Posisi
Fundamen Rupiah
Negara
Indonesia merupakan negara yag sedang berkembang. Hal ini menyebabkan nilai
mata uang rupiah akan sangat mengikuti perekonomian internasioal, Selma ini
acuan dari mata uang negraa yang sedang berkembang menggunakan mata uang dollar
AS. Beberapa taun terakhir ketika perekonomian Indonesia mengalami banyak
perubahan, dapat dikatakan perekonomian indoensia kadang semakin membaik dan
kadang pula makin lama menurun. Pelemahan perekonomin ini juga berdampak pada
nilai mata uang rupiah yag semakin melemah.
Penguatan
nilai mata uang rupiah terjadi apabila kondisi fundamental ekonomi kuat, antara
lain pertumbuhan ekonomi sehat dan defiisit transaksi berjalan tidak terlalu
bengkak. Pelaku pasar meminta
pemerintah. Posisi kurs rupiah yang sedang mengalami perlemahan, sejalan dengan
sentiment global hampir dialami seluruh mata uang negara yag sedang berkembang.
Untuk itu, pemerintah perlu membutuhkan dan merumuskan kebijakan yang “ prudent
“ seagai antisipasi melemahnya nili mata uang rupiah.
Hal
ini juga membuat para pelaku pasar penunjang perekonomian meminta pemerintah
memperaiki fundamental perekonomian untuk mengembalikan keprecayaan pasar. Semakin
lama perekonomian ini menuju yang lebih sehat, tidak ada seorang pun menyangka
ahwa kurs rupiah bisa mencapai level Rp 12.900,00 per dolar AS pada awal
desember tahun 2014, hingga saat ini terakhir nilai kurs rupiah yaitu Rp
13.778,- er dollar AS pada januari 2016. Dihitung dari
awal 2014 hingga Desember 2014, kurs rupiah “hanya” terdepresasi sekitar 1,7%.
Depresiasi rupiah sepanjang tahun 2014 memang terkesan kecil lantaran basis
kurs rupiah di awal tahun sudah di kisaran Rp 12.010 per dolar AS. Berkembangnya
nilai mata uang rupiah ini membuat
pereonomian Indonesia tidak pernah stabil.
Belum hilang dari ingatan kita ketika pemerintah menempuh kebijakan
tidak populer dengan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi pada
18 Nopember 2014 silam, kini giliran pelemahan rupiah yang tajam harus dihadapi
masyarakat dan dunia usaha. Pelemahan mata uang memang tidk hanya dialami
rupiah saja, tetapi juga hampir seluruh mata uang regional Asia Pasifik.
Penyebab dari pelemahan ini adalah penguatan dollar AS menyusul pulihnya
perekonomian yang berada di Amerika Serikat yang akal dikikuti oleh normalisasi
kebijakan The Fed pada pertengahn tahun 2015. Pelemahan nilai mata uang negara
– negara lain ini seiring dengan melemahnya harga minyak dunia. Pelemahan mata
uang dunia memang tidak bisa dilepaskan dari kebijakan moneter yang dilakukan
The Federal Reserve AS. Ketika krisis moneter melanda negeri itu
pada 2008, dikenal dengan krisis subprime mortgage, pemerintahan
George W. Bush waktu itu mengeluarkan kebijakan yang disebut Troubled Asset
Relief Program (TARF). Tidak tanggung-tanggung, pemerintah AS menyiapkan dana
hingga 700 miliar dolar AS untuk mengambil alih aset-aset yang bermasalah. Dana
yang akhirnya dikucurkan tercatat 475 miliar dolar AS. Ternyata dana yang
“disuntikkan” melalui perbankan itu tidak semuanya dipakai untuk mengambil alih
aset bermasalah di AS. Sebagian melimpah ke pasar modal dan pasar uang di
seluruh dunia, termasuk emerging economies. Itulah yang kemudian
dikenal sebagai quantitative easing.( antarnews.com)
Sebagai negara berkembang yang atraktif, Indonesia pun menikmati masuknya
uang panas (hot money) itu. Pasar modal lokal kebanjiran dana jangka
pendek karena mampu memberi imbalan yang tinggi. Beberapa tahun terakhir ini
Bursa Efek Indonesia (BEI) mampu menjadi salah satu pasar modal yang paling
menarik di Asia Pasifik. Keadaan ini mengharapkan semua pihakdi tuntut untuk
pandai – pandai membaca sutuasi dan kecenderugan yang akan terjadi kedepan.
Dengan kecenderungan ini semua negara yang berkembang dapat menganstispasi
dengan mengeluarkan kebijakn – kebijakan sesuai keadaan perekonomian yang
terjadi.
Melemahnya nilai mata uang
rupiah utamanya berassal dari faktor eksternal, namun bukan berarti
perekonomian nasional bakal aman-aman saja. Efek berantai dikhawatirkan akan
timbul dan bisa memperlemah ekonomi Indonesia. Salah satu yang membuat posisi
Indonesia rawan ialah besarnya nilai utang luar negeri (ULN) swasta dalam
bentuk valuta asing yang melampaui ULN pemerintah dan Bank Indonesia (BI).
Upaya BI dan pemerintah melalui kebijakan moneter dan fiskal
direspon positif pelaku pasar. Ini tampak dari keseriusan pemerintah untuk
memberi perhatian terhadap depresiasi rupiah. Tetapi dengan fundamental ekonomi
dan perbaikan ruang fiskal yang berjelanjutan, diharapkan pelemahan rupiah
tidak berjalan lama. Sebagai otoritas moneter, BI telah membeli surat berharga
negara (SBN) senilai Rp1,7 triliun untuk meredam gejolak rupiah di pasar
keuangan. Selain itu, bank sentral juga menambah intensitas intervensi di pasar
valuta asing secara terukur. Dengan dua jurus penyelamat tadi, BI berharap
pelemahan rupiah cepat ditangkal dan berbalik ke posisi fundamentalnya. Namun,
langkah baik menjaga rupiah ke depan dengan penguatan fundamental ekonomi, yaitu
dengan cara menggenjor ekspor manufaktur (nonmigas) dan mengembangkan industri
nasional.
Pelemahan nilai tukar rupiah jangan hanya dilihat sebagai masalah,
tetapi juga kesempatan. Ini merupakan kesempatan untuk melakukan substitusi
impor dan sekaligus mendorong ekspor nonmigas. Pelemahan nilai tukar rupiah
membuat produk nasional seharusnya menjadi lebih kompetitif di pasar global.
0 komentar:
Posting Komentar