa sosial.
Prestasi Kebijakan Makroprudensial di sektor kredit adalah pada bulan Juli
2014, NPL sektor konstruksi tercatat sebesar 4,43% atau naik dibandingkan bulan
sebelumnya yang sebesar 4,24%. Pada sektor pertambangan, NPL tercatat sebesar
3,09% dibandingkan bulan sebelumnya 2,49% (www.bi.go.id). Sehubungan
dengan Kebijakan Makroprudensial tersebut, Bank Indonesia tengah menggodok
beberapa instrumen, di antaranya instrumen untuk mecegah dan mengurangi
leverage berlebihan melalui penguatan tambahan permodalan guna mengantisipasi
kondisi siklikal. Selanjutnya, instrumen untuk membatasi konsentrasi eksposur
seperti pengaturan pembatasan pemberian kredit sektor tertentu dan persayaratan
Central Counter Parties (CCP). Sebagai contoh adalah pemberian kredit
berlebihan di sektor yang sedang booming seperti CPO dan batu bara yang bisa
menimbulkan resiko sehingga perlu diatur. Sebuah bank terlalu eksesif hanya ke
sektor tertentu dikhawatirkan bila terjadi guncangan secara tiba- tiba bisa
terjadi kredit macet. Kredit lainnya adalah yang berhubungan dengan properti,
di mana kredit rumah pertama tipe 70 meter ke atas akan dikenakan LTV maksimal
70 persen atau DP 30 persen dari harga jual. Rumah kedua 60 persen (DP 40
persen). Rumah ketiga dan seterusnya 50 persen (DP 50 persen) (Telisa Aulia
Falianty, 2014).
Dengan ini
kebijakan makroprudensial pun diharapkan terus mampu menjaga inflasi yang mampu
memberikan gejolak ekonomi bangsa, yang sampai saat ini masih sangat
berpengaruh terhadap stabilitas perekonomian bang Indonesia. Meskipun pada
prosesnya, Kebijakan Makroprudensial tidak bisa lepas dari Kebijakan Moneter
yang ada pada Bank Indonesia juga, karena pada dasarnya kedua kebijakan ini
tidak dapat saling dipisahkan atau dengan kata lain bahwa kedua kebjakan
tersebut saling berkesinambungan. Apalagi bersinergi dengan Kebijakan
Mikroprudensial, dalam menjaga Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) akan semakin
sehat untuk mengantisipasi berbagai gejolak ekonomi atau krisis global yang
terjadi secara tidak terduga di masa yang akan datang, melihat tidak menentukan
nya laju perekonomian di Indonesia pada saat ini, ada kemungkinan akan terjadi
naik turun dalam laju perekonomian nya. Masyarakat Indonesia pun berharap, agar
Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) tetap memberikan rasa aman dan nyaman bagi
perputaran roda perekonomian bangsa Indonesia. Di harapkan pula agar tidak
terjadi krisis ekonomi yang berkepanjangan seperti yang terjadi pada tahun 1998
dan di susul oleh kasus krisis ekonomi pada tahun 2008 lalu yang mengakibatkan
tidak stabil nya perekonomian di Indonesia, itu merupakan masalah yang ingin sekali
di hindari oleh masyarakat maupun pemerintahn di negara mana pun.
togel sgp
BalasHapusAgen TOGEL 4DPOIN,Online Terpercaya.
Minimal Deposit Dan Withdraw 20.000
Keterangan Lebih Lanjut, Anda Bisa Hubungi Disini.
? Pin BBM : D1A279B6
? Pin BBM : 7B83E334
? Whatsapp : +85598291698
? Skype : Poin.4D
? Line : +85598291698