KEBIJAKAN MAKROPRUDENSIAL DAN KEBIJAKAN MONETER

KEBIJAKAN MAKROPRUDENSIAL DAN KEBIJAKAN MONETER

Oleh : Eka Wahyu Utami

Fakultas Ekonomi, Universitas Jember

Kestabilan harga dan kestabilan keuangan adalah suatu komponen yang sangat penting bagi perekonomian suatu negara. Ini dikerakenakan ketidakstabilan harga akan menyebabkan ketidakpastian dan membuat masyarakat bingung untuk mengkonsumsi atau akan berinvestasi. Kestabilan harga digambarkan oleh keadaan tinggi rendahnya sebuah inflasi. Seperti yang kita ketahui bahwa ketika inflasi itu tinggi itu berarti bahwa harga – harga akan menjadi relatif lebih mahal. Sehingga kemampuan masyarakat untuk membeli sebuah bahan pangan atau lainnya menjadi menurun dan ini akan menyebabkan perekonomian melambat. Selain itu dampak yang diakibatkan oleh naiknya inflasi ini akan menyebabkan kesenjangan yang sangat jauh, dimana orang miskin akan jadi bertambah miskin. Ini dikarenakan mereka tidak mampu untuk membeli segala sesuatu yang mereka butuhkan sebagai akibat dari tingginya harga – harga di masyarakat.  Begitupula sebaliknya, ketika inflasi itu rendah artinya adalah harga – harga yang beredar di masyarakat murah. Sehingga peredaran uang menjadi lebih sedikit. Fluktuasi dari kenaikan dan penurunan dari inflasi ini berarti harga – harga yang beredar di suatu negara mengalami ketidakstabilan. Dan itu akan berdampak negatif terhadap kondisi perekonomian ke depannya. Untuk itu, pemerintah telah mengupayakan berbagai cara untuk mengatasi adanya resiko yang nantinya diakibatkan oleh ketidakstabilan harga.

Kestabilan keuangan juga demikian, tinggi rendahnya fluktuasi yang diakibatkan oleh sistem keuangan akan berdampak pada fluktuasi kestabilan harga. Kestabilan keuangan lebih mengacu pada sistem perbankan. Menyangkut bagaimana kelancaran penyaluran dana yang dilakukan oleh perbankan. Perbankan sendiri berfungsi sebagai mediasi tempat pengalokasian dana dari orang – orang yang kelebihan dana dengan orang – orang yang kekurangan dana. Akan tetapi proses penyaluran yang diberikan perbankan ini tidak semena – mena adanya, ada aturan – aturan tertentu serta diawasai oleh otoritas lembaga keuangan yang telah di bentuk oleh pemerintah. Hal ini bertujuan agar sistem keuangan benar – benar terjaga kestabilannya. Misalkan saja demikian, ketika perbankan memberikan kredit sesukanya kepada kreditur dan memberikan bunga diluar batas ketentuan maka akan mengakibatkan peningkatan peredaran keuangan yang nantinya berdampak pada peningkatan inflasi dan menyebabkan perlambatan ekonomi. Sebaliknya pun demikian, ketika perbankan mempersulit para kreditur untuk meminjam dana dari bank, serta dana yang diberikan terlalu tinggi juga akan menyebabkan penurunan tingkat inflasi yang nantinya akan menyebabkan membuat para investor menjadi lesu.

Semuanya berawal dari sistem keuangan, apabila sistem keuangan relatif stabil maka inflasi pun akan dapat di kendalikan. Sehingga, proses sistem keuangan perlu diperhatikan agar tetap terjaga kestabilannya. Pada intinya kestabilan keuangan, akan berdampak pada kestabilan harga pula nantinya. Pemerintah telah menetapkan beberapa kebijakan untuk tetap menjaga kedua komponen ini yakni kestabilan harga dan kestabilan keuangan. Dimana pemerintah telah menetapkan adanya kebijakan moneter yang telah ada sejak dahulu dan kebijakan makroprudensial sejak tahun 2010. Dimana kedua kebijakan tersebut memiliki tujuan dan tugas yang berbeda – beda. Pada kebijakan moneter, ia lebih fokus pada menjaga kestabilan harga seperti penetapan inflasi. Pada kebijakan makroprudensial, ia fokus pada menjaga kestabilan keuangan seperti pengawasan terhadap sistem perbankan. Kebijakan moneter serta kebijakan makroprudential ini memiliki tujuan akhir yang sama , yakni mencapai pertumbuhan ekonomi yang telah ditentukan serta kesejahteraan masyarakat tentunya. Akan tetapi tujuan utama atau sasarannya berbeda – beda.

Kebijakan moneter yang telah kita ketahui adalah sebuah kebijakan yang telah ada sejak dahulu dan mengatur bagaimana kestabilan harga itu berjalan dengan baik. Menurut Bramantyo ( 2006 ) kebijakan moneter merupakan tindakan pemerintah dalam rangka mencapai tujuan pengelolaan ekonomi makro ( output, harga, dan pengangguran ) dengan cara mempengaruhi siuasi makro melalui pasar uang atau dengan kata lain melalui proses pencipataan uang atau jumlah uang yang beredar. Pada kebijakan moneter, Bank Indonesia memiliki hak penuh untuk mengendalikan seluruh peraturan demi kondisi perekonomian sebuah negara. Kebijakan moneter lebih fokus pada penciptaan uang serta berhak mengendalikan jumlah uang beredar melalui tingkat suku bunga acuan atau BI Rate.

Kebijakan moneter memiliki tujuan yakni untuk menjaga kestabilan harga – harga barang dan jasa yang biasanya ditunjukkan oleh angka pada inflasi. Sehingga pada intinya pada kebijakan moneter ini sasaran yang utama untuk dicapai adalah tinggi rendahnya tingkat inflasi. Cara yang dilakukan agar mencapai kestabilan harga barang – barang atau tingkat inflasi adalah dengan menggunakan sasaran – sasaran yang telah ditetapkan seperti jumlah uang beredar ( JUB ) atau dengan tingkat suku bunga. Untuk mencapai tujuan akhir dan bisa sesuai sasaran, dalam kebijakan moneter juga harus memiliki instrumen agar kebijakan ini dapat berjalan dengan baik. Adapun instrumen – instrumen tersebut ada 4 menurut Bank Indonesia yaitu melalui operasi pasar terbuka, penetapan tingkat diskonto, menetapkan cadangan wajib minimum (GWM) , dan pengaturan kredit dan pembiayaan.

Operasi pasar terbuka sebagai instrumen dari kebijakan moneter yaitu sebuah kegiatan yang dilakukan oleh Bank Sentral dimana BI melakukan penjualan atau pembelian surat – surat berharga demi mengatur jumlah uang yang beredar atau mengatur tingkat suku bunga akan tetapi hanya dalam jangka pendek saja. Penetapan diskonto sebagai instrumen kedua dari kebijakan moneter yaitu melalui pemberian ketentuan dalam mengatur tingkat suku bunga kredit yang nantinya akan diberikan kepada bank – bank. Instrumen ketiga adalah penetapan cadangan wajib minimun (GWM) dimana Bank Indonesia berhak mengatur besar kecilnya jumlah cadangan wajib minimum yang nantinya harus dipenuhi oleh bank – bank komersial. Seperti misalnya kondisi perekonomian Indonesia mengalami inflasi, maka Bank Indonesia berhak meningkatkan jumlah cadangan wajib minimun demi mengurangi jumlah uang yang diberikan oleh bank – bank komersial kepada kreditur. Instrumen yang terakhir yaitu adalah pengaturan kredit dan pembiayaan dimana Bank Indonesia berhak mengatur jumlah kredit serta pembiayaan demi kelancaran perekonomian serta menjaga kestabilan harga.

Selain kebijakan moneter yang bertujuan untuk menjaga kestabilan harga, kestabilan keuangan juga perlu diperhatikan. Kebijakan yang digunakan untuk mengatur serta mengawasi kestabilan keuangan tersebut adalah kebijakan makroprudensial. Dimana kebijakan makroprudensial ini adalah sebuah kebijakan yang dilakukan untuk membantu kebijakan moneter dalam pencapaian kestabilan harga melalui kontrol kestabilan keuangan yang ada di perbankan. Sehingga sudah terlihat perbedaannya bahwa, kebijakan moneter lebih kepada pengaturan seluruh bagian keuangan sedangkan kebijakan makroprudensial lebih kepada pengawasan serta kontrol kredit terhadap perbankan lain atau bank – bank konvensional.

Pada awalnya kebijakan makroprudensial ini masih baru diterapkan di Indonesia yakni pada tahun 2010. Kebijakan makroprudensial ini dilakukan karena kekhawatiran pemerintah terhadap perekonomian akibat krisis yang dialami oleh Amerika Serikat pada tahun 2008. Seperti yang kita ketahui bahwa Krisis ekonomi di Amerika Serikat terjadi akibat longgarnya kebijakan moneter yang menyebabkan seluruh perbankan merasa terlena dengan tingkat suku bunga yang diberikan cukup rendah pada saat itu. Hal ini dibarengi dengan pemberian suku bunga rendah pada kredit perumahan saat itu. Penduduk Amerika Serikat rata – rata adalah orang – orang yang sangat antusias terhadap properti terutama perumahan dan mereka menjadi orang yang konsumtif pada saat itu. Banyak sekali penduduk Amerika Serikat yang mengambil kesempatan tersebut. Awalnya hal ini direspon sangat positif oleh seluruh negara didunia akan tetapi Amerika Serikat tidak tahu bahwa hal itu justru akan membawa keterpurukan ekonomi. Benar saja, orang – orang yang mengambil kredit rumah adalah mereka yang berada diluar batas pendapatannya. Mereka hidup dalam hutang. Akibatnya banyak bank – bank atau lembaga keuangan yang terlibat kehilangan modal mereka dan terpaksa harus bangkrut. Hal ini menyebabkan perusahaan finansial yang ada di Amerika menjadi lemah dan bangkrut. Peristiwa ini berdampak pada melemahnya Wall Street sebagai bursa efek Amerika Serikat. Para investor takut kehilangan dananya dan harus mencabut nya dari Amerika Serikat. Selain berdampak pada bursa saham Amerika, hal ini juga berdampak pada sektor riil lainnya. Inilah awal mula mengapa kebijakan makroprudensial ini diberlakukan di Indonesia.

Indonesia berkaca pada kondisi krisis yang dialami oleh Amerika Serikat pada tahun 2008, pemerintah melakukan upaya – upaya untuk mencegah terjadinya hal – hal yang tidak dinginkan seperti resiko sistemik yng dialami oleh Amerika Serikat. Menurut IMF, FSB, dan BIS , risiko sistemik adalah resiko dari gangguan jasa keuangan yang disebabkan oleh tidak berfungsinya semua atau sebagian dari sistem keuangan yang mempunyai potensi dampak negatif terhadap perekonomian. Maka dari itu di bentuklah sebuah kebijakan makroprudensial yang digunakan untuk mengawasi kredit yang diberikan untuk masyarakat demi mendorong atau mendukung kebijakan moneter yang telah ada sebelumnya.

Sama seperti kebijakan moneter, kebijakan makroprudensial juga memiliki instrumen – instrumen demi mencapai target kestabilan keuangan. Instrumen – instrumen kebijakan makroprudensial ada tiga, yakni untuk mengatasi masalah kredit, likuiditas, dan modal. Pada masalah kredit terdapat intrumen yang dapat dilakukan yakni ada LTV ( Loan to Value ), DTI (debt to income ) , foreign currency lending serta ceilings on credit or credit growth. Kemudian pada masalah likuiditas terdapat instrumen yang dapat dilakukan yakni Limits on net open currency positions / currency mismatch ( NOP ), Limits on maturity mismatch serta reserve requirements. Pada Modal terdapat instrumen countercyclical / time – varying capital requirements, time varying / dynamic provisioning serta restrictions on profit distribution.

Indonesia adalah salah satu negara yang menerapkan kebijakan makroprudensial ini. Hal ini dilakukan sebagai respon terhadap krisis Amerika Serikat pada tahun 2008. Indonesia berkaca pada kondisi tersebut. Walaupun Indonesia tidak terkena dampak secara berlebihan, dan menurut ekonom Indonesia bahwa apabila ada krisis yang akan di alami oleh Amerika Serikat lagi, Indonesia tidak akan tekerna dampaknya namum Indonesia tetap berjaga – jaga untuk meminimalisir adanya resiko sistemik. Selain itu, adanya kebijakan makroprudensial, kondisi keuangan Indonesia akan menjadi lebih stabil dan kredit akan terkontrol. Dari beberapa instrumen tersebut, Indonesia tidak menerapkan seluruhnya, hanya lima instrumen yang diterapkan di Indonesia diantaranya yaitu net LTV ( Loan to Value ), NOP ( Net Open Position ), GWM (Giro Wajib Minimum ), GWM LDR ( Loan to Deposit Ratio ) dan month holding period.

Instrumen LTV ( Loan to Value ) dalam kebijakan makroprudensial memiliki beberapa tujuan yang akan di capai yakni pertama adalah mengendalikan serta mengontrol jumlah kredit properti ataupun kendaraan bermotor serta mengendalikan kredit ketika pada kondisi boom. Kedua mengurangi resiko kegagalan ketika harga – harga pada properti atau kendaraan bermotor turun menurun. Ketiga adalah mengurangi kerugian yang kemungkinan akan muncul ketika mengalami kegagalan. Fungsi dari LTV sendiri adalah sebagai respon yang diakibatkan oleh krisis di Indonesia. Selain mengendalikan jumlah kredit properti atau kendaraan bermotor, LTV juga berfungsi sebagai pendukung kebijakan moneter. Berbagai negara telah menerapkan instrumen ini, baik negara maju maupun negara berkembang. Akan tetapi, pada negara berkembang lebih banyak diterapkan. Ada kemungkinan dikarenakan masyarakat nya lebih suka melakukan kredit dalam properti atau kendaraan bermotor.

Net Open Position ( NOP ) adalah salah satu instrumen yang berhubungan dengan pengaturan nilai tukar. Salah satu tugas dari kebijakan makroprudensial adalah dengan mengontrol capital inflow, dimana ketika capital inflow masuk ke Indonesia maka akan otomatis meningkatkan permintaan agregat buruknya, inflasi juga berhubungan positif  disitu. Apabila permintaan agregat meningkat akan meningkatkan tingkat inflasi juga. Dan selain itu, kredit di Indonesia juga akan tumbuh. Tumbuhnya kredit ini nantinya akan menyebabkan tingginya harga aset yang nantinya berdampak pada kerentanan keuangan. Peningkatan harga aset ini nantinya akan menaikkan tingkat suku bunga. Dengan meningkatnya suku bunga, justru akan menambah capital inflow. Positifnya modal asing yang masuk nantinya akan menambah kepercayaan pasar karena investor optimis terhadap kondisi perekonomian Indonesia. Negatifnya adalah ketika modal asing yang masuk terlalu berlebihan maka akan menyebabkan apresiasi terhadap nilai tukar. Dengan masuknya modal asing ini juga akan menyebabkan harga aset mengalami peningkatan dan khawatir akan menyebabkan resiko krisis. Hal ini akan dikontrol dengan adanya instrumen Net Open Position ( NOP ). Adanya NOP ini adalah untuk mengontrol serta mengendalikan aliran modal asing yang masuk dalam jangka pendek yang selalu berfluktuatif. Selain itu adanya NOP ini juga membatasi adanya objek yang rentan terhadap krisis ( eksposur ) bank terhadap nilai tukar akibat masuknya modal asing.

GWM ( Giro Wajib Minimun ) adalah sebuah instrumen dari kebijakan makroprudensial yang dikeluarkan oleh bank sentral Indonesia. Dimana pada kebijakan ini bank sentral berhak mengatur tinggi rendahnya jumlah GWM.GWM sendiri adalah sebuah iuran wajib yang harus dimiliki oleh bank – bank konvensional yang nantinya harus diberikan pada bank sentral. Besar kecilnya GWM ini diatur oleh Bank Sentral tergantung kondisi perekonomian saat itu. Seperti misalnya, kondisi perekonomian Indonesia sedang mengalami inflasi artinya adalah peredaran uang yang terlalu tinggi di masyarakat. Maka Bank Sentral akan meningkatkan jumlah GWM untuk mengurangi jumlah uang beredar di masyarakat sehingga bank konvesional memiliki stok modal sedikit sehingga bunga yang digunakan akan meningkat. 

GWM LDR juga memiliki fungsi yang hampir sama dengan GWM , akan tetapi GWM LDR lebih kepada model perhitungannya. Perhitungan GWM menggunakan perhitungan LDR atau Loan to Deposit Ratio. Adanya LDR atau Loan to Deposit Ratio ini adalah untuk mengumpulkan likuiditas serta bertujuan untuk mendorong tingkat level LDR ke arah yang lebih optimal.

            Adanya MHP atau month holding period ini adalah sebagai pengelola seluruh aliran modal yang masuk akan tetapi hanya pada jangka pendek saja. Aliran yang masuk ini akan tetapi dalam motif spekulasi dan dapat diambil sewaktu – waktu. Inilah yang fungsi dari MHP sebagai instrumen kebijakan makroprudensial untuk mengurangi resiko yang ditimbulkan demi menjaga stabilitas moneter dan menjaga stabilitas keuangan.

Kebijakan moneter dan kebijakan makroprudensial adalah sebuah kebijakan yang sangat berpengaruh satu sama lain, maksudnya adalah kebijakan makroprudensial memiliki tujuan yang nantinya berpengaruh terhadap kebijakan moneter. Kebijakan makroprudensial dibuat untuk mendukung kebijakan moneter. Keduanya memiliki tujuan yang sama akan tetapi instrumen atau langkanya berbeda. Menurut Unsal  ( 2011 ) penggunaan instrumen makroprudensial dapat bermanfaat jika digunakan secara komplemen dengan kebijakan moneter dalam kestabilan ekonomi setelah beberapa periode terjadinya goncangan. Dalam skenario suatu kebijakan makroprudensial diterapkan secara terpisah sementara kebijakan moneter ( suku bunga ) tidak berubah, output dan inflasi ternyata bergerak secara volatile dan welfare loss yang terjadi lebih besar. Pada intinya kebijakan moneter dan kebijakan makroprudensial ini tidak dilakukan secara bersamaan akan dilakukan secara terpisah dengan menggunakan instrumennya masing – masing.

Menurut beberapa penelitian, sejauh ini kebijakan makroprudensial yang diterapkan oleh Bank Indonesia efektif. Kondisi perekonomian memiliki respon positif setelah diberlakukannya kebijakan makroprudensial ini. Seperti volatilitas nilai tukar yang menurun karena adanya NOP, adanya LTV juga mampu menurunkan laju permintaan kredit, GWM juga mampu menurunkan likuidias perbankan sedangkan kondisi aliran modal masuk sangat deras pada saat itu.

Baik buruknya suatu kondisi perekonomian dapat diatasi melalui kebijakan – kebijakan yang diterapkan oleh Bank Sentral dan pemerintah Indonesia. Seperti yang dijelaskan pada artikel ini, yaitu kebijakan moneter dan kebijakan makroprudensial. Kedua kebijakan ini memiliki tujuan utama yang berbeda walaupun nantinya adalah memiliki tujuan akhir yang sama. Kedua kebijakan ini memiliki instrumen – instrumen yang berbeda untuk mencapai tujuan utama yang nantinya mengarah pada tujuan akhir yang sama. Walaupun tujuan akhir yang sama, akan tetapi kedua kebijakan ini tidak bisa dijalankan secara bersamaan.  Mereka memiliki ruang – ruang yang berbeda dalam instrumennya.

 Kesimpulannya adalah Kebijakan moneter diberlakukan demi mencapai kestabilan harga yang dicerminkan oleh tingkat inflasi dengan melakukan berbagai instrumen seperti penetapan BI Rate yang ditentukan oleh Bank Sentral tergantung kondisi perekonomian pada saat itu. Sedangkan   Kebijakan makroprudensial sendiri sengaja diterapkan untuk mendukung kebijakan moneter. Dimana kebijakan makroprudendial ini mengatur lebih khusus lagi daripada kebijakan moneter. Kebijakan makroprudensial lebih dihususkan pada lembaga keuangan yang nantinya akan bertujuan untuk mencapai kestabilan keuangan. Instrumen – instrumen yang dilakukan adalah seperti yang telah dijelaskan sebelumnya yaitu seperti LTV yang diterapkan untuk mengatur jumlah kredit di perbankan, NOP yang digunakan untuk mengatur aliran modal berkaitan dengan nilai tukar, GWM primer serta GWM LDR yang bertujuan untuk mengatur jumlah likuiditas perbankan, dan MHP yang bertujuan untuk mengatur serta mengurangi resiko aliran modal asing yang masuk dalam jangka pendek.

Kedua kebijakan ini saling berhubungan satu sama lain, dan keberadaan kedua kebijakan ini oleh bank sentral pasti telah difikirkan matang – matang demi tujuan untuk mengurangi resiko yang diakibatkan oleh kondisi keuangan yang mengarah pada krisis. Memang pada dasarnya tujuan yang dicapai oleh semua negara adalah sama yakni menjaga harga tetap stabil serta menjaga keuangan juga tetap pada kestabilannya. Karena apabila dua komponen itu terganggu, maka akibatnya adalah akan membawa masalah pada sektor – sektor atau komponen ekonomi lainnya.

Categories: Eka Wahyu Utami