Blogroll

Jumat, 10 Juni 2016

PERGERAKAN VARIABEL MONETER DAN VARIABEL EKONOMI YANG DIHADAPI INDONESIA PADA AWAL 2016

PERGERAKAN VARIABEL MONETER DAN VARIABEL EKONOMI YANG DIHADAPI INDONESIA PADA AWAL 2016
Oleh : Shella Elly Sritrisniawati 130810101093

Dalam suatu negara ada sektor – sektor yang dapat memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perkembangan ekonomi. Misalnya negara Indonesia, salah satu sektor penentu tersebut adalah sektor moneter. Sektor moneter banyak dijalankan oleh lembaga – lembaga moneter, seperti Bank Indonesia yang menjadi markas besar untuk otoritas moneter. Banyak kegiatan – kegiatan yang dijalankan oleh Bank Sentral Republik Indonesia, diantaranya yang baru – baru ini dilaksanakan yaitu Rapat Dewan Gubernur. Rapat tersebut dilaksanakan tepatnya hari kamis, tanggal 18 februari 2016 berdasarkan informasi dari koran Kompas edisi Jum’at, 19 februari 2016.
            Dalam rapat tersebut dipimpin oleh Gubernur Bank Indonesia yaitu Agus Martowardhoyo, dan diikuti oleh enam anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia. Hal tersebut memunculkan dua peristiwa yang sangat menarik jika digali lebih dalam lagi. Hasil dari rapat tersebut para penentu kebijakan memutuskan untuk menurunkan suku bunga acuan atau yang tidak asing di telinga kita yaitu BI Rate ysng diturunkan sebanyak 25 basis poin (bp) dan tingkat BI Rate menjadi 7 persen. Bersamaan dengan itu Bunga Simpanan di Bank Indonesia (Deposit Facility) juga mengalami penurunan pada level 5 persen serta bunga pinjaman (Lending Facility) juga menurun menjadi 7,5 persen. (Sumber : Kompas.com, Jum’at 19 Februari 2016).
Bukan hanya tingkat bunga yang diberikan kerenggangan oleh penentu kebijakan pada Rapat Dewan Gubernur tersebut, tetapi tentang Giro Wajib Minimum (GWM) Primer sebesar 1 persen yang semula 7,5 persen menjadi 6,5 persen. Giro Wajib Minimum merupakan nilai minimal yang harus disimpan di perbankan yaitu di Bank Indonesia. Maka dari itu, semua bank wajib untuk menyimpan dana yang dimilikinya minimal 6,5 persen yang diperoleh dari dana pihak ketiga (DPK) yang dihimpunnya. Dana Pihak Ketiga yaitu dana yang berasal dari seluruh nasabah dari masing – masing bank tersebut. (Sumber : Kompas.com, Jum’at 19 Februari 2016).
            Tidak ingin kalah dengan otoritas moneter yang bergerak aktif, ternyata Otoritas Fiskal yang letaknya tidak jauh dari Gedung Bank Indonesia tepatnya di kantor Wapers Jakarta,  juga melakukan pertemuan dengan penentu kebijakan fiskal. Pertemuan tersebut diadakan oleh Wapres Jusuf Kalla dengan Menko Perekonomian, Menteri Keuangan, dan Otoritas Jasa Keuangan. Pertemuan otoritas fiskal juga membahas tentang penurunan suku bunga untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang mulai recovery ini. Memang dibutuhkan keserasian dalam kedua otoritas yang sama – sama memegang peran penting dalam menentukan kearah mana negara Indonesia nantinya. Jadi pada kegiatan kedua otoritas tersebut yang sebelumnya kurang sepaham untuk menurunkan tingkat suku bunga, tetapi sekarang sama – sama mempertimbangkan keadaan suku bunga yang dirasa memang selalu tinggi di negara Indonesia.
            Negara Indonesia memang salah satu negara yang menerapkan tingkat suku bunga yang tinggi diantara negara – negara yang lain. Banyak di negara tetangga yang telah menerapkan suku bunga yang rendah yaitu berada pada kisaran kurang dari 5 persen. Mungkin dengan hal itu juga negara Indonesia mulai mempertimbangkan lagi tingkat suku bunganya. Karena suku bunga yang tinggi kurang menarik minat para Investor. Antara Investasi dan Suku Bunga memiliki arah yang berbanding terbalik.
            Otoritas Moneter mempunyai instrumen Suku Bunga yang dapat diatur sesuai kewenangannya, sedangkan Otoritas Fiskal tidak dapat secara langsung berhubungan dengan suku bunga tetapi mempunyai instrumen yang sesuai dengan kebijakan fiskal yaitu menciptakan situasi dan kondisi perekonomian yang kondusif. Dengan demikian dapat mendorong penurunan suku bunga. Hal tersebut dilaksanakan sesuai dengan lingkup kebijakan otoritas fiskal.
            Darmin Nasution mengatakan dalam (Sumber : Kompas.com, Jum’at 19 Februari 2016), “Langkah yang dapat dijalankan oleh pemerintah untuk memberikan dorongan dalam  menurunkan tingkat suku bunga dengan cara menekan lembaga – lembaga yang dapat dikoordinasikan oleh pemerintah untuk tidak meminta bunga deposito yang tinggi kepada perbankan saat menyimpan dananya. Lembaga – lembaga tersebut meliputi Badan Usaha Milik Negara (BUMD) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang dijalankan oleh pemerintah daerah dibawah kontrol Pemerintah pusat.
            Seperti hal yang dijelaskan diatas merupakan cara pemerintah pusat dalam upaya mendorong penurunan tingkat suku bunga. Dengan instruksi seperti itu pemerintah daerah pasti akan menjalankan sesuai dengan yang dianjurkan oleh pemerintah pusat, walaupun di Indonesia sudah ada otonomi daerah, tetapi kewenangan terbesar berada ditangan pemerintah pusat. Denagn demikian akan lebih efektif dalam membantu Otoritas Moneter.
Berdasarkan (Sumber : Kompas.com, Jum’at 19 Februari 2016), BUMN dan pemerintah daerah selama ini menyimpan semua dananya yang belum dipakai atau dana yang menganggur (idle) di bank komersial. Dana yang dimiliki pasti mempunyai nilai yang cukup besar. Per Desember tahun 2015 saja, total dana Pemerintah daerah yang telah disimpan di Perbankan mencapai Rp 100 Triliun. Dari dana sebesar itu disimpan dideposito agar BUMN dan Pemda mendapatkan bunga. Selain itu, juga untuk mengantisipasi adanya tindak kejahatan jika disimpan secara manual. Baik kejahatan korupsi, pengelapan, dan pencurian. Dengan penyimpanan di lembaga perbankan tingkat keamanan akan terjamin dan selain itu juga memberikan tambahan pendapatan dari adanya bunga tersebut.
Dari berbagai perusahaan, badan usaha perseorangan, atau tabungan individu pasti tidak akan memiliki dana sebesar itu. BUMN dan Pemda yang memiliki dana yang besar maka, mereka mempunyai daya tawar yang tinggi terhadap bank. Hampir 50 persen dana yang disimpan kebanyakan dana dari lembaga tersebut. Jadi, jika mereka sewaktu – waktu menarik dananya dalam jumlah yang besar, bank komersial pasti akan mengalami overload dalam menyediakan dana tersebut. Sehingga keseimbangan neraca bank akan terganggu. Dengan keadaan neraca perbankan yang tidak stabil, maka dapat meyebabkan bank komersial mengalami overhitting atau bisa menyebabkan koleps. Karena dana cadangan perbankan sudah habis. Hal tersebut banyak terjadi di lembaga – lembaga perbankan yang masih dalam lingkup yang kecil. Sehingga mereka akan mengusahakan agar dana tersebut tidak diambil dalam jumlah besar secara bersamaan. Hal yang mungkin dapat dilakukan jika dalam keadaan seperti itu, perbankan dapat memberikan jangka waktu dan jumlah maksimal yang dapat diambil. Jadi, dana dari nasabah tidak dapat diambil seluruhnya. Perbankan yang mengalami koleps, sangat sulit untuk disembuhkan, dan membutuhkan jangka waktu yang cukup lama. Sehingga perlu menerapkan kebijakan – kebijakan tertentu dalam menstabilkan kondisi di dunia perbankan.
Suku Bunga di Indonesia memang paling tinggi dibandingkan dengan negara lain. Penurunan suku bunga di negara Indonesia memang diharapkan oleh banyak orang, perusahaan, investor dan lain – lain. Berdasarkan informasi dari (Kompas.com tanggal 29 februari 2016), Salah satunya oleh Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) yaitu Hariyadi Sukamdani yang memaparkan bahwa kalangan pengusaha sangat menginginkan penurunan tingkat suku bunga pinjaman atau kredit (Lending Facility). Beberapa hari yang lalu Bank Indonesia juga telah mengumumkan kebijakan terbaru yaitu penurunan tingkat suku bunga, dimana tingkat suku bunga yang mengenai suku bunga pinjaman turun pada level 7,5 persen.
            Tingkat suku bunga yang terlalu tinggi ternyata juga kurang efektif dalam sebuah perekonomian, karena di negara – negara kawasan Asia Tenggara juga menerapkan tingkat suku bunga yang jauh lebih rendah dari negara Indonesia. Apalagi saat ini Indonesia sudah mulai bergabung dengan negara – negara Masyarakat Ekonomi ASEAN, jadi Indonesia juga harus menyesuaikan tingkat suku bunga seperti negara lain. Penurunan suku bunga dilakukan secara bertahap, tidak dapat dilakukan penurunan secara derastis. Karena untuk mengurangi gejolak ekonomi yang sewaktu – waktu dapat terjadi dan keadaan perekonomian menjadi tidak stabil.
            Negara – negara tetangga yang masuk dalam ASEAN Economic Community seperti negara Malaysia, Filiphina, Singapura, dan Thailand telah menerapkan suku bunga kredit satu digit (single digit). Suku bunga satu digit tersebut besarnya berkisar dibawah angka 5. Sedangkan dari jaman dahulu negara Indonesia masih menerapkan suku bunga kredit dengan dua digit (Double digit). yaitu berkisar diantara lebih dari angka 5. (Sumber : Kompas.com, 29 Februari 2016).
            Mengutip data Bank Dunia dalam (Sumber : Kompas.com, 29 Februari 2016), Hariyadi menjelaskan bahwa perbandingan suku bunga deposito dan kredit sejumlah negara ASEAN seperti data – data ini : Indonesia ( Rata – rata bunga deposito berada pada tingkat 9 persen dan Rata – rata bunga kredit berada pada level 13 persen), Malaysia (Rata – rata bunga deposito berada pada level 3 persen dan Rata – rata bunga kredit berada pada titik 5 persen), Filipina (Rata – rata bunga deposito berada pada tingkat 1 serta Rata – rata bunga kredit berkisar diantara 5 persen), Sedangkan di Thailand (Rata – rata bunga deposito berada pada kisaran angka 2 persen dan Rata – rata bunga kredit berada pada kisaran tingkat 7 persen), serta yang terakhir Singapura (Rata – rata bunga deposito berada pada kisaran angka  2 persen dan Rata – rata bunga kredit berada pada level 5 persen. Terlihat dari data diatas bahwa kita dapat menarik suatu pernyataan dimana tingkat suku bunga di Indonesia memang mempunyai tingkat yang paling tinggi diantara negara – negara lain di kawasan ASEAN. (Data dari Bank Dunia).
            Berdasarkan (Sumber : Kompas.com, 29 Februari 2016), Hariyadi mengatakan, “Tingkat suku bunga yang berlaku di Indonesia merupakan sebuah anomali,” paparnya pada saat berada di Hotel Borobudur Jakarta, Senin (29/2/2016). Tambahnya, selama ini ada pandangan bahwa kredit murah memang sulit diterapkan di negara Indonesia.
            Di negara – negara tetangga dengan suku bunga yang rendah masih dapat menyalurkan pembiayaan murah. Jika memang diciptakan kondisi yang seperti itu maka suku bunga yang berada di Indonesia akan selalu berada pada level yang tinggi. Melihat patokan penetapan BI Rate sebagai suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) atau BI Rate dipandang masih dalam tingkat yang tinggi. Menurut Hariyadi, (Sumber : Kompas.com, 29 Februari 2016), Suku bunga acuan di Filiphina bisa mencapai 1,2 persen dengan tingkat inflasi besarnya 2 persen.
            Argumentasi mengenai BI Rate tidak harus berada diatas inflasi. Hal tersebut hanya sebagai isu ekonomi saja, yang belum dibuktikan kebenarannya. Suku bunga acuan dari negara lain mempunyai nilai yang lebih rendah dari inflasinya. “Harus ada keberanian melangkah, kalau tidak, maka tidak akan kemana – mana.”papar Hariyadi dalam (Sumber : Kompas.com, 29 Februari 2016).
            Jauh sebelum itu, banyak yang telah dibahas mengenai lembaga – lembaga keuangan. Menteri Perekonomian Darmin Nasution dalam (Sumber : Kompas.com, 29 Februari 2016), mengatakan kepada seluruh stakeholder yaitu pemerintah, Bank Sentral (Bank Indonesia), dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berada pada proses pengupayaan dalam mendorong penurunan suku bunga kredit dengan berbagai macam aturan – aturan baru yang dapat dijalankan.
            Selain membicarakan tentang tingkat suku bunga yang diturunkan ternyata banyak variabel – variabel ekonomi yang lain yang juga mengalami pergerakan. Misalnya saja inflasi. Inflasi memang dapat menjadi musuh dalam perekonomian, tetapi inflasi juga dapat bersahabat untuk mengembangkan perekonomian. Semenjak tingkat inflasi berada pada inflasi yang normal itu yang akan menguntungkan bagi dunia perekonomian, jika berada pada hiperinflation itu yang sangat merugikan dan sulit untuk disembuhkan.
            Lembaga otoritas moneter seperti Bank Indonesia juga memprediksi pada bulan maret 2016 Indeks Harga Konsumen (IHK) akan mengalami inflasi. Hal tersebut berdasarkan survei pada pekan pertama bulan maret 2016, survei tersebut tentang pemantauan harga yang dilaksanakan oleh bank sentral. Berdasarkan pernyataan Gubernur Bank Indonesia Agus DW Martowardojo dalam (Kompas, Jum’at 4 maret 2016), didasarkan pada survei yang dilakukan sampai dengan pekan pertama bulan maret ini, ternyata IHK sudah menunjukkan kenaikan pada kisaran 0,05 persen dibandingkan dengan bulan – bulan sebelumnya. Peningkatan inflasi tersebut harus tetap terkontrol dengan baik, jika tidak, kenaikan tersebut dapat menimbulkan permasalahan. Yang telah kita ketahui inflasi dapat berhubungan dengan tingkat pengangguran, dimana jika inflasi yang tinggi dalam jangka waktu tertentu akan menurunkan tingkat pengangguran, sedangkan sebaliknya jika inflasi yang rendah akan menaikkan tingkat pengangguran. Jadi antara kedua permasalahan ekonomi tersebut tidak dapat menjadi suatu pilihan untuk Trade off (meniadakan salah satu). Maka hal yang dapat dilakukan adalah dengan menjaga dengan baik agar proporsi dari keduanya dapat terpenuhi demi pertumbuhan ekonomi.
            Berdasarkan grafik Perkembangan BI Rate, Inflasi Inti, dan inflasi umum Januari 2015 – januari 2016 (dalam persen) dari (Kompas, Jum’at 4 maret 2016), menunjukkan bahwa besarnya nilai inflasi inti stabil dalam tingkat 4,87 – 4,83 dari bulan januari sampai bulan november 2015, sedangkan pada awal tahun 2016 mengalami penurunan pada titik 3,62. Kebijakan terhadap tingkat BI Rate awalnya berada pada titik 7,75 diturunkan menjadi 7,5 dari bulan februari – akhir tahun 2015, pada awal tahun kebijakan BI untuk menurunkan tingkat BI Rate bulan januari 2016 berada pada level 7,25 dan pada februari turun lagi menjadi 7 persen.
Sedangkan yang terakhir yaitu tingkat inflasi umum, dimana grafik tingkat inflasi ini mengalami fluktuasi yang sangat ekstrim yaitu awal tahun 2015 berada pada kisaran level 6,77 persen, mengalami resesi dan recovery pada titik tertingginya pada bulan juni – juli pada titik 7.07 dan mengalami resesi dasyat pada desember menjadi 3,33 persen yang menjadi titik terendahnya, dan recovery lagi menjadi 4,42 pada wal tahun 2016.
            Menurut Gubernur BI, inflasi tersebut pada kisaran 0,05 persen dari pekan pertama bulan ini, maka diprediksi secara tahunan (year on year / yoy), inflasi akan diperkirakan berada pada kisaran titik 4,3 persen pada tahun 2016. Tingkat inflasi tersebut masih sesuai dengan target yang direncanakan oleh bank sentral pada tahun 2016 ini. Selain itu, juga menerangkan bahwa target inflasi Indonesia berada di 4 plus minus 1 persen dalam tahun ini.
            Fash back ke hari – hari sebelumnya bahwa Badan Pusat Statistik (BPS) juga telah menyatakan bahwa penurunan tingkat suku bunga acuan oleh bank sentral yaitu Bank Indonesia dan fluktuasi harga BBM (Bahan Bakar Minyak) akan berdampak pada peningatan laju inflasi pada bulan maret 2016. Harga bahan bakar minyak merupakan objek pemerintah yang dikaitkan dalam menurunkan ataupun menaikkan inflasi. Karena BBM merupakan kebutuhan utama yang sangat diperlukan untuk melakukan kegiatan oleh masyarakat Indonesia. Jika harga BBM mengalami kenaikan maka secara tidak langsung akan mempengaruhi tingkat harga barang – barang yang lain mengalami kenaikan. Misalnya harga kebutuhan pokok, harga ongkos transportasi, dan harga – harga barang yang lain. Dengan hal tersebut dapat menimbulkan spekulasi bahan bakar yang ada dimasyarakat. Sehingga timbul kelangkaan bahan bakar minyak tersebut.
Berkaitan dengan pembahasan sebelumnya, berdasarkan (Kompas, Selasa 1 Maret 2016), Pada februari 2016 mencatat Indeks Harga Konsumen (IHK) mengalami deflasi sebesar 0,09 persen secara bulanan (month to month / mtm). Berdasarkan grafik Perkembangan BI Rate, Inflasi Inti, dan inflasi umum Januari 2015 – januari 2016 (dalam persen) telah dipaparkan. Dan kondisi tersebut masih esuai dengan rencana dan prediksi Bank Indonesia. Dalam kondisi yang stabil dan dapat dikontrol dengan baik.
                   Menurut Bank Indonesia, berdasarkan dalam (Kompas, Selasa 1 Maret 2016), deflasi IHK terutama disumbang deflasi komponen barang yang diatur pemerintah (administered prices) dan komponen bahan – bahan makanan lain yang ikut bergejolak (volatile foods). Dalam hal ini dijelaskan bahwa pemerintah dapat mengatur keseimbangan harga – harga yang berada pada komponen barang – barang tertentu.
                   Dan hal tersebut, inflasi IHK dalam tahunan dapat mencapai 4,42 persen (yoy) dan berada pada kisaran inflasi yang dicanangkan oleh Bank Indonesia. Yaitu sebesar 4 plus minus 1 persen. Berdasarkan pemaparan Depertemen komunikasi BI Tirta Segara, selasa (1/3/2016). Untuk kelompok barang – barang administered prices secara bulanan (mtm) sebesar 0,76 persen, meskipun secara tahunan mengalami inflasi sebesar 3,98 persen (yoy). Dalam (Kompas, Selasa 1 Maret 2016).
                   Kelompok barang – barang administered prices, mengalami deflasi dan berdampak pada penurunan harga BMM dan elpiji 12 kg pada bulan januari, dan harga lain seperti penurunan tarif listrik dan penurunan tarif angkatan udara. Sementara itu, deflasi juga dialami oleh kelompok volatile foods yang tercatat berada pada kisaran 0,68 persen (mtm), meskipun jika dicatat secara tahunan volatile foods juga mengalami inflasi sebesar 7,87 persem (yoy). Kelompok barang – barang volatile foods terutama berasal dari penurunan harga bawang merah, daging ayam ras, telur ayam, dan cabai rawit. Yang merupakan kebutuhan primer masyarakat. Penurunan harga berbagai komoditas tersebut sangat tinggi dibandingkan dengan kenaikan harga bahan pokok yaitu beras sebagai dampak dari El Nino, sehingga deflasi yang dialami oleh volatile foods lebih tinggi dari pada harga sebelumnya.
            Inflasi Inti, masih berada pada titik rendah dan bercatat sekitar 0,31 persen secara bulanan dan 3,59 persen secara tahunan. Deflasi tersebut disebabkan oleh stabilnya kontrol terhadap ekspektasi inflasi dan terbatasnya permintaan yang ada di dalam negeri. Bank Indonesia menjaga dengan ketat pengendalian inflasi untuk mengantisipasi kemungkinan terjadi tekanan inflasi yang ada pada kelompok vilatile foods. Yang hal tersebut dapat meresahkan kondisi masyarakat Indonesia dalam memenuhi kebutuhan – kebutuhan primernya. Karena barang – barang volatile foods terebut setiap hari di konsumsi oleh seluruh masyarakat Indonesia. Dengan pendapatan yang konstan adanya inflasi tersebut akan mempengaruhi jumlah permintaan masyarakat. 

1 komentar:

  1. Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.

    Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.

    Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.

    Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.

    Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut

    BalasHapus