Blogroll

Jumat, 17 Juni 2016

Seberapa krusial kah rupiah?



Seberapa krusial kah rupiah?
            Pelemahan ekonomi global pada 2015 tidak dapat dipungkiri telah banyak mencatatkan kinerja perlambatan dari berbagai sektor ekonomi yang mennjadi andalan untuk menopang besarnya PBD di Indonesia. Dorongan untuk terus menambahkan dan meperluas bebagai stimulus dan insentive kepada sektor-sektor yang terdampak pelemahan terus dilakukan agar tidak memperburuk perekonomian nasional. Masalah-masalah krusial yang melibatkan sektor keuangan merupakan yang paling banyak mendapatkan insentif dari pemerintah. Data yang tercatat, pada sektor ini swasta lebih banyak melakukan transaksi pembayaran dibandingkan dengan penarikan di luar negeri. Inilah yang cukup membuat cadangan devisa menjadi turun karena pembayaran hutang yang telah jatuh tempo juga tidak dapat dihindari sehingga surplus pada neraca pembayaran juga ikut tertekan. Sumbangan dari sektor keuangan melalui investasi juga tidak dapat menutupi defisit NPI tersebut. Ketidakstabilan perekonomian global merupakn masalah bagi semua negara, terutama bagi negara-negara emerging faktor eksternal seperti ini pastinya telah berpengaruh besar pada kinerja perkonomian nasional, terutama jika dipandang dari segi nilai tukar mata uang. Sepanjang 2015 rupiah telah mengalami depresiasi mata uang sekitar 10 persen. Dengan depresiasi ini, cadangan devisa menjadi sedikit mengalami tekanan, karena naiknya nilai hutang negara.
            Masalah-masalah yang timbul dari dampak pelemahan tersebut, membuat pemerintah untuk terus berupaya memperbaiki daya beli masyarakat dan beberapa kebijakan juga mengarah pada rangsangan investor dalam negeri yang menanamkan modalnya diluar negeri untuk kembali berinvestasi di Indonesia. Sehingga dapat meringankan kinerja rupiah yang terus mengalami deperesiasi. Oleh karena itu, berbagai stimulus fiskal dikeluarkan pemerintah guna mendorong pertumbuhan ekonomi dari berbagai sektor, terutama dari sektor riil melalui UMKM. Peran UMKM sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi di Indonesia terutama dari sektor riil terus berusaha atau mungkin diusahakan agar dapat mencapai kemandiriannya. Permasalahn UMKM yang tidak pernah habis inilah kemudian yang mendorong pemerintah untuk lebih fokus pada permasalahan yang dihadapi UMKM. Mulai dari keringanan ijin usaha, permodalan hingga manajemen internal UMKM juga menjadi tantangan pemerintah untuk menguatkan sektor ini.
            Dari sisi defisit neraca perdagangan, yang perlu dilakukan adalah selain mmendorong ekspor, langkah lain yang bisa ditempuh adalah dengan mngurangi konsuumsi masyarakat melalui kenaikan pajak barang konsumsi kecuali barang kebutuhan pokok. Melihat kontribusi dari konsumsi yang besar dari masyarakat terhadap impor inilah yang kemudian membuat neraca perdangangan Indonesia. meskipun beberapa kali pemrintah menekankan bahwa turunnya nilai tukar bisa menjadi peluang eksppor yang lebih baik tetapi penurunan atau turunnya nilai tukar bukan ide yang baik untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia terutama jjika dilihat secara makro. Akan ada lebih banyak faktor atau sektor riil yang akan menderita jika dibandingkan pertumbuhan ekspor yang positif. Misalnya saja pengangguran. Titik temu antara pengangguran dan pelemahan nilai tukar ini berada pada hengkangnya sejumlah perusahaan yang mengandalkan bahan mentah impor, seperti PHK diberbagai perusahaan tekstil, garmen, bahkan sampai penutupan toko-toko kecil karena turunnya daya beli masyarakat. Sehingga bisa disimpulkan bahwa, pelemahan ekonomi dari sisi nilai tukar terutama dalam jangka pendek dari sisi ekspor akan memberikan pengaruh yang positif, tapi dilain hal jjika dibiarkan terlalu lama dan tanpa upaya perbaikan, tinggal tunggu waktu, karena krisis pasti terjadi. Apalagi jika melihat aimo masyarakat yang seolah-olah pelemahan rupiah adalah hal yang paling buruk, bukan tidak mungkin sikap pesimis tersebut akan ditangkap oleh investor sebagai sinyal untuk “ I`m done. I`m out”, selesailah drama perekonomian kita.

0 komentar:

Posting Komentar