IMPLIKASI
KEBIJAKAN PENDAMPING OTORITAS MONETER
Salah satu kebijakan
pendamping dari kebijakan moneter adalah kebijakan makroprudensial. Setelah
sekitar lima tahun kebijakan makroprudensial berjalan di Indonesia, ternyata
tidak membuat kebijakan makroprudensial membuat perekonomian Indonesia membaik
secara signifikan. Hal ini tentunya membuat pemerintah terus berpikir tentang
penyebabnya dan bagaimana cara mengatasi masalah tersebut. Pemerintah tentunya
tidak tinggal diam melihat kejadian seperti ini, harus ada aturan pendukung
sebagai penyeimbang kebijakan makroprudensial yang ada agar kebiajakan
makroprudensial dapat berjalan efektif dan optimal demi terciptanya
perekonomian Indonesia yang lebih baik.
Menanggapi fenomena
empiris yang terjadi, Bank Indonesia yang merupakan Bank Sentral Negara
Indonesia seharusnya mengambil tindakan. Bank Indonesia sendiri merencanakan
akan mengeluarkan beberapa kebijakan
terkait kebijakan makroprudensial berupa aturan yang melonggarkan kebijakan
makroprudensial itu sendiri. Adapun aturan terkait kebijakan makroprudensial
meliputi revisi ketentuan Giro Wajib Minimum-Loan to Deposit Ratio (GWM-LDR),
ketentuan Loan To Value (LTV) untuk Kredit Kepemilikan Rumah(KPR), dan
ketentuan pembayaran uang muka (down payment) untuk Kredit Kendaraan Bermotor
(KKB).
Giro Wajib Minimum-Loan
to Deposit Ratio (GWM-LDR) sendiri merupakan batas minimum simpanan yang wajib
disimpan oleh Bank umum di Bank Sentral yaitu Bank Indonesia dalam bentuk giro sebesar
selisih dari LDR Bank dan LDR yang ditargetkan. Bank Indonesia sendiri akan
menentukan kembali besar dari Giro Wajib Minimum-Loan to Deposit Ratio
(GWM-LDR) pada Bank-bank umum, bisa berupa memperbesar jumlah dari Giro Wajib
Minimum-Loan to Deposit Ratio (GWM-LDR) ataupun memperkecil jumlah dari Giro
Wajib Minimum-Loan to Deposit Ratio (GWM-LDR).
Bank Indonesia juga
akan mengatur kembali Loan To Value (LTV), rasio yang digunakan sebagai patokan
jaminan kredit, Kredit Kepemilikan Rumah (KPR). Rasio tersebut bisa saja
diturunkan atau dinaikkan oleh Bank Indonesia, tergantung dari analisis yang
digunakan dan pencapaian dari Bank Indonesia sendiri.
Selain itu, aturan lain
yang dikeluarkan Bank Indonesia terkait kebijakan makroprudensial adalah
ketentuan uang muka (down payment) untuk Kredit Kendaraan Bermotor (KKB). Ketentuan
uang muka (down payment) untuk Kredit Kendaraan Bermotor (KKB) sebagai
instrument yang mengatur besar atau kecilnya jumlah Kredit Kendaraan Bermotor
(KKB). Apbila uang muka (down payment) untuk Kredit Kendaraan Bermotor (KKB)
diperbesar maka jumlah Kredit Kendaraan Bermotor akan mengalami penurunan. Dan
sebaliknya, jika uang muka (down payment) untuk Kredit Kendaraan Bermotor (KKB)
diturunkan maka jumlah dari Kredit Kendaraan Bermotor akan naik.
Halim Alamasyah, Deputi
Gubernur Bank Indonesia memiliki pendapat bahwa dikeluarkannya aturan baru
terkait kebijakan makroprudensial ini adalah untuk menjaga pertumbuhan ekonomi
di Indonesia. Selain itu, Bank Indonesia juga memiliki tujuan lain yaitu untuk
menjaga stabilitas perekonomian yang ada. Aturan baru terkait kebijakan
makroprudensial ini sebenarnya secara umum memiliki tujuan utama yaitu menambah
kinerja sistem keuangan yang ada menjadi lebih baik lagi. Mengingat bahwa
tujuan dari adanya kebijakan makroprudensial ini adalah untuk mengatur sistem
keuangan secara keseluruhan demi terselanggaranya perekonomian Negara yang
lebih baik.
Langkah awal yang akan
dilakukan untuk mengeluarkan aturan baru ini adalah Bank Indonesia melakukan
revisi terlebih dahulu aturan mengenai ketentuan Giro Wajib Minimum-Loan to
Deposit Ratio (GWM-LDR), ketentuan Loan To Value (LTV) untuk Kredit Kepemilikan
Rumah(KPR), dan ketentuan pembayaran uang muka (down payment) untuk Kredit
Kendaraan Bermotor (KKB). Revisi yang dilakukan tidak hanya ditangani oleh Bank
Indonesisa saja, namun Bank Indonesia dibantu oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
dalam menentukan besar nilai dari masing-masing instrument yang direvisi. Bank
Indonesia dan Otoritas Jasa Keuang (OJK) kemudian akan menyepakati hasil diskusi
yang telah dilakukan kemudian aturan baru tersebut akan segera disahkan dan
akan dipublikasikan melalui media massa.
Sebelum dilakukan
revisi, pertumbuhan ekonomi di Indonesia mengalami perlambatan meskipun nilai
dari perlambatannya tidak begitu besar yaitu sebesar 4,7% dari yang awalnya
sebesar 5%. Namun, pihak Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
mengatakan bahwa setelah aturan terkait kebijakan makroprudensial ini direvisi
nilai dari pertumbuhan ekonomi Indonesia ini akan membaik. Pihak Bank Indonesia
dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yakin bahwa langkah yang mereka lakukan akan
benar-benar berpengaruh di kemudian hari.
Agus Martowardojo,
Gubernur Bank Indonesia mengatakan bahwa perlambatan nilai pertumbuhan ekonomi
yang terjadi di Indonesia tersebut memilik beberapa penyebab yang diantaranya
adalah melemahnya kinerja dari komponen-komponen permintaan di area domestik.
Perlambatan yang terjadi berupa menurunnya nilai dari government expenditure
(konsumsi pemerintah) sebelum direvisinya aturan terkait kebijakan
makroprudensial ini. Selain itu, perlambatan juga terjadi pada menurunnya nilai
investasi domestik di sektor bangunan. Komponen-komponen yang dijelaskan
tersebut sedikitnya berpengaruh cukup signifikan dalam menurunnya pertumbuhan
perekonomian yang ada di Indonesia.
Selain itu, ada
beberapa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang belum terealisasi
secara sempurna sehingga menyebabkan total agregat pada saat itu tidak sesuai
dengan target yang ditentukan. Adapun anggaran yang belum terealisasi secara
sempurna meliputi anggaran belanja pemerintah yang belum dibelanjakan, dan juga
ada lembaga-lembaga baru yang belum merealisasikan anggaran belanjanya. Selain
itu, modal yang disediakan untuk membangun proyek-proyek berupa infrastruktur dirasa
belum bisa mencukupi kebutuhan untuk merealisasikan proyek-proyek terkait.
Belum terealisainya proyek-proyek berupa infrastruktur tersebut tentunya
berdampak pada menurunnya investasi di sektor bangunan.
Perlambatan
perekonomian tidak hanya terjadi di beberapa wilayah saja, namun terjadi hampir
pada seluruh wilayah yang ada di Indonesia. Hampir seluruh wilayah yang ada di
Indonesia mengalami perlambatan baik itu wilayah yang notabennya mengandalkan
sektor manufaktur di wilayahnya, yaitu wilayah yang mengutamakan industri untuk
menggerakkan roda perekonomiannya, ataupun wilayah yang mengandalkan seumber
daya alam sebagai komponen utama penggerak roda perekonomian di wilayahnya.
Jadi tidak ada wilayah yang mengalami percepatan pertumbuhan perekonomian pada
saat itu.
Agus Martowardojo,
Gubernur Bank Indonesia menambahkan pernyataannya bahwa perkiraan mengenai akan
membaiknya perekonomian Indonesia setelah direvisinya aturan terkait kebijakan
makroprudensial adalah keyakinan bahwa akan terealisasikannya anggaran belanja
pemerintah domestik yang sebelumnya belum dipergunakan. Agus berpendapat bahwa
jika anggaran yang belum terealisasikan tersebut segera direalisasikan dengan
baik maka akan meningkatkan government expenditure (belanja pemerintah) di
Indonesia, dimana government expenditure (belanja pemerintah) ini menyumbang
nilai atas bertambahnya pendapatan agregat di Indonesia. Selain itu, Agus juga
meyakini bahwa investasi di Indonesia akan mengalami kenaikan yang signisikan
terutama investasi di sektor bangunan. Selain itu, setelah direvisinya aturan
terkait kebijakan makroprudensial ini menyebabkan pengeluaran fiskal pemerintah
akan meningkat.
Revisi dari aturan
terkait kebijakan makroprudensial ini juga ditaksir akan meningkatkan
penyaluran kredit di bidang perbankan. Hal itu memang sudah menjadi tujuan
utama yang ingin dicapai dari direvisinya aturan terkait kebijakan
makroprudensial yang dilakukan oleh Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keungan
(OJK). Dengan begitu aturan pelonggaran kebijakan makroprudensial ini tentunya
akan memperbaiki keadaan perekonomian sekaligus mempercepat pertumbuhan
perekonomian Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar