KALIBRASI MONETER SELAMATKAN KURS RUPIAH
Oleh : Nur Halimah
Perekonomian
Indonesia secara kasat mata memang menunjukkan kestabilan, hal tersebut
terlihat dari pola konsumsi masyarakat yang tetap tinggi, sedangkan secara
makro pertumbuhan ekonomi masih berada di angka 4 % hingga 6 % per tahun. Namun
jika dilihat dari lain sisi nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing masih
berada pada kisaran Rp 13.000 hingga Rp 14.000 per dolar Amerika. Kurs jual
rupiah terhadap dolar AS yang teracatat pada bank Indonesia berada di angka Rp
13.297 per dolar AS (9/6). Kurs rupiah
sejak awal tahun 2014 menunujukkan penurunan yang gradual hingga menyentuh
angka Rp 14.000. Sejatinya kurs rupiah yang melemah memberikan dua pengertian
yang kontras, si satu sisi mata uang Indonesia menjadi mata uang yang dipandang
murah namun disisi lain dengan murahnya mata uang tersebut menjadikan para
eksportir untuk meningkatkan volume penjualannya.
Bila merujuk
pada teori ekonomi, jika suatu nilai tukar mata uang satu negara dengan negara
lain melemah maka hal tersebut akan meningkatkan ekspor karena negara lain
menganggap bahwa harga barang-barang yang ditawarkan lebih murah dan kompetitif
sehingga menguntungkan bagi negara peng-ekspor dan peng-impor. Namun
kenyataannya, sejak penurunan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, nilai
ekspor Indonesia justru tidak menunjukkan hal baik, bahkan nilai ekspor sempat
mengalami penurunan di tahun 2014 dan tahun 2015 berdasarkan data yang dilansir
bank Indonesia. Hal tersebut mengindikasikan bahwa Indonesia hanya mendapatkan
2 kerugian yaitu dari segi pelemahan rupiah dan penurunan ekpor. Oleh karena
kalibrasi moneter sangat diperlukan untuk mengembalikan kedigjayaan kurs rupiah
Indonesia serta menjaga kestabilan perekonomina. Jika kalibrasi ekonomi adalah
adalah melakukan penyesuaian ekonomi dengan kondisi yang ada maka kalibrasi
moneter lebih ditujukan dengan penyesuaian dengan apa yang seharusnya terjadi.
Sudah saatnya
rupiah berjaya dengan kalibrasi moenter yang dapat dilakukan melalui langkah-langkah
apresiasi nilai tukar seperti menurunkan tingkat suku bunga acuan BI rate
dengan catatan melihat kondisi dan memutuskan kebijakan yang tepat dan berani.
Dengan menurunkan BI rate maka akan ada selisih suku bunga negara Indonesia dan
suku bunga negara lain yang akan membuat investor mengambil keputusan apakah
tetap menanamkan uangnya di Indonesia dengan ekspektasi kedepan yang lebih baik
atau menanamkan modalnya di negara lain dengan asumsi mendapatkan keuntungan
karena selisih suku bunga yang lebih tinggi. Hal tersebut tentu akan mengurangi
jumlah devisa negara Indonesia, menurut harian ekonomi neraca (6/1/15)
menyatakan bahwa 2/3 dari nilai devisa negara adalah berasal dari surat
berharga dan valas. Padahal kita tau bahwa investasi surat-surat berharga asing
yang ditanamkan di Indonesia akan menghasilkan hot money yang sangat rentan
terhadap guncangan.
Oleh sebabnya,
pola investasi sudah waktunya dirubah ke ranah yang lebih riil menghasilkan
keuntungan Indonesia pada jangka panjang salah satunya adalah meningkatkan
sektor pariwisata yang menjadi daya tarik besar bagi Indonesia, dengan
keindahan alam Indonesia sudah sepantasnya bangsa ini mendapatkan keuntungan.
Kalibrasi moneter dapat diletakkan untuk turut membantu meningkatkan sektor
pariwisata dari segi pengelolaan dan pembiayaan. Instrumen credit selectiv dan
persuasi dari bank sentral kepada bank komersial dan bank negara untuk
mengarahkan pembiayaan yang berbasis biaya murah pada kota-kota yang memiliki
sektor wisata unggulan yang dapat menarik minat warga asing untuk datang ke
Indonesia dan menyumbang devisa bagi negara. Selain itu credit selectiv juga
harus diarahkan pada UKM yang berpotensi untuk ekspor sehingga investasi riil
dapat terwujud, devisa dapat terjaga, kurs rupiah akan kembali menguat.
0 komentar:
Posting Komentar