Blogroll

Minggu, 12 Juni 2016

Posisi Fundamen Rupiah

Posisi Fundamen Rupiah
Negara Indonesia merupakan negara yag sedang berkembang. Hal ini menyebabkan nilai mata uang rupiah akan sangat mengikuti perekonomian internasioal, Selma ini acuan dari mata uang negraa yang sedang berkembang menggunakan mata uang dollar AS. Beberapa taun terakhir ketika perekonomian Indonesia mengalami banyak perubahan, dapat dikatakan perekonomian indoensia kadang semakin membaik dan kadang pula makin lama menurun. Pelemahan perekonomin ini juga berdampak pada nilai mata uang rupiah yag semakin melemah.
Penguatan nilai mata uang rupiah terjadi apabila kondisi fundamental ekonomi kuat, antara lain pertumbuhan ekonomi sehat dan defiisit transaksi berjalan tidak terlalu bengkak.  Pelaku pasar meminta pemerintah. Posisi kurs rupiah yang sedang mengalami perlemahan, sejalan dengan sentiment global hampir dialami seluruh mata uang negara yag sedang berkembang. Untuk itu, pemerintah perlu membutuhkan dan merumuskan kebijakan yang “ prudent “ seagai antisipasi melemahnya nili mata uang rupiah.
Hal ini juga membuat para pelaku pasar penunjang perekonomian meminta pemerintah memperaiki fundamental perekonomian untuk mengembalikan keprecayaan pasar. Semakin lama perekonomian ini menuju yang lebih sehat, tidak ada seorang pun menyangka ahwa kurs rupiah bisa mencapai level Rp 12.900,00 per dolar AS pada awal desember tahun 2014, hingga saat ini terakhir nilai kurs rupiah yaitu Rp 13.778,- er dollar AS pada januari 2016. Dihitung dari awal 2014 hingga Desember 2014, kurs rupiah “hanya” terdepresasi sekitar 1,7%. Depresiasi rupiah sepanjang tahun 2014 memang terkesan kecil lantaran basis kurs rupiah di awal tahun sudah di kisaran Rp 12.010 per dolar AS. Berkembangnya nilai mata uang  rupiah ini membuat pereonomian Indonesia tidak pernah stabil.
Belum hilang dari ingatan kita ketika pemerintah menempuh kebijakan tidak populer dengan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi pada 18 Nopember 2014 silam, kini giliran pelemahan rupiah yang tajam harus dihadapi masyarakat dan dunia usaha. Pelemahan mata uang memang tidk hanya dialami rupiah saja, tetapi juga hampir seluruh mata uang regional Asia Pasifik. Penyebab dari pelemahan ini adalah penguatan dollar AS menyusul pulihnya perekonomian yang berada di Amerika Serikat yang akal dikikuti oleh normalisasi kebijakan The Fed pada pertengahn tahun 2015. Pelemahan nilai mata uang negara – negara lain ini seiring dengan melemahnya harga minyak dunia. Pelemahan mata uang dunia memang tidak bisa dilepaskan dari kebijakan moneter yang dilakukan
The Federal Reserve AS. Ketika krisis moneter melanda negeri itu pada 2008, dikenal dengan krisis subprime mortgage, pemerintahan George W. Bush waktu itu mengeluarkan kebijakan yang disebut Troubled Asset Relief Program (TARF). Tidak tanggung-tanggung, pemerintah AS menyiapkan dana hingga 700 miliar dolar AS untuk mengambil alih aset-aset yang bermasalah. Dana yang akhirnya dikucurkan tercatat 475 miliar dolar AS. Ternyata dana yang “disuntikkan” melalui perbankan itu tidak semuanya dipakai untuk mengambil alih aset bermasalah di AS. Sebagian melimpah ke pasar modal dan pasar uang di seluruh dunia, termasuk emerging economies. Itulah yang kemudian dikenal sebagai quantitative easing.( antarnews.com)
Sebagai negara berkembang yang atraktif, Indonesia pun menikmati masuknya uang panas (hot money) itu. Pasar modal lokal kebanjiran dana jangka pendek karena mampu memberi imbalan yang tinggi. Beberapa tahun terakhir ini Bursa Efek Indonesia (BEI) mampu menjadi salah satu pasar modal yang paling menarik di Asia Pasifik. Keadaan ini mengharapkan semua pihakdi tuntut untuk pandai – pandai membaca sutuasi dan kecenderugan yang akan terjadi kedepan. Dengan kecenderungan ini semua negara yang berkembang dapat menganstispasi dengan mengeluarkan kebijakn – kebijakan sesuai keadaan perekonomian yang terjadi.
Melemahnya  nilai mata uang rupiah utamanya berassal dari faktor eksternal, namun bukan berarti perekonomian nasional bakal aman-aman saja. Efek berantai dikhawatirkan akan timbul dan bisa memperlemah ekonomi Indonesia. Salah satu yang membuat posisi Indonesia rawan ialah besarnya nilai utang luar negeri (ULN) swasta dalam bentuk valuta asing yang melampaui ULN pemerintah dan Bank Indonesia (BI).
Upaya BI dan pemerintah melalui kebijakan moneter dan fiskal direspon positif pelaku pasar. Ini tampak dari keseriusan pemerintah untuk memberi perhatian terhadap depresiasi rupiah. Tetapi dengan fundamental ekonomi dan perbaikan ruang fiskal yang berjelanjutan, diharapkan pelemahan rupiah tidak berjalan lama. Sebagai otoritas moneter, BI telah membeli surat berharga negara (SBN) senilai Rp1,7 triliun untuk meredam gejolak rupiah di pasar keuangan. Selain itu, bank sentral juga menambah intensitas intervensi di pasar valuta asing secara terukur. Dengan dua jurus penyelamat tadi, BI berharap pelemahan rupiah cepat ditangkal dan berbalik ke posisi fundamentalnya. Namun, langkah baik  menjaga rupiah ke depan  dengan penguatan fundamental ekonomi, yaitu dengan cara menggenjor ekspor manufaktur (nonmigas) dan mengembangkan industri nasional.
Pelemahan nilai tukar rupiah jangan hanya dilihat sebagai masalah, tetapi juga kesempatan. Ini merupakan kesempatan untuk melakukan substitusi impor dan sekaligus mendorong ekspor nonmigas. Pelemahan nilai tukar rupiah membuat produk nasional seharusnya menjadi lebih kompetitif di pasar global.


0 komentar:

Posting Komentar