Terjunnya Harga Minyak Dunia, Bagaimana Nasib Negara
Eksportir & Importir ?
Setelah
adanya berbagai masalah seperti tappering-off
, dan kenaikan suku bunga yang dilakukan oleh Bank Sentral Amerika Serikat,
sekarang fokus permasalahan ekonomi global beralih pada merosotnya harga minyak
mentah dunia. Awalnya pemerintah hanya memprediksi bahwa merosotnya harga
minyak mentah dunia hanyalah fenomena yang terjadi sementara, namun ternata
lambat laun harga minyak mentah dunia terus mengalami penurunan yang semakin
sigkifikan. Kenyataanya banyak yang tidak menduga bahwa negara - negara
penghasil minyak terbesar yang beberapa saat ini tertimpa masalah seperti
contohnya adalah negara Irak yang sempat terdapat konflik dengan beberapa
sekelompok pengikut aliran lain yang disebut dengan ISIS (Islamic State of Iraq & Syria) seharusnya dengan adanya konflik
tersebut, dapat menaikkan harga minyak dunia. Namun ternyata yang terjadi
justru sebaliknya, minyak mentah dunia yang semakin anjlok. Terlebih adalah
adanya kabar bahwa sekelompok ISIS tersebut telah menguasai daerah kilang
minyak yang cukup besar di daerah Irak, yaitu pada daerah yang dulunya merupakan
pimpinan Saddam Husein.
Kemudian
bagaimana tentang dampak dari penurunan harga imnyak mentah dunia itu sendiri
?. Akibat yang ditimbulkan dari gejolak tersebut pastinya akan berbeda pada
tiap – tiap negara yang bersangkutan. Hal ini masih membutuhkan kajian yang
panjang untuk mengetahui siapa yang akan di utungkan dan dirugikan atas adanya
permasalahan tersebut. Mengingat dari tiap – tiap negara tersebut memiliki
kapasitas kebutuhan akan minyak yang berbeda – beda. Namun apabila dilihat dari
sudut pandang secara umum, bagi negara – negara importir minyak akan lebih
diuntungkan karena adanya penurunan harga minyak tersebut. Dapat dikatakan
diuntungkan karena negara yang bersangkutan akan memiliki potensi keringanan
dalam hal pembayaran. Kemudian bagi negara – negara eksportir mungkin saja akan
menalami guncangan ekonomi yang disebabkan oleh defisit anggaran dari target
sebelumnya yang telah diperkirakan.
Kita ambil
saja contoh pada negara Amerika Serikat yang selama ini dikenal dengan negara
dengan konsumsi minyak yang cukup tinggi daripada negara – negara lainnya.
Produksi minyak Amerika Serikat yang secara umum terus mengalami pertumbuhan,
hal ini masih dirasa kurang untuk memenuhi kebutuhan minyak untuk negaranya itu
sendiri. Negara Amerika Serikat dapat dikatakan negara dengan importir minyak
yang tertinggi. Menurut data Organisasi Negara – negara Penghasil Minyak
(OPEC), konsumsi minyak dunia pada tahun 2015 telah mencapai 92,8 juta barel
per harinya (bph). Sedangkan negara Amerika Serikat tercatat dengan negara
pertama dengan besar konsumsi minyak yang melebihi 1,5 juta bph yaitu dengan
jumlah konsumsi sebesar 19 juta bph. Kemudian disusul dengan negara Cina dengan
konsumsi minyak sebesar 11,1 juta bph. Sedangkan negara Indonesia menempati
posisi ke 13 dengan besar konsumsi minyak sebesar 1,6 juta bph. Besar konsumsi
minyak dunia ini pastinya akan semakin bertambah dari tiap tahun ke tahun,
meskipun besarnya tidak terlalu besar. Bagi negara amerika Serikat dengan
adanya penurunan minyak dunia dan dengan kebutuhan minyaknya yang cukup banyak,
maka nantinya anggaran pemerintah Amerika Serikat untuk alokasi impor akan
menjadi lebih hemat. Keadaan seperti ini sebenarnya dapat dimanfaatkan bagi
pemerintah Amerika Serikat untuk mendorong perekonomian yang telah mengalami
kelambatan ini dengan cara mengarahkan margin kentungan ke dalam hal – hal yang
sekiranya akan mendukung pertumbuhan ekonomi, seperti pada investasi. Kemudian
untuk jangka panjangnya, pemerintah dapat membuka lapangan pekerjaan baru dan
penguatan posisi untuk dollar AS terhadap mata uang lainnya. Secara umum, nilai
tukar dolar AS memang akan selalu mengalami penguatan pada saat harga minyak
merosot, begitu pula sebaliknya. Adanya fakta tersebut seharusnya dapat membuat
kita lebih memahami siapa nantinya yang akan diuntungkan apabila akan terjadi
kondisi seperti ini lagi.
Sedangkan
bagi negara eksportir, adanya kondisi penurunan minyak sebenarnya sangatlah
tidak dikehendaki. Hal tersebut dikarenakan adanya penurunan akan menyebabkan
defisit anggaran yang nantinya dapat pula menyebabkan jatuhnya perekonomian
pada negara tersebut. Terlebih apabila negara eksportir tersebut memiliki
kontribusi yang cukup besar dalam total pendapatan negara yang bersangkutan. Adanya
penurunan harga minyak pada tingkat dibawah break
– even point dikhawatirkan akan mengganggu kondisi stabilitas perekonomian
negara dari jalur kondisi yang strategis, mulai dari pada kondisi pos
pendapatan yang akan mempengaruhi anggaran hingga kondisi pada nilai tukar mata
uang (kecuali pada negara Arab Saudi yang menggunakan sistem nilai tukar
tetap). Adanya pengurangan pada pendapatan menandakan pengetatan likuiditas
dapat memperburuk kondisi kredit bagi negara – negara yang bersangkutan. Karena
penggunaan kredit kemungkinan dapat menjadi suatu hal yang mampu memrusak
perekonomian negara tersebut.
Rachma Priasti Ramadhani
130810101154
0 komentar:
Posting Komentar