Fluktuasi Ekonomi Tak Goyahkan Kesetiaan Otoritas
Moneter
Oleh : Ika Wahyu Cahyani
Gejolak perekonomian
global kembali berulah dan kali ini bahkan berakibat pada perlambatan ekonomi
di banyak negara maju dan berkembang, terutama yang menganut sistem perekonomian
terbuka. Tidak dapat dipungkiri bahwa siklus resesi ekonomi ini bahkan telah menjadi
siklus winduan, yang berarti bahwa
siklus resesi terjadi dalam jangka waktu kurang lebih sewindu.
Dalam kaleidoskop sejarah tercatat bahwa gejolak perekonomian diawali dengan
krisis moneter Asia Tenggara yang terjadi pada tahun 1997, kemudian disusul
oleh resesi perekonomian dunia pada tahun 2008 dan kasus terakhir adalah
perlambatan ekonomi global tahun 2015. Terjadinya siklus resesi tersebut disebabkan
oleh banyak faktor dengan dampak yang ditimbulkan cukup besar pula, mulai dari
ketidakstabilan perekonomian nasional suatu negara hingga gejolak perekonomian
secara global yang semakin sulit diprediksi.
Sehubungan dengan kasus
perlambatan ekonomi tahun 2015, peristiwa tersebut disebabkan oleh adanya
ketidakpastian dalam pasar keuangan di beberapa negara maju. Seperti yang
terjadi di kawasan Eropa, Jepang, Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok. Di Eropa
dan Jepang tingkat inflasi yang dimiliki keduanya cenderung rendah namun
prospek perekonomiannya melemah. Alhasil mendorong bank sentral keduanya
melakukan pelonggaran terhadap kebijakan moneter secara berkelanjutan. Selanjutnya,
rencana Amerika Serikat menaikkan tingkat suku bunga melalui bank sentralnya (The Fed) pada semester kedua tahun 2016
menambah deretan ketidakpastian pasar keuangan. Sedangkan dari sisi ekonomi
Tiongkok, pelemahan perekonomian terjadi karena adanya upaya liberalisasi pasar
keuangan.
Nyatanya,
guncangan perekonomian tidak hanya bergejolak di pasar keuangan saja, melainkan
juga berimbas di pasar barang. Harga minyak menurun pada level yang lebih
rendah bahkan hampir menyentuh angka 20 US$ per barel. Penurunan karena dipicu
oleh tingginya pasokan sementara permintaannya tergolong rendah. Per september
2015 tercatat bahwa penawaran minyak dunia mencapai 96,4 juta barel per hari
sementara permintaannya 93,5 juta barel per hari. Arah guncangan pada sektor
keuangan dan pasa barang tersebut seakan menciptakan kegelisahan bagi
perekonomian negara berkembang terutama kawasan Asia, termasuk Indonesia.
Timbul
kecemasan pada perekonomian nasional begitu dirasa oleh Indonesia, sebagai efek
yang harus ditelan karena adanya perlanbatan ekonomi global yang terjadi pada
2015 lalu. Selain merujuk pada tren pertumbuhan tahun 2015 yang lebih kecil
dari penetapan proyeksi oleh pemerintah, juga pada tingkat inflasi yang rendah namun
tidak mampu mendorong daya beli masyarakat. Peninjauan kembali dilakukan
terhadap tren pertumbuhan ekonomi tersebut yang dibuktikan dengan adanya
catatan yang menyatakan bahwa realisasi tingkat pertumbuhan ekonomi hanya
sebesar 4,7 persen dari proyeksi yang telah ditetapkan sebesar 5,0 persen. Sedangkan dari sisi inflasi, realisasinya
berada pada level yang cukup baik yaitu sebesar 3,35 persen dari target 4
persen yang telah ditetapkan. Meskipun demikian, pada kenyataannya justru tidak
mampu menggairahkan perekonomian nasional kala itu. Mau tidak mau, efek yang
mengakibatkan kecemasan tersebut harus segera dituntaskan.
Siklus
resesi benar-benar telah menguji kesetiaan otoritas moneter dalam
mempertahankan tingkat kestabilan perekonomian melalui kewenangannya. Pada saat
inilah peran Bank Indonesia dibutuhkan. Selain sebagai bank sentral Indonesia,
BI juga dapat bertindak sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atas otoritas
moneter. BI memiliki kewenangan untuk menerapkan kerangka kebijakan melalui
sasaran-sasaran pada tingkat suku bunga dan penawaran uang sebagai sebagai
wujud antisipasi gejolak perekonomian global yang sulit diprediksi dari sisi
keuangan/ moneter. Beberapa instrumen yang diterapkan BI adalah melalui operasi
pasar terbuka di pasar uang, penetapan tingkat diskonto dan cadangan wajib
minimun, serta pengaturan kredit atau pembiayaan. Secara lebih sederhana, dapat
dijelaskan bahwa kewenangan penuh BI adalah untuk menjaga kestabilan sistem
keuangan dan mengendalikan tingkat inflasi. Dengan kestabilan sistem keuangan
dan tingkat inflasi tersebut dapat dipastikan kestabilan perekonomian akan
terwujud dan tingkat ketahanannya lebih terjaga.
Penjagaan
terhadap kestabilan sistem keuangan oleh Bank Indonesia (BI) ditempuh melalui permainan
tingkat suku bunga acuan (BI rate)
dan penguatan pada ketahanan sistem perbankan dan pasar keuangan. Sedangkan,
tingkat inflasi yang mencerminkan tingkat kestabilan nilai rupiah (tingkat
penawaran uang/ jumlah uang beredar) diukur dari tingkat harga barang-barang
secara umum. Pengendalian terhadapnya dilakukan dengan cara mengelola tekanan
harga yang berasal dari sisi permintaan agregat relatif terhadap sisi penawarannya.
Disisi lain perlu adanya bauran kebijakan moneter dan fiskal yang dirasa cukup
mumpuni untuk mengatasi perlambatan ekonomi global yang menyeret Indonesia
merasakan dampaknya. Untuk itu, dalam melakukan tugasnya BI terus memperkuat koordinasi
dengan pemerintah guna melakukan akselerasi pada stimulus fiskal, reformasi
struktural, dan penguatan pada stimulus pertumbuhan.
0 komentar:
Posting Komentar