PERGERAKAN
VARIABEL MONETER DAN VARIABEL EKONOMI YANG DIHADAPI INDONESIA PADA AWAL 2016
Oleh
: Shella Elly Sritrisniawati 130810101093
Dalam suatu negara ada
sektor – sektor yang dapat memberikan pengaruh yang signifikan terhadap
perkembangan ekonomi. Misalnya negara Indonesia, salah satu sektor penentu
tersebut adalah sektor moneter. Sektor moneter banyak dijalankan oleh lembaga –
lembaga moneter, seperti Bank Indonesia yang menjadi markas besar untuk
otoritas moneter. Banyak kegiatan – kegiatan yang dijalankan oleh Bank Sentral
Republik Indonesia, diantaranya yang baru – baru ini dilaksanakan yaitu Rapat
Dewan Gubernur. Rapat tersebut dilaksanakan tepatnya hari kamis, tanggal 18
februari 2016 berdasarkan informasi dari koran Kompas edisi Jum’at, 19 februari
2016.
Dalam
rapat tersebut dipimpin oleh Gubernur Bank Indonesia yaitu Agus Martowardhoyo,
dan diikuti oleh enam anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia. Hal tersebut
memunculkan dua peristiwa yang sangat menarik jika digali lebih dalam lagi.
Hasil dari rapat tersebut para penentu kebijakan memutuskan untuk menurunkan
suku bunga acuan atau yang tidak asing di telinga kita yaitu BI Rate ysng
diturunkan sebanyak 25 basis poin (bp) dan tingkat BI Rate menjadi 7 persen.
Bersamaan dengan itu Bunga Simpanan di Bank Indonesia (Deposit Facility) juga mengalami penurunan pada level 5 persen
serta bunga pinjaman (Lending Facility)
juga menurun menjadi 7,5 persen. (Sumber
: Kompas.com, Jum’at 19 Februari 2016).
Bukan hanya tingkat bunga yang diberikan
kerenggangan oleh penentu kebijakan pada Rapat Dewan Gubernur tersebut, tetapi
tentang Giro Wajib Minimum (GWM) Primer sebesar 1 persen yang semula 7,5 persen
menjadi 6,5 persen. Giro Wajib Minimum merupakan nilai minimal yang harus
disimpan di perbankan yaitu di Bank Indonesia. Maka dari itu, semua bank wajib
untuk menyimpan dana yang dimilikinya minimal 6,5 persen yang diperoleh dari
dana pihak ketiga (DPK) yang dihimpunnya. Dana Pihak Ketiga yaitu dana yang
berasal dari seluruh nasabah dari masing – masing bank tersebut. (Sumber : Kompas.com, Jum’at 19 Februari 2016).
Tidak
ingin kalah dengan otoritas moneter yang bergerak aktif, ternyata Otoritas Fiskal
yang letaknya tidak jauh dari Gedung Bank Indonesia tepatnya di kantor Wapers
Jakarta, juga melakukan pertemuan dengan
penentu kebijakan fiskal. Pertemuan tersebut diadakan oleh Wapres Jusuf Kalla
dengan Menko Perekonomian, Menteri Keuangan, dan Otoritas Jasa Keuangan.
Pertemuan otoritas fiskal juga membahas tentang penurunan suku bunga untuk
mendorong pertumbuhan ekonomi yang mulai recovery ini. Memang dibutuhkan
keserasian dalam kedua otoritas yang sama – sama memegang peran penting dalam
menentukan kearah mana negara Indonesia nantinya. Jadi pada kegiatan kedua
otoritas tersebut yang sebelumnya kurang sepaham untuk menurunkan tingkat suku
bunga, tetapi sekarang sama – sama mempertimbangkan keadaan suku bunga yang
dirasa memang selalu tinggi di negara Indonesia.
Negara
Indonesia memang salah satu negara yang menerapkan tingkat suku bunga yang
tinggi diantara negara – negara yang lain. Banyak di negara tetangga yang telah
menerapkan suku bunga yang rendah yaitu berada pada kisaran kurang dari 5 persen.
Mungkin dengan hal itu juga negara Indonesia mulai mempertimbangkan lagi
tingkat suku bunganya. Karena suku bunga yang tinggi kurang menarik minat para
Investor. Antara Investasi dan Suku Bunga memiliki arah yang berbanding
terbalik.
Otoritas
Moneter mempunyai instrumen Suku Bunga yang dapat diatur sesuai kewenangannya,
sedangkan Otoritas Fiskal tidak dapat secara langsung berhubungan dengan suku
bunga tetapi mempunyai instrumen yang sesuai dengan kebijakan fiskal yaitu
menciptakan situasi dan kondisi perekonomian yang kondusif. Dengan demikian
dapat mendorong penurunan suku bunga. Hal tersebut dilaksanakan sesuai dengan
lingkup kebijakan otoritas fiskal.
Darmin
Nasution mengatakan dalam (Sumber :
Kompas.com, Jum’at 19 Februari 2016), “Langkah yang dapat dijalankan oleh
pemerintah untuk memberikan dorongan dalam
menurunkan tingkat suku bunga dengan cara menekan lembaga – lembaga yang
dapat dikoordinasikan oleh pemerintah untuk tidak meminta bunga deposito yang tinggi
kepada perbankan saat menyimpan dananya. Lembaga – lembaga tersebut meliputi
Badan Usaha Milik Negara (BUMD) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang
dijalankan oleh pemerintah daerah dibawah kontrol Pemerintah pusat.
Seperti
hal yang dijelaskan diatas merupakan cara pemerintah pusat dalam upaya
mendorong penurunan tingkat suku bunga. Dengan instruksi seperti itu pemerintah
daerah pasti akan menjalankan sesuai dengan yang dianjurkan oleh pemerintah
pusat, walaupun di Indonesia sudah ada otonomi daerah, tetapi kewenangan
terbesar berada ditangan pemerintah pusat. Denagn demikian akan lebih efektif
dalam membantu Otoritas Moneter.
Berdasarkan (Sumber : Kompas.com, Jum’at 19 Februari 2016),
BUMN dan pemerintah daerah selama ini menyimpan semua dananya yang belum
dipakai atau dana yang menganggur (idle) di bank komersial. Dana yang dimiliki
pasti mempunyai nilai yang cukup besar. Per Desember tahun 2015 saja, total
dana Pemerintah daerah yang telah disimpan di Perbankan mencapai Rp 100
Triliun. Dari dana sebesar itu disimpan dideposito agar BUMN dan Pemda
mendapatkan bunga. Selain itu, juga untuk mengantisipasi adanya tindak
kejahatan jika disimpan secara manual. Baik kejahatan korupsi, pengelapan, dan
pencurian. Dengan penyimpanan di lembaga perbankan tingkat keamanan akan
terjamin dan selain itu juga memberikan tambahan pendapatan dari adanya bunga
tersebut.
Dari berbagai perusahaan,
badan usaha perseorangan, atau tabungan individu pasti tidak akan memiliki dana
sebesar itu. BUMN dan Pemda yang memiliki dana yang besar maka, mereka
mempunyai daya tawar yang tinggi terhadap bank. Hampir 50 persen dana yang
disimpan kebanyakan dana dari lembaga tersebut. Jadi, jika mereka sewaktu –
waktu menarik dananya dalam jumlah yang besar, bank komersial pasti akan
mengalami overload dalam menyediakan dana tersebut. Sehingga keseimbangan
neraca bank akan terganggu. Dengan keadaan neraca perbankan yang tidak stabil,
maka dapat meyebabkan bank komersial mengalami overhitting atau bisa
menyebabkan koleps. Karena dana cadangan perbankan sudah habis. Hal tersebut
banyak terjadi di lembaga – lembaga perbankan yang masih dalam lingkup yang
kecil. Sehingga mereka akan mengusahakan agar dana tersebut tidak diambil dalam
jumlah besar secara bersamaan. Hal yang mungkin dapat dilakukan jika dalam
keadaan seperti itu, perbankan dapat memberikan jangka waktu dan jumlah
maksimal yang dapat diambil. Jadi, dana dari nasabah tidak dapat diambil
seluruhnya. Perbankan yang mengalami koleps, sangat sulit untuk disembuhkan,
dan membutuhkan jangka waktu yang cukup lama. Sehingga perlu menerapkan
kebijakan – kebijakan tertentu dalam menstabilkan kondisi di dunia perbankan.
Suku Bunga di Indonesia memang paling
tinggi dibandingkan dengan negara lain. Penurunan suku bunga di negara
Indonesia memang diharapkan oleh banyak orang, perusahaan, investor dan lain –
lain. Berdasarkan informasi dari (Kompas.com tanggal 29 februari 2016), Salah
satunya oleh Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) yaitu Hariyadi
Sukamdani yang memaparkan bahwa kalangan pengusaha sangat menginginkan penurunan
tingkat suku bunga pinjaman atau kredit (Lending
Facility). Beberapa hari yang lalu Bank Indonesia juga telah mengumumkan
kebijakan terbaru yaitu penurunan tingkat suku bunga, dimana tingkat suku bunga
yang mengenai suku bunga pinjaman turun pada level 7,5 persen.
Tingkat
suku bunga yang terlalu tinggi ternyata juga kurang efektif dalam sebuah
perekonomian, karena di negara – negara kawasan Asia Tenggara juga menerapkan
tingkat suku bunga yang jauh lebih rendah dari negara Indonesia. Apalagi saat
ini Indonesia sudah mulai bergabung dengan negara – negara Masyarakat Ekonomi
ASEAN, jadi Indonesia juga harus menyesuaikan tingkat suku bunga seperti negara
lain. Penurunan suku bunga dilakukan secara bertahap, tidak dapat dilakukan
penurunan secara derastis. Karena untuk mengurangi gejolak ekonomi yang sewaktu
– waktu dapat terjadi dan keadaan perekonomian menjadi tidak stabil.
Negara
– negara tetangga yang masuk dalam ASEAN Economic Community seperti negara
Malaysia, Filiphina, Singapura, dan Thailand telah menerapkan suku bunga kredit
satu digit (single digit). Suku bunga satu digit tersebut besarnya berkisar
dibawah angka 5. Sedangkan dari jaman dahulu negara Indonesia masih menerapkan
suku bunga kredit dengan dua digit (Double digit). yaitu berkisar diantara
lebih dari angka 5. (Sumber : Kompas.com,
29 Februari 2016).
Mengutip data Bank Dunia dalam (Sumber : Kompas.com, 29 Februari 2016),
Hariyadi menjelaskan bahwa perbandingan suku bunga deposito dan kredit sejumlah
negara ASEAN seperti data – data ini : Indonesia
( Rata – rata bunga deposito berada pada tingkat 9 persen dan Rata – rata bunga
kredit berada pada level 13 persen), Malaysia
(Rata – rata bunga deposito berada pada level 3 persen dan Rata – rata
bunga kredit berada pada titik 5 persen), Filipina
(Rata – rata bunga deposito berada pada tingkat 1 serta Rata – rata bunga
kredit berkisar diantara 5 persen), Sedangkan di Thailand (Rata – rata bunga deposito berada pada kisaran angka 2
persen dan Rata – rata bunga kredit berada pada kisaran tingkat 7 persen),
serta yang terakhir Singapura (Rata
– rata bunga deposito berada pada kisaran angka
2 persen dan Rata – rata bunga kredit berada pada level 5 persen.
Terlihat dari data diatas bahwa kita dapat menarik suatu pernyataan dimana
tingkat suku bunga di Indonesia memang mempunyai tingkat yang paling tinggi
diantara negara – negara lain di kawasan ASEAN. (Data dari Bank Dunia).
Berdasarkan (Sumber : Kompas.com, 29 Februari 2016), Hariyadi mengatakan,
“Tingkat suku bunga yang berlaku di Indonesia merupakan sebuah anomali,”
paparnya pada saat berada di Hotel Borobudur Jakarta, Senin (29/2/2016).
Tambahnya, selama ini ada pandangan bahwa kredit murah memang sulit diterapkan
di negara Indonesia.
Di negara – negara tetangga dengan
suku bunga yang rendah masih dapat menyalurkan pembiayaan murah. Jika memang
diciptakan kondisi yang seperti itu maka suku bunga yang berada di Indonesia
akan selalu berada pada level yang tinggi. Melihat patokan penetapan BI Rate
sebagai suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) atau BI Rate dipandang masih dalam
tingkat yang tinggi. Menurut Hariyadi, (Sumber
: Kompas.com, 29 Februari 2016), Suku bunga acuan di Filiphina bisa
mencapai 1,2 persen dengan tingkat inflasi besarnya 2 persen.
Argumentasi mengenai BI Rate tidak
harus berada diatas inflasi. Hal tersebut hanya sebagai isu ekonomi saja, yang
belum dibuktikan kebenarannya. Suku bunga acuan dari negara lain mempunyai
nilai yang lebih rendah dari inflasinya. “Harus ada keberanian melangkah, kalau
tidak, maka tidak akan kemana – mana.”papar Hariyadi dalam (Sumber : Kompas.com, 29 Februari 2016).
Jauh sebelum itu, banyak yang telah
dibahas mengenai lembaga – lembaga keuangan. Menteri Perekonomian Darmin
Nasution dalam (Sumber : Kompas.com, 29
Februari 2016), mengatakan kepada seluruh stakeholder yaitu pemerintah,
Bank Sentral (Bank Indonesia), dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berada pada
proses pengupayaan dalam mendorong penurunan suku bunga kredit dengan berbagai
macam aturan – aturan baru yang dapat dijalankan.
Selain
membicarakan tentang tingkat suku bunga yang diturunkan ternyata banyak
variabel – variabel ekonomi yang lain yang juga mengalami pergerakan. Misalnya
saja inflasi. Inflasi memang dapat menjadi musuh dalam perekonomian, tetapi
inflasi juga dapat bersahabat untuk mengembangkan perekonomian. Semenjak
tingkat inflasi berada pada inflasi yang normal itu yang akan menguntungkan
bagi dunia perekonomian, jika berada pada hiperinflation itu yang sangat
merugikan dan sulit untuk disembuhkan.
Lembaga
otoritas moneter seperti Bank Indonesia juga memprediksi pada bulan maret 2016
Indeks Harga Konsumen (IHK) akan mengalami inflasi. Hal tersebut berdasarkan
survei pada pekan pertama bulan maret 2016, survei tersebut tentang pemantauan
harga yang dilaksanakan oleh bank sentral. Berdasarkan pernyataan Gubernur Bank
Indonesia Agus DW Martowardojo dalam (Kompas,
Jum’at 4 maret 2016), didasarkan pada survei yang dilakukan sampai dengan
pekan pertama bulan maret ini, ternyata IHK sudah menunjukkan kenaikan pada
kisaran 0,05 persen dibandingkan dengan bulan – bulan sebelumnya. Peningkatan
inflasi tersebut harus tetap terkontrol dengan baik, jika tidak, kenaikan
tersebut dapat menimbulkan permasalahan. Yang telah kita ketahui inflasi dapat
berhubungan dengan tingkat pengangguran, dimana jika inflasi yang tinggi dalam
jangka waktu tertentu akan menurunkan tingkat pengangguran, sedangkan
sebaliknya jika inflasi yang rendah akan menaikkan tingkat pengangguran. Jadi
antara kedua permasalahan ekonomi tersebut tidak dapat menjadi suatu pilihan
untuk Trade off (meniadakan salah satu). Maka hal yang dapat dilakukan adalah
dengan menjaga dengan baik agar proporsi dari keduanya dapat terpenuhi demi
pertumbuhan ekonomi.
Berdasarkan
grafik Perkembangan BI Rate, Inflasi Inti, dan inflasi umum Januari 2015 –
januari 2016 (dalam persen) dari (Kompas,
Jum’at 4 maret 2016), menunjukkan bahwa besarnya nilai inflasi inti stabil dalam tingkat 4,87 – 4,83 dari bulan januari
sampai bulan november 2015, sedangkan pada awal tahun 2016 mengalami penurunan
pada titik 3,62. Kebijakan terhadap tingkat BI Rate awalnya berada pada titik 7,75 diturunkan menjadi 7,5 dari
bulan februari – akhir tahun 2015, pada awal tahun kebijakan BI untuk
menurunkan tingkat BI Rate bulan januari 2016 berada pada level 7,25 dan pada
februari turun lagi menjadi 7 persen.
Sedangkan yang terakhir yaitu tingkat
inflasi umum, dimana grafik tingkat inflasi ini mengalami fluktuasi yang sangat
ekstrim yaitu awal tahun 2015 berada pada kisaran level 6,77 persen, mengalami
resesi dan recovery pada titik tertingginya pada bulan juni – juli pada titik
7.07 dan mengalami resesi dasyat pada desember menjadi 3,33 persen yang menjadi
titik terendahnya, dan recovery lagi menjadi 4,42 pada wal tahun 2016.
Menurut
Gubernur BI, inflasi tersebut pada kisaran 0,05 persen dari pekan pertama bulan
ini, maka diprediksi secara tahunan (year on year / yoy), inflasi akan
diperkirakan berada pada kisaran titik 4,3 persen pada tahun 2016. Tingkat
inflasi tersebut masih sesuai dengan target yang direncanakan oleh bank sentral
pada tahun 2016 ini. Selain itu, juga menerangkan bahwa target inflasi
Indonesia berada di 4 plus minus 1 persen dalam tahun ini.
Fash
back ke hari – hari sebelumnya bahwa Badan Pusat Statistik (BPS) juga telah
menyatakan bahwa penurunan tingkat suku bunga acuan oleh bank sentral yaitu
Bank Indonesia dan fluktuasi harga BBM (Bahan Bakar Minyak) akan berdampak pada
peningatan laju inflasi pada bulan maret 2016. Harga bahan bakar minyak
merupakan objek pemerintah yang dikaitkan dalam menurunkan ataupun menaikkan
inflasi. Karena BBM merupakan kebutuhan utama yang sangat diperlukan untuk
melakukan kegiatan oleh masyarakat Indonesia. Jika harga BBM mengalami kenaikan
maka secara tidak langsung akan mempengaruhi tingkat harga barang – barang yang
lain mengalami kenaikan. Misalnya harga kebutuhan pokok, harga ongkos
transportasi, dan harga – harga barang yang lain. Dengan hal tersebut dapat
menimbulkan spekulasi bahan bakar yang ada dimasyarakat. Sehingga timbul
kelangkaan bahan bakar minyak tersebut.
Berkaitan
dengan pembahasan sebelumnya, berdasarkan (Kompas,
Selasa 1 Maret 2016), Pada februari 2016 mencatat Indeks Harga Konsumen
(IHK) mengalami deflasi sebesar 0,09 persen secara bulanan (month to month /
mtm). Berdasarkan grafik Perkembangan BI Rate, Inflasi Inti, dan inflasi umum
Januari 2015 – januari 2016 (dalam persen) telah dipaparkan. Dan kondisi
tersebut masih esuai dengan rencana dan prediksi Bank Indonesia. Dalam kondisi
yang stabil dan dapat dikontrol dengan baik.
Menurut Bank Indonesia,
berdasarkan dalam (Kompas, Selasa 1 Maret
2016), deflasi IHK terutama disumbang deflasi komponen barang yang diatur
pemerintah (administered prices) dan
komponen bahan – bahan makanan lain yang ikut bergejolak (volatile foods). Dalam hal ini dijelaskan bahwa pemerintah dapat
mengatur keseimbangan harga – harga yang berada pada komponen barang – barang
tertentu.
Dan hal tersebut, inflasi IHK
dalam tahunan dapat mencapai 4,42 persen (yoy) dan berada pada kisaran inflasi
yang dicanangkan oleh Bank Indonesia. Yaitu sebesar 4 plus minus 1 persen.
Berdasarkan pemaparan Depertemen komunikasi BI Tirta Segara, selasa (1/3/2016).
Untuk kelompok barang – barang administered prices secara bulanan (mtm) sebesar
0,76 persen, meskipun secara tahunan mengalami inflasi sebesar 3,98 persen
(yoy). Dalam (Kompas, Selasa 1 Maret
2016).
Kelompok
barang – barang administered prices, mengalami deflasi dan berdampak pada
penurunan harga BMM dan elpiji 12 kg pada bulan januari, dan harga lain seperti
penurunan tarif listrik dan penurunan tarif angkatan udara. Sementara itu,
deflasi juga dialami oleh kelompok volatile foods yang tercatat berada pada
kisaran 0,68 persen (mtm), meskipun jika dicatat secara tahunan volatile foods
juga mengalami inflasi sebesar 7,87 persem (yoy). Kelompok barang – barang
volatile foods terutama berasal dari penurunan harga bawang merah, daging ayam
ras, telur ayam, dan cabai rawit. Yang merupakan kebutuhan primer masyarakat.
Penurunan harga berbagai komoditas tersebut sangat tinggi dibandingkan dengan
kenaikan harga bahan pokok yaitu beras sebagai dampak dari El Nino, sehingga
deflasi yang dialami oleh volatile foods lebih tinggi dari pada harga
sebelumnya.
Inflasi Inti, masih berada pada titik rendah dan bercatat
sekitar 0,31 persen secara bulanan dan 3,59 persen secara tahunan. Deflasi
tersebut disebabkan oleh stabilnya kontrol terhadap ekspektasi inflasi dan
terbatasnya permintaan yang ada di dalam negeri. Bank Indonesia menjaga dengan
ketat pengendalian inflasi untuk mengantisipasi kemungkinan terjadi tekanan
inflasi yang ada pada kelompok vilatile foods. Yang hal tersebut dapat
meresahkan kondisi masyarakat Indonesia dalam memenuhi kebutuhan – kebutuhan
primernya. Karena barang – barang volatile foods terebut setiap hari di
konsumsi oleh seluruh masyarakat Indonesia. Dengan pendapatan yang konstan
adanya inflasi tersebut akan mempengaruhi jumlah permintaan masyarakat.
Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.
BalasHapusNama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.
Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.
Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.
Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut