KEBIJAKAN
MAKROPRUDENSIAL UNTUK MENGHINDARI CREDIT BOOM
Oleh : Muhammad
Munif
Ilmu Ekonomi
(Moneter) Fakultas Ekonomi Universitas Jember
Bank Indonesia merupakan sebuah
lembaga independen yang tidak hanya memiliki tugas untuk
menjaga jumlah uang yang beredar. Bank Indonesia juga memiliki tugas untuk
menjaga stabilitas keuangan termasuk perbankan dan sistem pembayaran. Dalam
menjaga stabilitas sistem keuangan, Bank Indonesia memiliki lima peran utama.
Pertama, menjaga stabilitas moneter dengan instrumen tingkat suku bunga melalui
operasi pasar terbuka. Kedua, menciptakan kinerja perbankan dan lembaga
keuangan yang sehat. Ketiga, menjaga kelancaran sistem pembayaran. Keempat,
mengakses informasi yang dinilai mengancam stabilitas keuangan. Kelima, bank
Indonesia sebagai jaring pengaman sistem keuangan[1]. Dalam
melaksanakan perannya, saat ini Bank Indonesia telah dibantu oleh Otoritas Jasa
Keuangan. BI dan OJK berbagi peran dalam menciptakan stabilitas sistem
keuangan. OJK bertugas memantau stabilitas keuangan dalam lingkup setiap
lembaga keuangan atau memantau secara mikroprudensial. Sedangkan Bank Indonesia
bertugas memantau perbankan dan lembaga keuangan secara keseluruhan atau secara
makroprudensial.
Baru-baru ini Bank Indonesia mengeluarkan
kebijakan menurunkan tingkat suku bunga acuan dan giro wajib minimum. Terdapat
beberapa alasan yang mendasari dikeluarkannya kebijakan ini. Diantaranya adalah
menjaga kecukupan likuiditas untuk mendorong pertumbuhan kredit, menciptakan
transmisi kebijakan moneter yang cepat dan kuat serta pembaruan kebijakan dalam
rangka mendorong perekonomian tanpa menganggu stabilitas keuangan dan
stabilitas moneter. Dalam penerapan kebijakan ini juga dibutuhkan peran banyak
pihak diantaranya adalah pemerintah, lembaga perbankan dan masyarakat. Kinerja
yang selaras dan saling mendukung dari pihak-pihak tersebut akan menjadikan
tujuan yang diinginkan cepat terlaksana. Dalam implementasi kebijakan secara
realistis, akan terdapat banyak hambatan. Jika hambatan ini tidak ditanggapi
dan dipertimbangkan terlebih dahulu maka apa yang diharapkan akan menjadi
sebuah ancaman.
Penurunan
tingkat suku bunga ini juga terkait dengan hot
money yang mengalir deras ke Indonesia. Kebijakan ini merupakan sebuah
antisipasi untuk menghindari ancaman kestabilan keuangan jika para pemilik
modal menarik kembali modalnya. Tingkat bunga yang tinggi menyebabkan pemilik modal tergiur untuk
menginvestasikan modalnya dalam bentuk portofolio. Bagi Indonesia investasi
semacam ini pada awalnya dapat memperkuat nilai tukar rupiah namun jika capital inflow ini hanya dialokasikan
dalam portofolio saja perekonomian nasional tidak akan tumbuh, bahkan akan
menjadi suatu ancaman dimana capital
inflow berupa hot money yang
dapat ditarik pemiliknya kapan saja.
Bank Indonesia
selaku otoritas moneter nasional menggunakan inflation targetting framework
dalam menentukan kebijakannya sehingga semua kebijakan mengacu pada inflasi
yang ditargetkan. Jika inflasi yang ditargetkan lebih tinggi dari sebelumnya,
Bank Indonesia akan menurunkan tingkat bunga acuan dan giro wajib minimum.
Turunnya tingkat bunga dan giro wajib ini diharapkan dapat meningkatkan
perekonomian melalui bertambahnya jumlah uang yang beredar di masyarakat. Bertambahnya
uang yang beredar ini tentu akan meningkatkan daya beli masyarakat dan
menciptakan pertumbuhan permintaan dan menyebabkan demand pull inflation.
Permintaan yang tinggi akan menstimulus produsen untuk menambah produksinya dan
menyebabkan adanya peningkatan output yang merupakan indikator pertumbuhan
ekonomi. Jadi pada intinya, untuk menaikkan inflasi agar mencapai
target, Bank Indonesia mengeluarkan transmisi kebijakan moneter untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan pertumbuhan kredit.
Pertumbuhan kredit sudah terjadi sejak pasca krisis keuangan 2008. Data
menunjukkan bahwa pertumbuhan kredit secara nominal dan riil pada tahun 2010
sebesar 23,3% dan 15,3%. Pada akhir 2011, pertumbuhan kredit adalah sebesar
24,7% dan 20,1%. Hingga Maret 2012, pertumbuhan kredit nominal dan riil
mencapai angka 25% dan 20%. Pertumbuhan kredit ini akan terus terjadi ditambah
lagi adanya kebijakan penurunan tingkat suku bunga acuan dan giro wajib
minimum.
Pertumbuhan kredit ini akan menimbulkan ancaman jika tidak ada kebijakan
untuk membatasi terutama ancaman kelebihan kredit (credit boom). Ancaman yang terdapat dalam pertumbuhan kredit
tersebut dapat berimbas pada kestabilan keuangan dan perekonomian secara makro.
Hal ini disebabkan oleh pertumbuhan kredit yang tinggi tidak diiringi oleh
keadaan sektor keuangan yang kuat. Pertumbuhan kredit yang dialokasikan pada
sektor konsumsi akan mengakibatkan ketidaksempurnaan dan ketidakseimbangan
pasar karena permintaan yang meningkat tidak diiringi oleh penyediaan oleh
produsen. Jika ini terjadi, maka akan
terjadi inflasi yang tinggi. Untuk memenuhi permintaan yang meningkat ini,
produsen tentu saja akan meningkatkan produktivitasnya melalui ekspansi usaha
maupun investasi baru yang membutuhkan dana. Dana ini tentunya bersumber dari
kredit yang diberikan lembaga keuangan. Lembaga keuangan memandang ini sebagai
peluang karena sebagian besar lembaga keuangan yang ada bersifat profit oriented sehingga lembaga
keuangan memberikan kredit tanpa berhati-hati dan selektif. Ekspektasi lembaga
keuangan terhadap besarnya kredit ini menyebabkan adanya resiko karena adanya
penumpukan pinjaman dan diikuti dengan ketidakmampuan membayar karena suku
bunga kredit perbankan yang masih tinggi. Hal ini juga disebabkan tidak diikutinya
penurunan tingkat bunga acuan oleh perbankan melalui tingkat bunga kreditnya. Besarnya
kredit terhadap barang konsumsi juga mengandung resiko yang tinggi terutama
terjadinya kredit macet. Kredit terhadap barang konsumsi harus dibatasi untuk
meminimalisir dampak negatif dan resiko tersebut. Selain terdapat resiko yang
besar, kredit pada sektor konsumsi ini juga memiliki dampak yang kecil terhadap
pertumbuhan ekonomi. Kecilnya multiplier
effect menjadi faktor utama kecilnya pengaruh kredit konsumsi terhadap pertumbuhan
ekonomi.
Credit boom memiliki beberapa definisi diantaranya adalah periode
terjadinya deviasi yang cukup ekstrim dari pertumbuhan kredit terhadap pola
historis jangka panjangnya yang tidak didukung oleh fundamental yang selaras[2]. Ada
pula yang mendefinisikan credit boom sebagai suatu episode saat pertumbuhan
kredit pada sektor swasta melebihi pertumbuhan yang terjadi semasa siklus
bisnis yang normal[3].
Beberapa literatur menganggap credit boom
sebagai pedang bermata dua. Di satu sisi credit boom dapat mendorong
perekonomian melalui investasi yang semakin meningkat namun di sisi lain credit
boom tersebut memiliki resiko pada sistem keuangan yang berupa pinjaman yang
tidak sehat (bad loans) dan dampak
negatif pada perekonomian berupa inflasi yang tinggi.
Otoritas moneter mempunyai kewajiban untuk menjaga stabilitas keuangan
nasional mengingat pertumbuhan kredit yang berlebihan memiliki hubungan yang
kuat dengan resiko sistemik. Oleh karena itu, kelebihan kredit (credit boom) yang akan terjadi karena
diterapkannya kebijakan untuk menurunkan tingkat suku bunga acuan dan giro
wajib minimum harus dihindari demi tercapainya pertumbuhan ekonomi melalui
transmisi kebijakan moneter tanpa mengganggu stabilitas keuangan maupun keadaan
makroekonomi nasional. Otoritas moneter harus memberikan pengawasan terhadap
batasan pertumbuhan kredit yang membahayakan stabilitas keuangan. Untuk menjaga
hal tersebut digunakan kebijakan secara makroprudensial melalui instrumen countercyclical buffer atau meningkatkan
rasio cadangan modal untuk berjaga-jaga apabila terjadi kelebihan kredit yang
menimbulkan resiko sistemik. Kebijakan makroprudensial ini menyangkut mitigasi
resiko yang bersifat sistemik.
Terdapat beberapa instrumen makroprudensial dalam mengatasi dan
mengantisipasi adanya credit boom. Kebijakan
makroprudensial ini bertujuan untuk menghindari adanya resiko sistemik yang
dapat menyebabkan krisis keuangan. Terdapat banyak instrumen makroprudensial
diantaranya adalah countercyclical buffer,
Net Open Position, Loan to Value, reserve
requirements dan masih banyak lagi. Untuk menjaga ketersediaan modal karena
aliran kredit yang tinggi digunakan instrumen countercyclical buffer. Instrumen ini mengadopsi pada kebijakan
mikroprudensial untuk menjaga ketersedian modal saat likuiditas tinggi.
Kebijakan yang bersifat countercyclical ini dapat mengurangi overheat perekonomian karena tingginya
pertumbuhan kredit. Credit boom pada
sektor konsumtif juga harus dibatasi untuk menghindari adanya bubble pada aset-aset konsumtif seperti
properti. Hal ini dapat diatasi dengan penerapan kebijakan LTV (Loan to Value)
yang dapat membatasi kredit pada sektor konsumtif seperti properti dan
kendaraan. LTV merupakan rasio antara nilai kredit yang dapat diberikan oleh
bank terhadap nilai agunan pada saat awal pemberian kredit.
Keadaan kredit di Indonesia tidak mengkhawatirkan. Ini dapat dilihat dari
rasio pertumbuhan kredit terhadap PDB yang mencapai 33% pada Februari 2012. Hal
ini menandakan bahwa pertumbuhan kredit diikuti dengan pertumbuhan ekonomi yang
tercermin dari meningkatnya PDB. Setelah tahun 2008, pertumbuhan kredit di
Indonesia sangat tinggi. Pertumbuhan kredit ini didorong oleh keadaan ekonomi
Indonesia yang semakin membaik pasca krisis keuangan yang tercermin dari
tingginya pertumbuhan ekonomi. Keadaan kredit yang baik juga tercermin dari
alokasi kredit itu sendiri. Hal ini dibuktikan dengan tingginya pertumbuhan
kredit untuk investasi. Demikian pula yang terjadi pada kredit modal kerja.
0 komentar:
Posting Komentar