Pemeliharaan Stabilitas Sistem
Keuangan Indonesia melalu Kebijakan Makroprudensial Bank Indonesia (BI)
Semenjak terjadi krisis Subrpime mortage tahun 2008 di Amerika
Serikat, yang menyatakan bahwa rendahnya tingkat suku bunga Federal Reserves (The Fed) yang menjadi
awal terjadinya bubble properti,
jumlah hutang yang tinggi di sektor swasta, dan tingkat kertegantungan yang
tinggi mengenai pembiayaan jangka pendek yang berakhir akhirnya terjadilah
krisis Subrpime mortage di tahun
2008. Dampak yang dirasakan dari krisis keuangan ini berimbas ke seluruh dunia.
Akhirnya pemerintah Indonesia khawatir, dan akhirnya DPR (Dewan Perwakilan
Rakyat) membentuk lembaga Otoritasi Jasa Keuangan yang mirip seperti Financial
Service Authority di Inggris yang tercermin dalam UU no 21 tahun 2011. Dalam
hal ini tugas pengaturan dan pengawasan terhadap seluruh lembaga keuangan
perbankan, yang meliputi kelembagaan, kesehatan, kehati-hatian, dan pemeriksaan
bank, akan diahlikan dari Bank Indonesia ke Otorisasi Jasa Keuangan. Sementara
ini Bank Indonesia tetap memiliki tugas dalam mengatur perbankan terkait aspek
kebijakan makroprudensial. Sesuai dengan UU no 23 tahun 1999 yang berisi
mengenai Bank Indonesia, peranan Bank Indonesia disini adalah sebagai Bank
Sentral yang bertugas untuk melakukan intrument kebijakan moneter, dan menjaga
kelancaran sistem pembayaran, dan melalukan pengawasan Bank Umum yang ada di
Indonesia.
Mulai saat UU
diterbitkan, maka semenjak itu Berkordinasi menjadi suatu hal wajib bagi Bank
Indoensia. Bank Indonesia tetap memiliki peran sebagai regulator operator,
maupun fasilitator di bidang sistem pembayaran, termasuk perlindungan konsumen
jasa sistem pembayaran. Dengan begitu, kordinasi antara Bank Indonesia dan Otorisasi
Jasa Keuangan di sistem pembayaran yang dilaksanakan oleh bank menajdi hal yang
wajib untuk dilakukan.
Menurut Yellen (2014),
Kebijakan moneter pada saat itu merupakan alat yang tidak mampu untuk mengatasi
masalah krisis Subrpime mortage pada
sektor perbankan di Amerika Serikat, kenaikan tingkat suku bunga terjadi untuk
menekan kenaikan harga rumah di Amerika Serikat. Kenaikan tingkat suku bungan
The Fed berdampak pada kenaikan cicilan hutang yang ditanggung rumah tangga
serta meningkatkan tinggan pengangguran. Hal tersebut memberikan dampak adverse effect yaitu penurunan tingkat
kemampuan rumah tangga membayar cicilan rumahnya tersebut. Pengalaman krisis
ini dapat mengajarkan bahwa risiko yang terjadi di sektor finansial (keuangan),
terutama yang terjadi diperbankan bisa dapat menyebar ke berbagai aspek.
Ternyata memang ada hubungan yang sangat erat antara makroekonomi dengan sektor
perbankan. Dengan adanya krisis ekonomi ini, maka para pemimpin negara sadar
dengan arti pentingnya Stabilitas Sistem Keuangan (SSK).
Pengertian Stabilitas
Sistem keuangan yaitu : (1) Menurut Europa Central Bank (2011) “..... suatu
kondisi dimana sistem keuangan yang
terdiri dari lembaga intermediasi pasar keuangan dan infrasturktur
pasar, tahan terhadap tekanan dan mampu mengatasi ketidakseimbangan keuangan
yang bersumber dari proses intermediasi yang mengalami gangguan secara
signifikan”. (2) Menurut Bank of England (2008) “.... suatu kondisi terpeliharanya
kepercayaan masyarakat terhadap sistem keuangan”. (3) Bank Negara Malaysia
(2011) “Stabilitas keuangan mendeskripsikan kondisi dimana prosees intermediasi
keuangan berfungsi secara smooth dan terdapat kepercayaan dalam kegiatan usaha
institusi keuangan dan pasar di dalam perekonomian”. Dalam menjaga stabilisasi
sistem keuangan ini, peran lembaga perbankan khususnya bank sentral menjadi
sangat dibutuhkan dikarenakan bank sentral yang mempunyai tugas dan fungsi
untuk menjaga stabilisasi sistem keuangan.
Menurut Bank Indonesia,
Sistem keuangan berfungsi untuk mengalokasikan dana dari pihak yang mengalami surplus
kepada pihak yang mengalami defisit (kekurangan dana). Jika, sistem keuangan
tidak stabil dan berfungsi dengan secara baik dan efisien, maka pengalokasian
dana di lembaga keuangan tidak akan berjalan dengan sempurna sehingga dapat
berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Dari tragedi krisis ekonomi yang pernah
terjadi, menyatakan bahwa jika sistem keuangan tidak stabil, maka akan
mengakibatkan terjadinya krisis ekonomi, dan memerlukan biaya yang cukup tinggi
dan besar untuk upaya penyelamatan dari krisis ekonomi tersebut.
Perlu di ingat bahwa, secara teori sistem
keuangan memiliki beberapa fungsi-fungsi pokok, yaitu yaitu fungsi
tabungan (saving function), fungsi kekayaan (wealth function), fungsi
likuiditas (liquidity function), fungsi kredit (credit function), fungsi
pembayaran (payment function), fungsi resiko (risk function), serta fungsi
kebijakan (policy function).
Melihat tragedi krisis
tersebut, para pemimpin negara yang termasuk kedalam G20 dalam pertemuan di
Seol pada tahun 2010 memustukan untuk menciptakan Financial Stability Board (FSB), International Monetary Fund (IMF), dan Bank For International
Settelemnt (BIS). Hal ini digunakan untuk menciptakan suatu kerangka kebijakan
makroprudensial yang berfungsi untuk mecegah terjadinya risiko sistematik pada
lembaga keuangan. Dengan harapan, kerangka kebijakan makroprudensial ini bisa
mencegah agar krisis keuangan (ekonomi) tidak terjadi kembali.
Di Negara Indonesia,
terjadinya krisis Subrpime mortage menimbulkan
kekhawatiran dari pemerintah, sehingga DPR (Dewan Perwakilan Rakyat)
mengusulkan untuk membentuk lembaga keuangan yang disebutkan dalam
Undang-Undang No. 21/2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan yang mirip dengan Financial Service Authority di Inggris.
Melalui UU tersebut, Otorisasi Jasa Keuangan mempunyai tugas untuk melakukan
fungsi pengawasan terhadap perbankan di Indonesia, yaitu mengenai tingkat
kesehatannya, tata kelola perbankan, manajemen risiko, dan pemeriksaan Bank
menjadi semua wewenang untuk lembaga Otorisasi Jasa Keuangan. Peran Bank
Indonesia disini adalah untuk menjalankan kebijakan makroprudensial dan peran
lembaga Otorisasi Jasa Keuangan adalah kebijakan mikroprudensial.
Dalam hal ini, Kebijakan
mikroprudensial lebih berfokus pada kesehatan lembaga keuangan secara
individual. Sedangkan kebijakan makroprudensil lebih berfokus kepada harga
barang dan jasa secara agregat (menyeluruh) dengan tetap mempertimbangkan demand dan supply. Kebijakan makroprudensial juga berfokus pada menjaga
kestabilan sistem keuangan dengan cara mengestimasi risiko estemik sistem keuangan.
Menurut Bank Indonesia,
Definisi Kebijakan Makroprudensial memiliki beberapa pengertian yaitu : (1)
Versi IMF (2011) : kebijakan makroprudensial adalah kebijakan yang memiliki
tujuan utama untuk memelihara kestabilan sistem keuangan secara keseluruhan
memlaui pembatasan peningkatan risiko sistemik. (2) Versi BIS (2011) :
Kebijakan makroprudensial adalah kebijakan yang ditunjukan untuk membatasi
risiko dan biaya krisis sistemik. (3). Versi Bank Of England : Kebijakan
makroprudensial adalah kebijakan yang ditunjukan untuk memelihara kestabilan
intermeiasi keuangan (misalnya jasa-jasa pembayaran, intermediasi redit dan
penjaminan atas risiko) terhadap perekonomian. (4) Versi Working Group G-30 :
Kebijakan makroprudensial adalah kebijakan yang ditunjukan untuk meningkatkan
ketahanan sistem keuangan dan untuk memitigasi risiko sistemik yang timbul
akibat keterkaitan antar institusi dan kecenderungan institusi keuangan untuk
mengikuti siklus ekonomi (procylical)
sehingga memperbesar risiko sistemik.
Desain dan
Implementasi Kebijakan Makroprudensial di Indonesia memiliki beberan ruang
lingkup yaitu : Tujuan kebijakan Makroprudensial disini yaitu untuk
mengestimasi risiko sistemik yang terjadi. Dalam ruang lingkup untu tetap fokus
pada sistem keuangan secara makro (keseluruhan) yang termasuk kepada
berinteraksi dengan sektrol rill (perbankan). Instrument yang digunakan yaitu prudential tools. Kebijakan
Makroprudensial juga memiliki interaksi dengan kebijakan lainnya seperti
kebijakan moneter dan kebijakan mikroprudensial. Dimensi yang digunakan yaitu
time series (dimesi waktu) adalah procylicality
yaitu bagaimana risiko dalam sistem keuangan dapat berevolusi sepanjang waktu,
yang termasuk evolusi dengan sektor ekonomi. Sedangkan Cross Section (dimensi
ruang) adalah bagaimana risiko terdistribusi dalam sistem keuangan pada satu
periode tertentu yang disebabkan oleh kesamaan eksposur atau interlink dalam
sistem keuangan.
Di Indonesia, ketika
terjadi risiko intabilitas sistem keuangan yang berasal dari tekanan tingkat
inflasi dan fluktuasi nilai tukar rupiah, maka kebijakan makroprudensial yang
digunakan oleh Bank Indonesia akan selalu mencerminkan kepada cara untuk
menyelesaikan kedua masalah tersebut, sebagai contoh waktu tahun 2015 kemarin
saat nilai tukar rupiah mengalami depresi mencapai Rp. 13.800 maka pemerintah
mengambil kebijakan untuk menaikan suku bunga BIRate. Ketika tingkat suku bunga
BiRate meningkat, maka secara alamiah akan meningkatkan pula bunga kredit di
perbankan, yang dampaknya bisa kita lihat yaitu permintaan kredit akan
melambat. Bank Indonesia sengaja mengambil keputusna kebijaan ini untuk menjaga
tingkat pertumbuhan kredit konsumsi yang didukung oleh kredit perumahan (property) dan kredit kendaraan bermotor.
Bank Indonesia menginginkan agar pertumbuhan tidak boleh terlalu cepat karena
dapat mengancam stabilitas jika mendadak terjadi krisis keuangan kembali.
Karena disini, tujuan utama kebijakan makroprudensial adalah untuk mencegah
terjadinya guncangan terhadap stabilitas ekonomi. Sehingga semua kebijakan
diarahkan untuk mencermati risiko sistemik di sektor keuangan.
Menurut Dwi Wulan dan
Dedi Rahman (2013), kebijakan ekonomi makroprudensial memiliki beberapa
ciri-ciri dalam menjaga Stabilitas Sistem Keuangan, yaitu : (1) penyaluran
kredit perbankan ke sektor yang tepat dan mendatangkan profi yang menjanjikan
bagi perbankan, (2) kebijan ini memperhatikan faktor politik, hkum, dan sosial
yang ikut dipengaruhi oleh sektor kebijakan ekonomi melalui naik atau turunnya
suku SBI, (3) Berorientasi kepada stabilitas keuangan yang merata di sektor
pemerintah, perbabnkan, dan masyarakat pengguna jasa keuangan, (4) Bersifat countercylical yang akan bersinergi
dengan tujuan kebijakan moneter dalam mengurangi flutuasi perekonomian,
Kebijakan makroprudensial untuk memperketat persyaratan modal dan likuiditas di
saat perekonomian sedang melaju tinggi (periode up swing) akan mendorong bank untuk mengurangi pertumbuhan kredit
sehingga menjaga daya tahan bank kedepan di saat perekonomian memburuk. (5)
Dimensi time-series, yaitu kebijakan
makroprudensial ditunjukan untuk menekan risiko terjadinya prosuklikalitas yang berlebihan dalam sistem keuangan.
Menurut Bank Indonesia
(BI) (2014) Implementasi Kebijakan Makroprudensial untuk menjaga stabilisasi
sistem keuangan dilakukan dengan beberapa cara yaitu :
1.
Loan
To Value (LTV) untuk KPR dan Down Payment (DP) KKB
Menurut
SE BI No. 14/10/DPNP tanggal 15 maret 2012 untuk bank konvesional dan SE No
15/33/Dpbs tanggal 27 November 2012 untuk bank umum syariah. Kalibrasi ulang
dengan SE BI No. 15/40/DKMP tanggal 24 September 2013. Dengan tujuan untuk
meredam risiko sistemik yang timbul akibat pertumbuhan KPR yang pada saat itu
mencapai lebih dari 40%, serta tingkat kegagalan nasabah KKB untuk memenuhi
kewajiban yang pada saat itu mencapai hampir 10%. Pertumbuhan KPR yang terlalu
tinggi dapat mendorong peningkatan harga asset property yang tidak mencerminkan
harga sebenarnya (bubble),
sehingga dapat meningkatkan risiko kredit bagi bank-bank dengan eksposur kredit
properti yang benar. Dengan pokok ketentuan LTV progresif untuk KPR dan 20%-30%
untuk KKB.
2.
Giro Wajib Minimum (GWM) berdasarkan Loan to Deposito Ratio (LDR)
Menurut PBI
No. 12/19/PBI/2010 tanggal 4 Oktober 2010 dirubah dengan PBI No. 15/7/PBI/2013
tanggal 26 September 2013, dan SE BI No. 15/41/DKMP tanggal 1 Oktober 2013.
Dengan tujuan untuk meningkatkan ketahanan sektor perbankan dalam menghadapi
berbagai resiko, khususnya terkait dengan risiko kredit dan likuiditas. Pokok
ketentuan disini yaitu : Bank wajib memelihara tambahan GWM rupiah (selain GWM
primer dan GWM sekunder yang besarnya ditentukan berdasarkan persentase dari
total DPK rupiah bank) yang nilainya ditentukan berdasarkan angka LDR bank.
Apabila angka LDR dalam kisaran target LDR yakni 78%-92%, maka besarnya GWM LDR
bank adalah 0%. Apabila LDR bak < 78% maka besarnya GWM LDR bank adalah GWM
LDR = (78% - LDR bank) x 0,1 % (parameter disinsetif bawah). Apabila LDR bank
> 92% maka besarnya GWM LDR bank adalah GWM LDR = (LDR bank – 92%) x 0,2%,
kecuali dengan CAR > 14% maka GWM LDR bank adalah 0%.
3.
Transparasi Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK)
Menurut SE
BI No. 13/5/DPNP tanggal 8 Pebruari 2011, diuabh dengan SE BI No. 5/1/DPNP tanggal 15 Januari 2013. Dengan
memiliki tujuan yakni : mitigasi risiko kredit melalui persaingan yang sehat
pada industri perbankan, meningkatkan good governance dan kompetisi melalui
market discipline yang lebih baik, mendorong bank untuk menciptakan formulasi
suku bunga kredit yang efisien dan akurat. Dengan pokok ketentuan disini yaitu
: Bank wajib melaporkan kepada BI dan melakukan publikasi secara rutin atas
komponen SBDK untuk masing masing kredit korporasi, ritel, konsumsi (KPR dan
Non KPR) dan kredit mikro. Kmpenden SBDK yang wajib dilaporkan adalah harga
pokok dana untuk kredit (HPDK).
Dalam hal
ini, peranan Bank Indonesia dalam pemeliharaan stabilitas sistem keuangan yaitu
untuk mencipkan dan memelihara keuangan yang stabil dan tangguh. Dalah hal ini,
beberapa lembaga keuangan di Indonesia mempunyai tugas masing-masing dalam
menjaga stabilitas keuangan yaitu :
1.
Otorisasi Jasa
Keuangan (OJK)
Intrumen
yang digunakan yaitu : regulasi, sistem pengawasan dan disiplin pasar. Strategi
yang di tetapkan yaitu pengawasan lembaga dan pasar keuangan
2.
Bank Indonesia (BI)
Intrumen
yang digunakan yaitu sebagai indikator makroprudensial dan mikroprudensial dengan
strategi penguatan riset dan surveillance
sistem keuangan.
3.
Kemenkeu, BI,OJK, dan LPS
Membentuk
suatu Forum Kordinasis Stabilitas Sistem
Keuangan (FKSSK) yang dibentuk pada bulan Juni 2007 oleh Bank Indonesia.
Forum ini berfungsi untuk mengevaluasi secara sederhana atas Stabilitas Sistem
Keuangan (SSK), termasuk menetakan kondisi dalam krisis serta mengambil
keputusan kebijakan untuk mencegah dan menyelesaikan masalah krisis ekonomi.
Menurut website Bank Indonesia, Forum Kordinasis Stabilitas Sistem Keuangan
mempunyai empat (4) fungsi pokok, yaitu : (1) menunjang pelaksanaan tugas
Komite Koordinasi dalam proses pengambilan keputusan terhadap Bank Bermasalah
yang tengarai sistemik, (2) Melakukan koordinasi dan tukar menukar informasi
untuk sinkronisasi peraturan perundang-undangan dan ketentuan di bidang
perbankan, lembaga keuangan non bank, dan pasar modal; (3) Membahas berbagai
permasalah yang dihadapi oleh lembaga-lembaga yang berkecimpung dalam sistem
keuangan yang berpotensi sistemik berdasarkan informasi dan otoritas pengawas
lembaga keuangan; dan (4) Mengkoordinasikan pelaksanaan atau persiapan insiatif
tertentu di sektor keuangan.
Menurut Bank
Indonesia, Kebijakan Makroprudensial yang dijalankan oleh Bank Indonesia dalam
menjaga Stabilisasi Sistem Keuangan yaitu sebagai berikut : Jika data,
informasi dan semua riset telah dikumpulkan dari suatu kejadian yang menganggu
kestabilan sistem keuangan maka selanjutnya
1.
Memonitori sistem keuangan
Monitoring
sistem keuangan merupakan suatu cara monitoring terhadap indikator, kejadian
atau perilaku yang dapat merepresentasikan potensi risiko dalam sistem
keuangan. Monitoring ini bertujuan untuk mendeteksi dan memberikan sinyal
akumulasi imbalance dan vulnerabilities yang mungkin akan berdampak pada
sistemik.
2.
Indentifikasi dan Penilaian Risiko
Dalam hal
ini Bank Indonesia bertugas untuk motoring likuiditas secara harian, membuat
bahan RDG Mingguan dan Bilanan, melakukan kajian stabilitas keuangan,
memberikan hasil riset/kajian dari hasil dari RDG mingguan dan bulanan.
Terakhir membuat laporan pengawasan perbankan. Hal yang pertama yaitu melihat
dulu berbagai indikator yang mengancam risiko dengan menggunakan prudential
tools.
3.
Pemberian Sinyal Risiko
Pemberian
sinyal ini dapat dilakukan secara periodik serta pada saat diperlukan kepada :
(1) Internal BI dan FKSSK (otoritas keuangan lainnya) melalui, dashboard, RDG,
dan Rapat FKSSK. (2) Eksternal yaitu pasar, institusi keuangan, dan publik
(masyarakat) dengan melalui : pemerian pesar kepada pasar oleh Dewan Gubenur,
sosialisasi kebijakan dan langkah-langkah mitigasi risiko, komunikasi pers
(siaran pers atau jumpa pers), rapat dengan pihak-pihak yang terkait (asosiasi
profesi, pengusaha, pelaku pasar), dan yang terakhir publikasi dan riset.
4.
Desain dan Implementasi kebijakan
Dalam hal
ini Bank Indonesia jika telah memberikan sinyal risiko maka Bank Indonesia
menciptakan padangan bentuk kebijakan makroprudensial seperti apakah yang dapat
mengatasi ketidakstabilan sistem keuangan. Setelah menemukan maka langsung di
terapkan kebijakan makroprudensial di seluruh lembaga keuangan dan masyarakat/
5.
Evaluasi efektivitas kebijakan
Dalam hal
ini, Bank Indonesia bertugas untuk tetap mengontrol dan menjaga agar kebijakan
makroprudensial tetap berjalan sesuai dengan koridornya untuk menyelaikan
masalah stabilisasi sistem keuangan yang terjadi. Jika terjadi kesalahan atas
implementasi kebijakan makroprudensial maka Bank Indonesia bisa langsung
mencabut kebijakan tersebut dan mengantikan dengan kebijakan makroprudensial
yang dapat mengatasinya. Sehingga krisis ekonomi dapat selesai permasalahannya.
Tetapi pada
kenyataanya, dalam melaksanakan fungsi ini, Bank Indonesia berwenang melakukan
pemeriksaan terhadap perbankan yang dinilai dapat memiliki risiko sistematik
sehingga dapat membahayakan kondisi stabilisasi sistem keuangan secara
keseluruhan. Dalam hal ini, pemeriksaan dilakukan bukan dalam rangka memeriksa
tingkat kesehatan bak terkait, melainkan dilihat sebagai bagian integral dari
satu gambaran penuh industri keuangan.
Kebijakan
Makroprudensial tidak hanya diterapkan di Negara Indonesia saja, tetapi sudah
diterapkan di berbagai negara. Sebagai contoh Indonesia dan Hong Kong. Negara
Hong Kong merupakan salah satu macan asia yang tercatat bahwa pertumbuhan
ekonomi mengalami peningkatan, namun dibalik pertumbuhan ekonomi yang meningkat
ternyata terdapat potensis krisis ekonomi yang mengincar. Penyebabnyanya,
pertumbuha ekonomi disana lebih banyak di dorong oleh konsumsi, terutama berada
di sektor properti, Industri perbankan sering menyalurkan kredit perumahan
hingga muncul potensi property bubble yang mengamcam stabilitas ekonomi jika sampat
terus menerus.
Melihat
kejadian itu, otoritasi Moneter Hong kong mengambil intrument kebijakan
makroprudensial yang berupa pembatasan rasio pembiayaan terhadap pendanaan (loan to deposito ration/LDR) dan
pembatasan besaran pinjaman (loan to
value/LTV) dalam penyaluran
kredt, khususnya disektor properti,
Jika
dibandingkan dengan Indoensia, maka kondisi tersebut sama dengan yang terjadi
di Indonesia. Terlihat dari tingginya realisasi kredit di sektor konsumsi
terutama di properti dan kendaraan bermotor. Di sisi lain, likuiditas perbankan
di Indonesia mulai mengetat, terlihat dari pertumbuhan tabungan/ deposito yang
tidak semeningkat pertumbuhan kredit. Jika ini tetap di biarkan tanpa ada
penyelesaian, maka dapat meruntuhkan stabisisasi perekonomian.
Tanpa
menunggu lagi, Bank Indonesia cepat mengambil langkah untuk mencegah dengan
sama mengeluarkan kebijakan pembatasan LDR dan LTV seperti di Hong Kong. Dengan
harapan, pertumbuhan ekonomi di Indonesia lebih stabil dan sehat.
Menurut Bank
Indonesia, formulasi kebijakan makroprudensial yang berbeda diambil oleh
begara-negara di zona euro. Kebijakan makroprudensial dinegara tersebut lebih
di arahkan pada pembatasan eksposur interbank, sebab memang sumber masalahnya
ada disana. Namum walaupun kebijakan makroprudensial berbeda, namun seluruh
upaya tersebut dilakukan hanya untuk menjaga stabilitas sistem keuangan.
0 komentar:
Posting Komentar