KETIKA TUJUAN PENGUATAN
RUPIAH MENJADI SEBELAH MATA
Oleh Fara Dila
Sandy, Ilmu Ekonomi di Universitas Jember
Ketika
pelemahan rupiah semakin menjadi
kejadian yang hampir terjadi setiap harinya. Rupiah, salah satu mata uang yang
terkategori sebagai soft currency, memiliki
peranan yang cukup rendah terhadap perekonomian dalam perdagangan maupun
kegiatan yang berskala internasional. Kondisi Indonesia yang masih dalam tahap
pemulihan infrastruktur, membuat Indonesia memiliki tujuan dalam menopang
berbagai produktivitas untuk mencapai kekuatan didalam nilai mata uang Rupiah.
Namun tujuan tersebut bertolakbelakang dengan pernyataan wakil presiden Yusuf
Kalla, sang wakil presidem Indonesia ini ingin lebih menfokuskan diri pada
nilai Rupiah yang seimbang bukan pada kategori yang paling kuat. Dari beberapa
pernyataan tersebut, terdapat kontradiksi dengan berbagai tujuan lembaga-lembaga pemerintahan maupun negara
yang lebih fokus terhadap meningkatkan nilai mata uang Rupiah sebagai variabel
penunjang perekonomian suatu negara.
Tidak
dapat dipungkiri, alasan Sang wakil presiden memiliki kesamaan arah dengan
kebijakan depresiasi yang pernah dicanangkan oleh pemerintah China dengan
tujuan untuk meningkatkan ekspor ke berbagai negara alasan kebijakan tersebut
ialah karena dengan kebijakan depresiasi
akan merangsang produk yang diproduksi memiliki nilai harga yang cenderung
lebih murah. Hal ini lah yang menjadi cerminan wakil presiden Yusuf.
Memang
benar , apabila nilai mata uang suatu negara berada pada titik yang paling
“perkasa” maka akan berdampak pada produk yang diproduksi menghasilkan harga
yang tinggi sehingga memunculkan hukum pasar
hukum pasar yakni permintaan yang menurun. Akan tetapi, meskipun
Indonesia lebih memilih untuk tidak berminat meningkatkan nilai Rupiah atau dikenal
dengan istilah depresiasi. Hal tersebut tidak akan berdampak, alasan utamanya
ialah Indonesia tidak memiliki cukup basic
dalam menerapkan kebijakan depresiasi seperti yang diterapkan oleh China. Arti Basic disini ialah Kondisi Indonesia
masih berada jauh dari China baik dilihat dari kondisi ekonomi, politik,sosial
maupun fudemental lainya.
Infrastruktur
yang kurang memadai, kondisi politik yang masih jauh dari kata perbaikan,
tingkat devisa masih rendah, jumlah utang yang semakin tinggi, dan lain
sebagainya. Seharusnya dengan kondisi tersebut bisa dijadikan sebagai indikator
resmi dalam mengambil keputusan dan kebijakan, karen jika kita hanya
mencermikan diri pada negara lain tanpa memperhatikan kondisi yang riil pada
Indonesia maka kebijakan tersebut tidak akan memiliki pengaruh yang
signifikan atau bahkan hanya akan
memberikan impact negatif terhadap
perekonomian Indonesia. Harus ada
koordinasi antara kebijakan yang sifatnya makro dan mikro, agar terjadi
keseimbangan dan kondisi yang optimal dalam perekonomian.
0 komentar:
Posting Komentar