Blogroll

Minggu, 26 Juni 2016

Fluktuasi Ekonomi Tak Goyahkan Kesetiaan Otoritas Moneter

Fluktuasi Ekonomi Tak Goyahkan Kesetiaan Otoritas Moneter
Oleh : Ika Wahyu Cahyani

Gejolak perekonomian global kembali berulah dan kali ini bahkan berakibat pada perlambatan ekonomi di banyak negara maju dan berkembang, terutama yang menganut sistem perekonomian terbuka. Tidak dapat dipungkiri bahwa siklus resesi ekonomi ini bahkan telah menjadi siklus winduan, yang berarti bahwa siklus resesi terjadi dalam jangka waktu kurang lebih sewindu. Dalam kaleidoskop sejarah tercatat bahwa gejolak perekonomian diawali dengan krisis moneter Asia Tenggara yang terjadi pada tahun 1997, kemudian disusul oleh resesi perekonomian dunia pada tahun 2008 dan kasus terakhir adalah perlambatan ekonomi global tahun 2015. Terjadinya siklus resesi tersebut disebabkan oleh banyak faktor dengan dampak yang ditimbulkan cukup besar pula, mulai dari ketidakstabilan perekonomian nasional suatu negara hingga gejolak perekonomian secara global yang semakin sulit diprediksi.
Sehubungan dengan kasus perlambatan ekonomi tahun 2015, peristiwa tersebut  disebabkan oleh adanya ketidakpastian dalam pasar keuangan di beberapa negara maju. Seperti yang terjadi di kawasan Eropa, Jepang, Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok. Di Eropa dan Jepang tingkat inflasi yang dimiliki keduanya cenderung rendah namun prospek perekonomiannya melemah. Alhasil mendorong bank sentral keduanya melakukan pelonggaran terhadap kebijakan moneter secara berkelanjutan. Selanjutnya, rencana Amerika Serikat menaikkan tingkat suku bunga melalui bank sentralnya (The Fed) pada semester kedua tahun 2016 menambah deretan ketidakpastian pasar keuangan. Sedangkan dari sisi ekonomi Tiongkok, pelemahan perekonomian terjadi karena adanya upaya liberalisasi pasar keuangan.
Nyatanya, guncangan perekonomian tidak hanya bergejolak di pasar keuangan saja, melainkan juga berimbas di pasar barang. Harga minyak menurun pada level yang lebih rendah bahkan hampir menyentuh angka 20 US$ per barel. Penurunan karena dipicu oleh tingginya pasokan sementara permintaannya tergolong rendah. Per september 2015 tercatat bahwa penawaran minyak dunia mencapai 96,4 juta barel per hari sementara permintaannya 93,5 juta barel per hari. Arah guncangan pada sektor keuangan dan pasa barang tersebut seakan menciptakan kegelisahan bagi perekonomian negara berkembang terutama kawasan Asia, termasuk Indonesia.
Timbul kecemasan pada perekonomian nasional begitu dirasa oleh Indonesia, sebagai efek yang harus ditelan karena adanya perlanbatan ekonomi global yang terjadi pada 2015 lalu. Selain merujuk pada tren pertumbuhan tahun 2015 yang lebih kecil dari penetapan proyeksi oleh pemerintah, juga pada tingkat inflasi yang rendah namun tidak mampu mendorong daya beli masyarakat. Peninjauan kembali dilakukan terhadap tren pertumbuhan ekonomi tersebut yang dibuktikan dengan adanya catatan yang menyatakan bahwa realisasi tingkat pertumbuhan ekonomi hanya sebesar 4,7 persen dari proyeksi yang telah ditetapkan sebesar  5,0 persen. Sedangkan dari sisi inflasi, realisasinya berada pada level yang cukup baik yaitu sebesar 3,35 persen dari target 4 persen yang telah ditetapkan. Meskipun demikian, pada kenyataannya justru tidak mampu menggairahkan perekonomian nasional kala itu. Mau tidak mau, efek yang mengakibatkan kecemasan tersebut harus segera dituntaskan.
Siklus resesi benar-benar telah menguji kesetiaan otoritas moneter dalam mempertahankan tingkat kestabilan perekonomian melalui kewenangannya. Pada saat inilah peran Bank Indonesia dibutuhkan. Selain sebagai bank sentral Indonesia, BI juga dapat bertindak sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atas otoritas moneter. BI memiliki kewenangan untuk menerapkan kerangka kebijakan melalui sasaran-sasaran pada tingkat suku bunga dan penawaran uang sebagai sebagai wujud antisipasi gejolak perekonomian global yang sulit diprediksi dari sisi keuangan/ moneter. Beberapa instrumen yang diterapkan BI adalah melalui operasi pasar terbuka di pasar uang, penetapan tingkat diskonto dan cadangan wajib minimun, serta pengaturan kredit atau pembiayaan. Secara lebih sederhana, dapat dijelaskan bahwa kewenangan penuh BI adalah untuk menjaga kestabilan sistem keuangan dan mengendalikan tingkat inflasi. Dengan kestabilan sistem keuangan dan tingkat inflasi tersebut dapat dipastikan kestabilan perekonomian akan terwujud dan tingkat ketahanannya lebih terjaga.

Penjagaan terhadap kestabilan sistem keuangan oleh Bank Indonesia (BI) ditempuh melalui permainan tingkat suku bunga acuan (BI rate) dan penguatan pada ketahanan sistem perbankan dan pasar keuangan. Sedangkan, tingkat inflasi yang mencerminkan tingkat kestabilan nilai rupiah (tingkat penawaran uang/ jumlah uang beredar) diukur dari tingkat harga barang-barang secara umum. Pengendalian terhadapnya dilakukan dengan cara mengelola tekanan harga yang berasal dari sisi permintaan agregat relatif terhadap sisi penawarannya. Disisi lain perlu adanya bauran kebijakan moneter dan fiskal yang dirasa cukup mumpuni untuk mengatasi perlambatan ekonomi global yang menyeret Indonesia merasakan dampaknya. Untuk itu, dalam melakukan tugasnya BI terus memperkuat koordinasi dengan pemerintah guna melakukan akselerasi pada stimulus fiskal, reformasi struktural, dan penguatan pada stimulus pertumbuhan.

0 komentar:

Posting Komentar