Blogroll

Jumat, 10 Juni 2016

KEBIJAKAN MAKROPRUDENSIAL UNTUK MENGHINDARI CREDIT BOOM

KEBIJAKAN MAKROPRUDENSIAL UNTUK MENGHINDARI CREDIT BOOM
Oleh : Muhammad Munif
Ilmu Ekonomi (Moneter) Fakultas Ekonomi Universitas Jember

            Bank Indonesia merupakan sebuah lembaga independen yang tidak hanya memiliki tugas untuk menjaga jumlah uang yang beredar. Bank Indonesia juga memiliki tugas untuk menjaga stabilitas keuangan termasuk perbankan dan sistem pembayaran. Dalam menjaga stabilitas sistem keuangan, Bank Indonesia memiliki lima peran utama. Pertama, menjaga stabilitas moneter dengan instrumen tingkat suku bunga melalui operasi pasar terbuka. Kedua, menciptakan kinerja perbankan dan lembaga keuangan yang sehat. Ketiga, menjaga kelancaran sistem pembayaran. Keempat, mengakses informasi yang dinilai mengancam stabilitas keuangan. Kelima, bank Indonesia sebagai jaring pengaman sistem keuangan[1]. Dalam melaksanakan perannya, saat ini Bank Indonesia telah dibantu oleh Otoritas Jasa Keuangan. BI dan OJK berbagi peran dalam menciptakan stabilitas sistem keuangan. OJK bertugas memantau stabilitas keuangan dalam lingkup setiap lembaga keuangan atau memantau secara mikroprudensial. Sedangkan Bank Indonesia bertugas memantau perbankan dan lembaga keuangan secara keseluruhan atau secara makroprudensial.
            Baru-baru ini Bank Indonesia mengeluarkan kebijakan menurunkan tingkat suku bunga acuan dan giro wajib minimum. Terdapat beberapa alasan yang mendasari dikeluarkannya kebijakan ini. Diantaranya adalah menjaga kecukupan likuiditas untuk mendorong pertumbuhan kredit, menciptakan transmisi kebijakan moneter yang cepat dan kuat serta pembaruan kebijakan dalam rangka mendorong perekonomian tanpa menganggu stabilitas keuangan dan stabilitas moneter. Dalam penerapan kebijakan ini juga dibutuhkan peran banyak pihak diantaranya adalah pemerintah, lembaga perbankan dan masyarakat. Kinerja yang selaras dan saling mendukung dari pihak-pihak tersebut akan menjadikan tujuan yang diinginkan cepat terlaksana. Dalam implementasi kebijakan secara realistis, akan terdapat banyak hambatan. Jika hambatan ini tidak ditanggapi dan dipertimbangkan terlebih dahulu maka apa yang diharapkan akan menjadi sebuah ancaman.
Penurunan tingkat suku bunga ini juga terkait dengan hot money yang mengalir deras ke Indonesia. Kebijakan ini merupakan sebuah antisipasi untuk menghindari ancaman kestabilan keuangan jika para pemilik modal menarik kembali modalnya. Tingkat bunga yang tinggi menyebabkan pemilik modal tergiur untuk menginvestasikan modalnya dalam bentuk portofolio. Bagi Indonesia investasi semacam ini pada awalnya dapat memperkuat nilai tukar rupiah namun jika capital inflow ini hanya dialokasikan dalam portofolio saja perekonomian nasional tidak akan tumbuh, bahkan akan menjadi suatu ancaman dimana capital inflow berupa hot money yang dapat ditarik pemiliknya kapan saja.
Bank Indonesia selaku otoritas moneter nasional menggunakan inflation targetting framework dalam menentukan kebijakannya sehingga semua kebijakan mengacu pada inflasi yang ditargetkan. Jika inflasi yang ditargetkan lebih tinggi dari sebelumnya, Bank Indonesia akan menurunkan tingkat bunga acuan dan giro wajib minimum. Turunnya tingkat bunga dan giro wajib ini diharapkan dapat meningkatkan perekonomian melalui bertambahnya jumlah uang yang beredar di masyarakat. Bertambahnya uang yang beredar ini tentu akan meningkatkan daya beli masyarakat dan menciptakan pertumbuhan permintaan dan menyebabkan demand pull inflation. Permintaan yang tinggi akan menstimulus produsen untuk menambah produksinya dan menyebabkan adanya peningkatan output yang merupakan indikator pertumbuhan ekonomi. Jadi pada intinya, untuk menaikkan inflasi agar mencapai target, Bank Indonesia mengeluarkan transmisi kebijakan moneter untuk mendorong pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan pertumbuhan kredit.
Pertumbuhan kredit sudah terjadi sejak pasca krisis keuangan 2008. Data menunjukkan bahwa pertumbuhan kredit secara nominal dan riil pada tahun 2010 sebesar 23,3% dan 15,3%. Pada akhir 2011, pertumbuhan kredit adalah sebesar 24,7% dan 20,1%. Hingga Maret 2012, pertumbuhan kredit nominal dan riil mencapai angka 25% dan 20%. Pertumbuhan kredit ini akan terus terjadi ditambah lagi adanya kebijakan penurunan tingkat suku bunga acuan dan giro wajib minimum.
Pertumbuhan kredit ini akan menimbulkan ancaman jika tidak ada kebijakan untuk membatasi terutama ancaman kelebihan kredit (credit boom). Ancaman yang terdapat dalam pertumbuhan kredit tersebut dapat berimbas pada kestabilan keuangan dan perekonomian secara makro. Hal ini disebabkan oleh pertumbuhan kredit yang tinggi tidak diiringi oleh keadaan sektor keuangan yang kuat. Pertumbuhan kredit yang dialokasikan pada sektor konsumsi akan mengakibatkan ketidaksempurnaan dan ketidakseimbangan pasar karena permintaan yang meningkat tidak diiringi oleh penyediaan oleh produsen.  Jika ini terjadi, maka akan terjadi inflasi yang tinggi. Untuk memenuhi permintaan yang meningkat ini, produsen tentu saja akan meningkatkan produktivitasnya melalui ekspansi usaha maupun investasi baru yang membutuhkan dana. Dana ini tentunya bersumber dari kredit yang diberikan lembaga keuangan. Lembaga keuangan memandang ini sebagai peluang karena sebagian besar lembaga keuangan yang ada bersifat profit oriented sehingga lembaga keuangan memberikan kredit tanpa berhati-hati dan selektif. Ekspektasi lembaga keuangan terhadap besarnya kredit ini menyebabkan adanya resiko karena adanya penumpukan pinjaman dan diikuti dengan ketidakmampuan membayar karena suku bunga kredit perbankan yang masih tinggi. Hal ini juga disebabkan tidak diikutinya penurunan tingkat bunga acuan oleh perbankan melalui tingkat bunga kreditnya. Besarnya kredit terhadap barang konsumsi juga mengandung resiko yang tinggi terutama terjadinya kredit macet. Kredit terhadap barang konsumsi harus dibatasi untuk meminimalisir dampak negatif dan resiko tersebut. Selain terdapat resiko yang besar, kredit pada sektor konsumsi ini juga memiliki dampak yang kecil terhadap pertumbuhan ekonomi. Kecilnya multiplier effect menjadi faktor utama kecilnya pengaruh kredit konsumsi terhadap pertumbuhan ekonomi.
Credit boom memiliki beberapa definisi diantaranya adalah periode terjadinya deviasi yang cukup ekstrim dari pertumbuhan kredit terhadap pola historis jangka panjangnya yang tidak didukung oleh fundamental yang selaras[2]. Ada pula yang mendefinisikan credit boom sebagai suatu episode saat pertumbuhan kredit pada sektor swasta melebihi pertumbuhan yang terjadi semasa siklus bisnis yang normal[3]. Beberapa literatur menganggap credit boom sebagai pedang bermata dua. Di satu sisi credit boom dapat mendorong perekonomian melalui investasi yang semakin meningkat namun di sisi lain credit boom tersebut memiliki resiko pada sistem keuangan yang berupa pinjaman yang tidak sehat (bad loans) dan dampak negatif pada perekonomian berupa inflasi yang tinggi.
Otoritas moneter mempunyai kewajiban untuk menjaga stabilitas keuangan nasional mengingat pertumbuhan kredit yang berlebihan memiliki hubungan yang kuat dengan resiko sistemik. Oleh karena itu, kelebihan kredit (credit boom) yang akan terjadi karena diterapkannya kebijakan untuk menurunkan tingkat suku bunga acuan dan giro wajib minimum harus dihindari demi tercapainya pertumbuhan ekonomi melalui transmisi kebijakan moneter tanpa mengganggu stabilitas keuangan maupun keadaan makroekonomi nasional. Otoritas moneter harus memberikan pengawasan terhadap batasan pertumbuhan kredit yang membahayakan stabilitas keuangan. Untuk menjaga hal tersebut digunakan kebijakan secara makroprudensial melalui instrumen countercyclical buffer atau meningkatkan rasio cadangan modal untuk berjaga-jaga apabila terjadi kelebihan kredit yang menimbulkan resiko sistemik. Kebijakan makroprudensial ini menyangkut mitigasi resiko yang bersifat sistemik.
Terdapat beberapa instrumen makroprudensial dalam mengatasi dan mengantisipasi adanya credit boom. Kebijakan makroprudensial ini bertujuan untuk menghindari adanya resiko sistemik yang dapat menyebabkan krisis keuangan. Terdapat banyak instrumen makroprudensial diantaranya adalah countercyclical buffer, Net Open Position, Loan to Value, reserve requirements dan masih banyak lagi. Untuk menjaga ketersediaan modal karena aliran kredit yang tinggi digunakan instrumen countercyclical buffer. Instrumen ini mengadopsi pada kebijakan mikroprudensial untuk menjaga ketersedian modal saat likuiditas tinggi. Kebijakan yang bersifat countercyclical ini dapat mengurangi overheat perekonomian karena tingginya pertumbuhan kredit. Credit boom pada sektor konsumtif juga harus dibatasi untuk menghindari adanya bubble pada aset-aset konsumtif seperti properti. Hal ini dapat diatasi dengan penerapan kebijakan LTV (Loan to Value) yang dapat membatasi kredit pada sektor konsumtif seperti properti dan kendaraan. LTV merupakan rasio antara nilai kredit yang dapat diberikan oleh bank terhadap nilai agunan pada saat awal pemberian kredit.
Keadaan kredit di Indonesia tidak mengkhawatirkan. Ini dapat dilihat dari rasio pertumbuhan kredit terhadap PDB yang mencapai 33% pada Februari 2012. Hal ini menandakan bahwa pertumbuhan kredit diikuti dengan pertumbuhan ekonomi yang tercermin dari meningkatnya PDB. Setelah tahun 2008, pertumbuhan kredit di Indonesia sangat tinggi. Pertumbuhan kredit ini didorong oleh keadaan ekonomi Indonesia yang semakin membaik pasca krisis keuangan yang tercermin dari tingginya pertumbuhan ekonomi. Keadaan kredit yang baik juga tercermin dari alokasi kredit itu sendiri. Hal ini dibuktikan dengan tingginya pertumbuhan kredit untuk investasi. Demikian pula yang terjadi pada kredit modal kerja.   



[1] www.bi.go.id
[2] Iossifov, Plamen & Khamis. 2009. “Credit Growth in Sub Saharan Africans: Source, Risks and Policy Responses”. IMF Working Paper WP/09/180
[3] Marco E. Mencoza, Enrique G., & Terrones. 2008. “An Anatomy of Credit Boom: Evidences from Macro Aggregates and Micro Data”. NBER Working Paper 14049. 

0 komentar:

Posting Komentar