Blogroll

Jumat, 10 Juni 2016

IMPLIKASI KEBIJAKAN PENDAMPING OTORITAS MONETER



IMPLIKASI KEBIJAKAN PENDAMPING OTORITAS MONETER

Salah satu kebijakan pendamping dari kebijakan moneter adalah kebijakan makroprudensial. Setelah sekitar lima tahun kebijakan makroprudensial berjalan di Indonesia, ternyata tidak membuat kebijakan makroprudensial membuat perekonomian Indonesia membaik secara signifikan. Hal ini tentunya membuat pemerintah terus berpikir tentang penyebabnya dan bagaimana cara mengatasi masalah tersebut. Pemerintah tentunya tidak tinggal diam melihat kejadian seperti ini, harus ada aturan pendukung sebagai penyeimbang kebijakan makroprudensial yang ada agar kebiajakan makroprudensial dapat berjalan efektif dan optimal demi terciptanya perekonomian Indonesia yang lebih baik.
Menanggapi fenomena empiris yang terjadi, Bank Indonesia yang merupakan Bank Sentral Negara Indonesia seharusnya mengambil tindakan. Bank Indonesia sendiri merencanakan akan mengeluarkan beberapa  kebijakan terkait kebijakan makroprudensial berupa aturan yang melonggarkan kebijakan makroprudensial itu sendiri. Adapun aturan terkait kebijakan makroprudensial meliputi revisi ketentuan Giro Wajib Minimum-Loan to Deposit Ratio (GWM-LDR), ketentuan Loan To Value (LTV) untuk Kredit Kepemilikan Rumah(KPR), dan ketentuan pembayaran uang muka (down payment) untuk Kredit Kendaraan Bermotor (KKB).
Giro Wajib Minimum-Loan to Deposit Ratio (GWM-LDR) sendiri merupakan batas minimum simpanan yang wajib disimpan oleh Bank umum di Bank Sentral yaitu Bank Indonesia dalam bentuk giro sebesar selisih dari LDR Bank dan LDR yang ditargetkan. Bank Indonesia sendiri akan menentukan kembali besar dari Giro Wajib Minimum-Loan to Deposit Ratio (GWM-LDR) pada Bank-bank umum, bisa berupa memperbesar jumlah dari Giro Wajib Minimum-Loan to Deposit Ratio (GWM-LDR) ataupun memperkecil jumlah dari Giro Wajib Minimum-Loan to Deposit Ratio (GWM-LDR).
Bank Indonesia juga akan mengatur kembali Loan To Value (LTV), rasio yang digunakan sebagai patokan jaminan kredit, Kredit Kepemilikan Rumah (KPR). Rasio tersebut bisa saja diturunkan atau dinaikkan oleh Bank Indonesia, tergantung dari analisis yang digunakan dan pencapaian dari Bank Indonesia sendiri.
Selain itu, aturan lain yang dikeluarkan Bank Indonesia terkait kebijakan makroprudensial adalah ketentuan uang muka (down payment) untuk Kredit Kendaraan Bermotor (KKB). Ketentuan uang muka (down payment) untuk Kredit Kendaraan Bermotor (KKB) sebagai instrument yang mengatur besar atau kecilnya jumlah Kredit Kendaraan Bermotor (KKB). Apbila uang muka (down payment) untuk Kredit Kendaraan Bermotor (KKB) diperbesar maka jumlah Kredit Kendaraan Bermotor akan mengalami penurunan. Dan sebaliknya, jika uang muka (down payment) untuk Kredit Kendaraan Bermotor (KKB) diturunkan maka jumlah dari Kredit Kendaraan Bermotor akan naik.
Halim Alamasyah, Deputi Gubernur Bank Indonesia memiliki pendapat bahwa dikeluarkannya aturan baru terkait kebijakan makroprudensial ini adalah untuk menjaga pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Selain itu, Bank Indonesia juga memiliki tujuan lain yaitu untuk menjaga stabilitas perekonomian yang ada. Aturan baru terkait kebijakan makroprudensial ini sebenarnya secara umum memiliki tujuan utama yaitu menambah kinerja sistem keuangan yang ada menjadi lebih baik lagi. Mengingat bahwa tujuan dari adanya kebijakan makroprudensial ini adalah untuk mengatur sistem keuangan secara keseluruhan demi terselanggaranya perekonomian Negara yang lebih baik.
Langkah awal yang akan dilakukan untuk mengeluarkan aturan baru ini adalah Bank Indonesia melakukan revisi terlebih dahulu aturan mengenai ketentuan Giro Wajib Minimum-Loan to Deposit Ratio (GWM-LDR), ketentuan Loan To Value (LTV) untuk Kredit Kepemilikan Rumah(KPR), dan ketentuan pembayaran uang muka (down payment) untuk Kredit Kendaraan Bermotor (KKB). Revisi yang dilakukan tidak hanya ditangani oleh Bank Indonesisa saja, namun Bank Indonesia dibantu oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam menentukan besar nilai dari masing-masing instrument yang direvisi. Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuang (OJK) kemudian akan menyepakati hasil diskusi yang telah dilakukan kemudian aturan baru tersebut akan segera disahkan dan akan dipublikasikan melalui media massa.
Sebelum dilakukan revisi, pertumbuhan ekonomi di Indonesia mengalami perlambatan meskipun nilai dari perlambatannya tidak begitu besar yaitu sebesar 4,7% dari yang awalnya sebesar 5%. Namun, pihak Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengatakan bahwa setelah aturan terkait kebijakan makroprudensial ini direvisi nilai dari pertumbuhan ekonomi Indonesia ini akan membaik. Pihak Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yakin bahwa langkah yang mereka lakukan akan benar-benar berpengaruh di kemudian hari.
Agus Martowardojo, Gubernur Bank Indonesia mengatakan bahwa perlambatan nilai pertumbuhan ekonomi yang terjadi di Indonesia tersebut memilik beberapa penyebab yang diantaranya adalah melemahnya kinerja dari komponen-komponen permintaan di area domestik. Perlambatan yang terjadi berupa menurunnya nilai dari government expenditure (konsumsi pemerintah) sebelum direvisinya aturan terkait kebijakan makroprudensial ini. Selain itu, perlambatan juga terjadi pada menurunnya nilai investasi domestik di sektor bangunan. Komponen-komponen yang dijelaskan tersebut sedikitnya berpengaruh cukup signifikan dalam menurunnya pertumbuhan perekonomian yang ada di Indonesia.
Selain itu, ada beberapa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang belum terealisasi secara sempurna sehingga menyebabkan total agregat pada saat itu tidak sesuai dengan target yang ditentukan. Adapun anggaran yang belum terealisasi secara sempurna meliputi anggaran belanja pemerintah yang belum dibelanjakan, dan juga ada lembaga-lembaga baru yang belum merealisasikan anggaran belanjanya. Selain itu, modal yang disediakan untuk membangun proyek-proyek berupa infrastruktur dirasa belum bisa mencukupi kebutuhan untuk merealisasikan proyek-proyek terkait. Belum terealisainya proyek-proyek berupa infrastruktur tersebut tentunya berdampak pada menurunnya investasi di sektor bangunan.
Perlambatan perekonomian tidak hanya terjadi di beberapa wilayah saja, namun terjadi hampir pada seluruh wilayah yang ada di Indonesia. Hampir seluruh wilayah yang ada di Indonesia mengalami perlambatan baik itu wilayah yang notabennya mengandalkan sektor manufaktur di wilayahnya, yaitu wilayah yang mengutamakan industri untuk menggerakkan roda perekonomiannya, ataupun wilayah yang mengandalkan seumber daya alam sebagai komponen utama penggerak roda perekonomian di wilayahnya. Jadi tidak ada wilayah yang mengalami percepatan pertumbuhan perekonomian pada saat itu.
Agus Martowardojo, Gubernur Bank Indonesia menambahkan pernyataannya bahwa perkiraan mengenai akan membaiknya perekonomian Indonesia setelah direvisinya aturan terkait kebijakan makroprudensial adalah keyakinan bahwa akan terealisasikannya anggaran belanja pemerintah domestik yang sebelumnya belum dipergunakan. Agus berpendapat bahwa jika anggaran yang belum terealisasikan tersebut segera direalisasikan dengan baik maka akan meningkatkan government expenditure (belanja pemerintah) di Indonesia, dimana government expenditure (belanja pemerintah) ini menyumbang nilai atas bertambahnya pendapatan agregat di Indonesia. Selain itu, Agus juga meyakini bahwa investasi di Indonesia akan mengalami kenaikan yang signisikan terutama investasi di sektor bangunan. Selain itu, setelah direvisinya aturan terkait kebijakan makroprudensial ini menyebabkan pengeluaran fiskal pemerintah akan meningkat.
Revisi dari aturan terkait kebijakan makroprudensial ini juga ditaksir akan meningkatkan penyaluran kredit di bidang perbankan. Hal itu memang sudah menjadi tujuan utama yang ingin dicapai dari direvisinya aturan terkait kebijakan makroprudensial yang dilakukan oleh Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keungan (OJK). Dengan begitu aturan pelonggaran kebijakan makroprudensial ini tentunya akan memperbaiki keadaan perekonomian sekaligus mempercepat pertumbuhan perekonomian Indonesia.

0 komentar:

Posting Komentar