Blogroll

Rabu, 08 Juni 2016

Pemeliharaan Stabilitas Sistem Keuangan Indonesia melalu Kebijakan Makroprudensial Bank Indonesia (BI)



Pemeliharaan Stabilitas Sistem Keuangan Indonesia melalu Kebijakan Makroprudensial Bank Indonesia (BI)
Semenjak terjadi krisis Subrpime mortage tahun 2008 di Amerika Serikat, yang menyatakan bahwa rendahnya tingkat suku bunga Federal Reserves (The Fed) yang menjadi awal terjadinya bubble properti, jumlah hutang yang tinggi di sektor swasta, dan tingkat kertegantungan yang tinggi mengenai pembiayaan jangka pendek yang berakhir akhirnya terjadilah krisis Subrpime mortage di tahun 2008. Dampak yang dirasakan dari krisis keuangan ini berimbas ke seluruh dunia. Akhirnya pemerintah Indonesia khawatir, dan akhirnya DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) membentuk lembaga Otoritasi Jasa Keuangan yang mirip seperti Financial Service Authority di Inggris yang tercermin dalam UU no 21 tahun 2011. Dalam hal ini tugas pengaturan dan pengawasan terhadap seluruh lembaga keuangan perbankan, yang meliputi kelembagaan, kesehatan, kehati-hatian, dan pemeriksaan bank, akan diahlikan dari Bank Indonesia ke Otorisasi Jasa Keuangan. Sementara ini Bank Indonesia tetap memiliki tugas dalam mengatur perbankan terkait aspek kebijakan makroprudensial. Sesuai dengan UU no 23 tahun 1999 yang berisi mengenai Bank Indonesia, peranan Bank Indonesia disini adalah sebagai Bank Sentral yang bertugas untuk melakukan intrument kebijakan moneter, dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, dan melalukan pengawasan Bank Umum yang ada di Indonesia.
Mulai saat UU diterbitkan, maka semenjak itu Berkordinasi menjadi suatu hal wajib bagi Bank Indoensia. Bank Indonesia tetap memiliki peran sebagai regulator operator, maupun fasilitator di bidang sistem pembayaran, termasuk perlindungan konsumen jasa sistem pembayaran. Dengan begitu, kordinasi antara Bank Indonesia dan Otorisasi Jasa Keuangan di sistem pembayaran yang dilaksanakan oleh bank menajdi hal yang wajib untuk dilakukan.
Menurut Yellen (2014), Kebijakan moneter pada saat itu merupakan alat yang tidak mampu untuk mengatasi masalah krisis Subrpime mortage pada sektor perbankan di Amerika Serikat,  kenaikan tingkat suku bunga terjadi untuk menekan kenaikan harga rumah di Amerika Serikat. Kenaikan tingkat suku bungan The Fed berdampak pada kenaikan cicilan hutang yang ditanggung rumah tangga serta meningkatkan tinggan pengangguran. Hal tersebut memberikan dampak adverse effect yaitu penurunan tingkat kemampuan rumah tangga membayar cicilan rumahnya tersebut. Pengalaman krisis ini dapat mengajarkan bahwa risiko yang terjadi di sektor finansial (keuangan), terutama yang terjadi diperbankan bisa dapat menyebar ke berbagai aspek. Ternyata memang ada hubungan yang sangat erat antara makroekonomi dengan sektor perbankan. Dengan adanya krisis ekonomi ini, maka para pemimpin negara sadar dengan arti pentingnya Stabilitas Sistem Keuangan (SSK).
Pengertian Stabilitas Sistem keuangan yaitu : (1) Menurut Europa Central Bank (2011) “..... suatu kondisi dimana sistem keuangan yang  terdiri dari lembaga intermediasi pasar keuangan dan infrasturktur pasar, tahan terhadap tekanan dan mampu mengatasi ketidakseimbangan keuangan yang bersumber dari proses intermediasi yang mengalami gangguan secara signifikan”. (2) Menurut Bank of England (2008) “.... suatu kondisi terpeliharanya kepercayaan masyarakat terhadap sistem keuangan”. (3) Bank Negara Malaysia (2011) “Stabilitas keuangan mendeskripsikan kondisi dimana prosees intermediasi keuangan berfungsi secara smooth dan terdapat kepercayaan dalam kegiatan usaha institusi keuangan dan pasar di dalam perekonomian”. Dalam menjaga stabilisasi sistem keuangan ini, peran lembaga perbankan khususnya bank sentral menjadi sangat dibutuhkan dikarenakan bank sentral yang mempunyai tugas dan fungsi untuk menjaga stabilisasi sistem keuangan.
Menurut Bank Indonesia, Sistem keuangan berfungsi untuk mengalokasikan dana dari pihak yang mengalami surplus kepada pihak yang mengalami defisit (kekurangan dana). Jika, sistem keuangan tidak stabil dan berfungsi dengan secara baik dan efisien, maka pengalokasian dana di lembaga keuangan tidak akan berjalan dengan sempurna sehingga dapat berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Dari tragedi krisis ekonomi yang pernah terjadi, menyatakan bahwa jika sistem keuangan tidak stabil, maka akan mengakibatkan terjadinya krisis ekonomi, dan memerlukan biaya yang cukup tinggi dan besar untuk upaya penyelamatan dari krisis ekonomi tersebut.
Perlu di ingat bahwa, secara teori sistem keuangan memiliki beberapa fungsi-fungsi pokok, yaitu yaitu fungsi tabungan (saving function), fungsi kekayaan (wealth function), fungsi likuiditas (liquidity function), fungsi kredit (credit function), fungsi pembayaran (payment function), fungsi resiko (risk function), serta fungsi kebijakan (policy function).
Melihat tragedi krisis tersebut, para pemimpin negara yang termasuk kedalam G20 dalam pertemuan di Seol pada tahun 2010 memustukan untuk menciptakan Financial Stability Board (FSB), International Monetary Fund (IMF), dan Bank For International Settelemnt (BIS). Hal ini digunakan untuk menciptakan suatu kerangka kebijakan makroprudensial yang berfungsi untuk mecegah terjadinya risiko sistematik pada lembaga keuangan. Dengan harapan, kerangka kebijakan makroprudensial ini bisa mencegah agar krisis keuangan (ekonomi) tidak terjadi kembali.
Di Negara Indonesia, terjadinya krisis Subrpime mortage menimbulkan kekhawatiran dari pemerintah, sehingga DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) mengusulkan untuk membentuk lembaga keuangan yang disebutkan dalam Undang-Undang No. 21/2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan yang mirip dengan Financial Service Authority di Inggris. Melalui UU tersebut, Otorisasi Jasa Keuangan mempunyai tugas untuk melakukan fungsi pengawasan terhadap perbankan di Indonesia, yaitu mengenai tingkat kesehatannya, tata kelola perbankan, manajemen risiko, dan pemeriksaan Bank menjadi semua wewenang untuk lembaga Otorisasi Jasa Keuangan. Peran Bank Indonesia disini adalah untuk menjalankan kebijakan makroprudensial dan peran lembaga Otorisasi Jasa Keuangan adalah kebijakan mikroprudensial.
Dalam hal ini, Kebijakan mikroprudensial lebih berfokus pada kesehatan lembaga keuangan secara individual. Sedangkan kebijakan makroprudensil lebih berfokus kepada harga barang dan jasa secara agregat (menyeluruh) dengan tetap mempertimbangkan demand dan supply. Kebijakan makroprudensial juga berfokus pada menjaga kestabilan sistem keuangan dengan cara mengestimasi risiko estemik sistem keuangan.
Menurut Bank Indonesia, Definisi Kebijakan Makroprudensial memiliki beberapa pengertian yaitu : (1) Versi IMF (2011) : kebijakan makroprudensial adalah kebijakan yang memiliki tujuan utama untuk memelihara kestabilan sistem keuangan secara keseluruhan memlaui pembatasan peningkatan risiko sistemik. (2) Versi BIS (2011) : Kebijakan makroprudensial adalah kebijakan yang ditunjukan untuk membatasi risiko dan biaya krisis sistemik. (3). Versi Bank Of England : Kebijakan makroprudensial adalah kebijakan yang ditunjukan untuk memelihara kestabilan intermeiasi keuangan (misalnya jasa-jasa pembayaran, intermediasi redit dan penjaminan atas risiko) terhadap perekonomian. (4) Versi Working Group G-30 : Kebijakan makroprudensial adalah kebijakan yang ditunjukan untuk meningkatkan ketahanan sistem keuangan dan untuk memitigasi risiko sistemik yang timbul akibat keterkaitan antar institusi dan kecenderungan institusi keuangan untuk mengikuti siklus ekonomi (procylical) sehingga memperbesar risiko sistemik.
Desain dan Implementasi Kebijakan Makroprudensial di Indonesia memiliki beberan ruang lingkup yaitu : Tujuan kebijakan Makroprudensial disini yaitu untuk mengestimasi risiko sistemik yang terjadi. Dalam ruang lingkup untu tetap fokus pada sistem keuangan secara makro (keseluruhan) yang termasuk kepada berinteraksi dengan sektrol rill (perbankan). Instrument yang digunakan yaitu prudential tools. Kebijakan Makroprudensial juga memiliki interaksi dengan kebijakan lainnya seperti kebijakan moneter dan kebijakan mikroprudensial. Dimensi yang digunakan yaitu time series (dimesi waktu) adalah procylicality yaitu bagaimana risiko dalam sistem keuangan dapat berevolusi sepanjang waktu, yang termasuk evolusi dengan sektor ekonomi. Sedangkan Cross Section (dimensi ruang) adalah bagaimana risiko terdistribusi dalam sistem keuangan pada satu periode tertentu yang disebabkan oleh kesamaan eksposur atau interlink dalam sistem keuangan.
Di Indonesia, ketika terjadi risiko intabilitas sistem keuangan yang berasal dari tekanan tingkat inflasi dan fluktuasi nilai tukar rupiah, maka kebijakan makroprudensial yang digunakan oleh Bank Indonesia akan selalu mencerminkan kepada cara untuk menyelesaikan kedua masalah tersebut, sebagai contoh waktu tahun 2015 kemarin saat nilai tukar rupiah mengalami depresi mencapai Rp. 13.800 maka pemerintah mengambil kebijakan untuk menaikan suku bunga BIRate. Ketika tingkat suku bunga BiRate meningkat, maka secara alamiah akan meningkatkan pula bunga kredit di perbankan, yang dampaknya bisa kita lihat yaitu permintaan kredit akan melambat. Bank Indonesia sengaja mengambil keputusna kebijaan ini untuk menjaga tingkat pertumbuhan kredit konsumsi yang didukung oleh kredit perumahan (property) dan kredit kendaraan bermotor. Bank Indonesia menginginkan agar pertumbuhan tidak boleh terlalu cepat karena dapat mengancam stabilitas jika mendadak terjadi krisis keuangan kembali. Karena disini, tujuan utama kebijakan makroprudensial adalah untuk mencegah terjadinya guncangan terhadap stabilitas ekonomi. Sehingga semua kebijakan diarahkan untuk mencermati risiko sistemik di sektor keuangan.
Menurut Dwi Wulan dan Dedi Rahman (2013), kebijakan ekonomi makroprudensial memiliki beberapa ciri-ciri dalam menjaga Stabilitas Sistem Keuangan, yaitu : (1) penyaluran kredit perbankan ke sektor yang tepat dan mendatangkan profi yang menjanjikan bagi perbankan, (2) kebijan ini memperhatikan faktor politik, hkum, dan sosial yang ikut dipengaruhi oleh sektor kebijakan ekonomi melalui naik atau turunnya suku SBI, (3) Berorientasi kepada stabilitas keuangan yang merata di sektor pemerintah, perbabnkan, dan masyarakat pengguna jasa keuangan, (4) Bersifat countercylical yang akan bersinergi dengan tujuan kebijakan moneter dalam mengurangi flutuasi perekonomian, Kebijakan makroprudensial untuk memperketat persyaratan modal dan likuiditas di saat perekonomian sedang melaju tinggi (periode up swing) akan mendorong bank untuk mengurangi pertumbuhan kredit sehingga menjaga daya tahan bank kedepan di saat perekonomian memburuk. (5) Dimensi time-series, yaitu kebijakan makroprudensial ditunjukan untuk menekan risiko terjadinya prosuklikalitas yang berlebihan dalam sistem keuangan.
Menurut Bank Indonesia (BI) (2014) Implementasi Kebijakan Makroprudensial untuk menjaga stabilisasi sistem keuangan dilakukan dengan beberapa cara yaitu :
1.                  Loan To Value (LTV) untuk KPR dan Down Payment (DP) KKB
Menurut SE BI No. 14/10/DPNP tanggal 15 maret 2012 untuk bank konvesional dan SE No 15/33/Dpbs tanggal 27 November 2012 untuk bank umum syariah. Kalibrasi ulang dengan SE BI No. 15/40/DKMP tanggal 24 September 2013. Dengan tujuan untuk meredam risiko sistemik yang timbul akibat pertumbuhan KPR yang pada saat itu mencapai lebih dari 40%, serta tingkat kegagalan nasabah KKB untuk memenuhi kewajiban yang pada saat itu mencapai hampir 10%. Pertumbuhan KPR yang terlalu tinggi dapat mendorong peningkatan harga asset property yang tidak mencerminkan harga sebenarnya (bubble), sehingga dapat meningkatkan risiko kredit bagi bank-bank dengan eksposur kredit properti yang benar. Dengan pokok ketentuan LTV progresif untuk KPR dan 20%-30% untuk KKB.
2.        Giro Wajib Minimum (GWM) berdasarkan Loan to Deposito Ratio (LDR)
Menurut PBI No. 12/19/PBI/2010 tanggal 4 Oktober 2010 dirubah dengan PBI No. 15/7/PBI/2013 tanggal 26 September 2013, dan SE BI No. 15/41/DKMP tanggal 1 Oktober 2013. Dengan tujuan untuk meningkatkan ketahanan sektor perbankan dalam menghadapi berbagai resiko, khususnya terkait dengan risiko kredit dan likuiditas. Pokok ketentuan disini yaitu : Bank wajib memelihara tambahan GWM rupiah (selain GWM primer dan GWM sekunder yang besarnya ditentukan berdasarkan persentase dari total DPK rupiah bank) yang nilainya ditentukan berdasarkan angka LDR bank. Apabila angka LDR dalam kisaran target LDR yakni 78%-92%, maka besarnya GWM LDR bank adalah 0%. Apabila LDR bak < 78% maka besarnya GWM LDR bank adalah GWM LDR = (78% - LDR bank) x 0,1 % (parameter disinsetif bawah). Apabila LDR bank > 92% maka besarnya GWM LDR bank adalah GWM LDR = (LDR bank – 92%) x 0,2%, kecuali dengan CAR > 14% maka GWM LDR bank adalah 0%.
3.        Transparasi Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK)
Menurut SE BI No. 13/5/DPNP tanggal 8 Pebruari 2011, diuabh dengan SE BI No.  5/1/DPNP tanggal 15 Januari 2013. Dengan memiliki tujuan yakni : mitigasi risiko kredit melalui persaingan yang sehat pada industri perbankan, meningkatkan good governance dan kompetisi melalui market discipline yang lebih baik, mendorong bank untuk menciptakan formulasi suku bunga kredit yang efisien dan akurat. Dengan pokok ketentuan disini yaitu : Bank wajib melaporkan kepada BI dan melakukan publikasi secara rutin atas komponen SBDK untuk masing masing kredit korporasi, ritel, konsumsi (KPR dan Non KPR) dan kredit mikro. Kmpenden SBDK yang wajib dilaporkan adalah harga pokok dana untuk kredit (HPDK).
Dalam hal ini, peranan Bank Indonesia dalam pemeliharaan stabilitas sistem keuangan yaitu untuk mencipkan dan memelihara keuangan yang stabil dan tangguh. Dalah hal ini, beberapa lembaga keuangan di Indonesia mempunyai tugas masing-masing dalam menjaga stabilitas keuangan yaitu :
1.         Otorisasi Jasa Keuangan (OJK)
Intrumen yang digunakan yaitu : regulasi, sistem pengawasan dan disiplin pasar. Strategi yang di tetapkan yaitu pengawasan lembaga dan pasar keuangan
2.        Bank Indonesia (BI)
Intrumen yang digunakan yaitu sebagai indikator makroprudensial dan mikroprudensial dengan strategi penguatan riset dan surveillance sistem keuangan.
3.        Kemenkeu, BI,OJK, dan LPS
Membentuk suatu Forum Kordinasis Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK) yang dibentuk pada bulan Juni 2007 oleh Bank Indonesia. Forum ini berfungsi untuk mengevaluasi secara sederhana atas Stabilitas Sistem Keuangan (SSK), termasuk menetakan kondisi dalam krisis serta mengambil keputusan kebijakan untuk mencegah dan menyelesaikan masalah krisis ekonomi. Menurut website Bank Indonesia, Forum Kordinasis Stabilitas Sistem Keuangan mempunyai empat (4) fungsi pokok, yaitu : (1) menunjang pelaksanaan tugas Komite Koordinasi dalam proses pengambilan keputusan terhadap Bank Bermasalah yang tengarai sistemik, (2) Melakukan koordinasi dan tukar menukar informasi untuk sinkronisasi peraturan perundang-undangan dan ketentuan di bidang perbankan, lembaga keuangan non bank, dan pasar modal; (3) Membahas berbagai permasalah yang dihadapi oleh lembaga-lembaga yang berkecimpung dalam sistem keuangan yang berpotensi sistemik berdasarkan informasi dan otoritas pengawas lembaga keuangan; dan (4) Mengkoordinasikan pelaksanaan atau persiapan insiatif tertentu di sektor keuangan.
Menurut Bank Indonesia, Kebijakan Makroprudensial yang dijalankan oleh Bank Indonesia dalam menjaga Stabilisasi Sistem Keuangan yaitu sebagai berikut : Jika data, informasi dan semua riset telah dikumpulkan dari suatu kejadian yang menganggu kestabilan sistem keuangan maka selanjutnya
1.        Memonitori sistem keuangan
Monitoring sistem keuangan merupakan suatu cara monitoring terhadap indikator, kejadian atau perilaku yang dapat merepresentasikan potensi risiko dalam sistem keuangan. Monitoring ini bertujuan untuk mendeteksi dan memberikan sinyal akumulasi imbalance dan vulnerabilities yang mungkin akan berdampak pada sistemik.
2.        Indentifikasi dan Penilaian Risiko
Dalam hal ini Bank Indonesia bertugas untuk motoring likuiditas secara harian, membuat bahan RDG Mingguan dan Bilanan, melakukan kajian stabilitas keuangan, memberikan hasil riset/kajian dari hasil dari RDG mingguan dan bulanan. Terakhir membuat laporan pengawasan perbankan. Hal yang pertama yaitu melihat dulu berbagai indikator yang mengancam risiko dengan menggunakan prudential tools.
3.        Pemberian Sinyal Risiko
Pemberian sinyal ini dapat dilakukan secara periodik serta pada saat diperlukan kepada : (1) Internal BI dan FKSSK (otoritas keuangan lainnya) melalui, dashboard, RDG, dan Rapat FKSSK. (2) Eksternal yaitu pasar, institusi keuangan, dan publik (masyarakat) dengan melalui : pemerian pesar kepada pasar oleh Dewan Gubenur, sosialisasi kebijakan dan langkah-langkah mitigasi risiko, komunikasi pers (siaran pers atau jumpa pers), rapat dengan pihak-pihak yang terkait (asosiasi profesi, pengusaha, pelaku pasar), dan yang terakhir publikasi dan riset.
4.        Desain dan Implementasi kebijakan
Dalam hal ini Bank Indonesia jika telah memberikan sinyal risiko maka Bank Indonesia menciptakan padangan bentuk kebijakan makroprudensial seperti apakah yang dapat mengatasi ketidakstabilan sistem keuangan. Setelah menemukan maka langsung di terapkan kebijakan makroprudensial di seluruh lembaga keuangan dan masyarakat/
5.        Evaluasi efektivitas kebijakan
Dalam hal ini, Bank Indonesia bertugas untuk tetap mengontrol dan menjaga agar kebijakan makroprudensial tetap berjalan sesuai dengan koridornya untuk menyelaikan masalah stabilisasi sistem keuangan yang terjadi. Jika terjadi kesalahan atas implementasi kebijakan makroprudensial maka Bank Indonesia bisa langsung mencabut kebijakan tersebut dan mengantikan dengan kebijakan makroprudensial yang dapat mengatasinya. Sehingga krisis ekonomi dapat selesai permasalahannya.
Tetapi pada kenyataanya, dalam melaksanakan fungsi ini, Bank Indonesia berwenang melakukan pemeriksaan terhadap perbankan yang dinilai dapat memiliki risiko sistematik sehingga dapat membahayakan kondisi stabilisasi sistem keuangan secara keseluruhan. Dalam hal ini, pemeriksaan dilakukan bukan dalam rangka memeriksa tingkat kesehatan bak terkait, melainkan dilihat sebagai bagian integral dari satu gambaran penuh industri keuangan.
Kebijakan Makroprudensial tidak hanya diterapkan di Negara Indonesia saja, tetapi sudah diterapkan di berbagai negara. Sebagai contoh Indonesia dan Hong Kong. Negara Hong Kong merupakan salah satu macan asia yang tercatat bahwa pertumbuhan ekonomi mengalami peningkatan, namun dibalik pertumbuhan ekonomi yang meningkat ternyata terdapat potensis krisis ekonomi yang mengincar. Penyebabnyanya, pertumbuha ekonomi disana lebih banyak di dorong oleh konsumsi, terutama berada di sektor properti, Industri perbankan sering menyalurkan kredit perumahan hingga muncul potensi property bubble  yang mengamcam stabilitas ekonomi jika sampat terus menerus.
Melihat kejadian itu, otoritasi Moneter Hong kong mengambil intrument kebijakan makroprudensial yang berupa pembatasan rasio pembiayaan terhadap pendanaan (loan to deposito ration/LDR) dan pembatasan besaran pinjaman (loan to value/LTV) dalam penyaluran kredt, khususnya disektor properti,
Jika dibandingkan dengan Indoensia, maka kondisi tersebut sama dengan yang terjadi di Indonesia. Terlihat dari tingginya realisasi kredit di sektor konsumsi terutama di properti dan kendaraan bermotor. Di sisi lain, likuiditas perbankan di Indonesia mulai mengetat, terlihat dari pertumbuhan tabungan/ deposito yang tidak semeningkat pertumbuhan kredit. Jika ini tetap di biarkan tanpa ada penyelesaian, maka dapat meruntuhkan stabisisasi perekonomian.
Tanpa menunggu lagi, Bank Indonesia cepat mengambil langkah untuk mencegah dengan sama mengeluarkan kebijakan pembatasan LDR dan LTV seperti di Hong Kong. Dengan harapan, pertumbuhan ekonomi di Indonesia lebih stabil dan sehat.
Menurut Bank Indonesia, formulasi kebijakan makroprudensial yang berbeda diambil oleh begara-negara di zona euro. Kebijakan makroprudensial dinegara tersebut lebih di arahkan pada pembatasan eksposur interbank, sebab memang sumber masalahnya ada disana. Namum walaupun kebijakan makroprudensial berbeda, namun seluruh upaya tersebut dilakukan hanya untuk menjaga stabilitas sistem keuangan.

0 komentar:

Posting Komentar